Kartun dan Wayang (Ngartun part 22)

"salam rahayu berbudaya lahir bathin dan sukses selalu bersama keluarga" mengutip dari salam khas salah satu seniman Yogyakarta bernama Hang WS. Beliau adalah salah satu teman di FB dan ada satu gambar yang menggelitik saya hingga pada akhirnya membuat artikel tentang Kartun dan Wayang. Kartun dan Wayang mempunyai dua arti yaitu membahas kartun dalam perspektif wayang dan Ngartun sambil wayangan (artinya menggambar sampai semalam suntuk mirip seperti pagelaran wayang yang biasanya diadakan semalaman).
Pada awal berkuasanya ORBA (Orde Baru) dalam dunia hiburan cetak (media cetak yang dapat membuat banyak orang menjadi terhibur) terdapat komik termasuk kartun strip yang terdiri dari: komik wayang, komik silat dan komik roman remaja. Komik wayang adalah komik yang memuat cerita dan tokoh pewayangan yang kuno tapi dalam penyajian kekinian. Ibarat beli gethuk di restoran bintang lima yang disajikan ala Eropa (chasing kuno, isi modern). Komik Silat memuat cerita semacam Si buta dari Goa Hantu yang berisi cerita petualangan seru seorang pendekar meliputi perjalanan hidup, mencari ilmu, bertemu pujaan hati dan balas dendam. Komik roman remaja seiring mulai subur dengan tindakan pemerintah yang saat itu mulai anti kritik dan alergi dengan anak muda (mahasisiwa) yang kritis, memberi ruang lingkup yang lebih untuk cerita romansa, suka duka dua sejoli dan cinta segitiga.
Geguritan BB ala Hang WS
Gambar di atas yang mengilhami saya untuk menulis artikel tentang hubungan antara Kartun dan Wayang. Isu penyangkalan atas kepemilikan Black Berry oleh salah satu kader jelita dari salah satu partai besar yang sedang dirundung masalah KKN. Jika kita perhatikan gambar karakter pertama dapat diintrepetasikan bahwa tokoh itu adalah Semar. Salah satu tokoh pewayangan yang cukup terkenal karena kebijaksanaan dan kepemimpinan yang handal. Warna merah adalah simbol dari kemarahan yang didasari oleh gejolak yang ada dalam batin karena rasa tidak puas. Muka yang memerah pada Semar merupakan simbol akumulasi amarah oleh Bapak dari para Punakawan ini, kita tahu bahwa secara harfiah Semar adalah sosok yang lembut dan tidak pernah marah walaupun anak-anak didiknya sering melakukan yang yang keterlaluan. Gambar apel adalah visualisasi tentang nilai duit yang saat itu dipakai oleh para politisi nakal untuk kurs mata uang yang digunakan dalam transaksi kepentingan politiknya. Ada apel Malang yang cenderung berwarna hijau dan berasa aman, apel Washington berwarna merah dan manis rasanya. Malang identik dengan Rupiah dan Washington identik dengan Dollar. Jelas duit yang lebih banyak menjadi pilihan. Kalau kita lihat dialog dalam kartun editorial di atas ada ada kata : "Ojo nyimpen 'BB' mu nang jero kotang mesti konangan" bagi yang tidak bisa bahasa Jawa, kata di atas berarti Jangan menyimpan Black Berry mu di dalam BH karena pasti ketahuan. Kata ini bermakna sama dengan ungkapan "Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga" dan "Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya pasti ketahuan". Jadi sepandai-pandainya kita menyangkal suatu saat pasti ketahuan kebohongan itu, KECUALI ada tekanan dan campur tangan politik yang kadang penuh intrik. Sudah ah membahas politiknya, kita kembali ke perspektif etnokartunologi.
Kartun dan Wayang khusus di Indonesia mempunyai hubungan yang erat, karena tidak sedikit kartunis yang terinspirirasi dari salah satu tokoh yang ada di pewayangan. Sebut saja Johnny Hidayat yang membuat dengan karakter seperti tokoh Petruk dan kartunnya menjadi iklan dalam obat gosok yang cukup terkenal pada era 90-an. Punakawan adalah peninggalan budaya Jawa yang menjadi simbol jatidiri Jawa yang berfungsi sebagai juru bicara rakyat. Tokoh sentral dalam Punakawan adalah Semar yang merupakan utusan dari Sanghyang Tunggal yang bertugas untuk mengawasi manusia dan mengabdi buat kebenaran pada keluarga Pandawa. Semar mempunyai dua anak Gareng dan Petruk serta ada tokoh yang dianggap sebagai anak ketiga yaitu Bagong. 

Punakawan adalah nenek moyang dari kartun di Indonesia. Statemen ini dikeluarkan oleh Rahayu S. Hidayat dalam Buku Meretas Ranah (Bahasa, Semiotika dan Budaya) yang tulisannya pernah menjadi kata pengantar dalam katalog festival Kartun Asia di Tokyo pada tahun 1999. Tidak bisa dipungkiri jika kita melihat pertunjukan wayang, kehadiran Punakawan adalah hiburan di tengah keseriusan dalam mengikuti alur cerita yang kerap penuh konflik. Punakawan hadir di istana dan menjadi suara rakyat dengan perilaku yang kadang tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara istana. Awal mula dunia perpunakawanan di Jawa mulai pada era Jodeh dan Sonto dan berkembang sampai muncul keluarga Semar sampai pada Togog (tokoh punakawan dari pihak antagonis karena dia mendukung keluarga Kurawa). 
Era media massa yang berkembang meskipun dalam kebebasan berpendapat yang terbatas dan dibatasi, memunculkan Punakawan dalam bentuk tokoh kartunal yang keluar dari istana dan mulai berinteraksi dengan masyarakat. Komik Seri Dagelan Petruk Gareng di Semarang adalah bentuk lanjut petualangan punakawan yang keluar dari istana. Indri Sudono adalah seniman yang menggagas penciptaan Punakawan (Keluarga Semar) yang menyoroti masalah kehidupan dan moralitas masyarakat.
Lawan dan Tuntaskan !!
Gambar di atas adalah karya terbaru dari Hang WS, karakter wayang yang sekilas mirip dengan tokoh Gatot Kaca jika kita lihat dari bajunya. Namun misi dari Gatot kaca kali ini tidak untuk melawan raksasa yang mengacaukan istana. Jika kita perhatikan dengan cermat gambar ini ada koin 100, wakul di atas kepala dan alat pemukul lalat atau bisa saja kipas adalah merepresentasikan kesejahteraan dan ketenangan. Wakul adalah simbol dari kebutuhan perut demikian juga koin di belakangnya. Alat pemukul lalat atau bisa saja kipas adalah lambang dari keinginan untuk hidup yang nyaman dan tentram, aman dari nyamuk dan jauh dari kegerahan. Masalah bisa timbul namun perlu pendekatan yang solutif agar tidak salah langkah.
Gambar di atas memang multi tafsir, selain sebagai Gatot Kaca saya menafsirkan sebagai sosok Pak Raden, sebagai bentuk partisipasi Hang WS dalam tribute to Pak Raden. Alasannya dalah pada kumis dan kata Lawan-Tuntaskan (seruan agar masalah hak cipta segera terselesaikan) di belakangnya. Kumis pak Raden dengan Gatot kaca memang hampir serupa namun lebih tebal punya Pak Raden. Kumis dalam masyarakat adalah simbol kewibawaan, kejantanan dan harga diri. Jaman Belanda ada juragan yang biasa berkumis demikian juga dengan mandor dan para centengnya. Pada lingkungan militer kumis biasa di pakai oleh para pemimpin mulai dari pleton sampai batalyon. Tidak akan kita temui prajurit rendahan apalagi yang masih menempuh pendidikan militer memelihara kumis selebat atasannya. Kumis Gatot kaca tidak akan selebat kumis Wekudara (Bima).
Kontemplasi Dajjal, Babi dan Penguasa by Hang WS april 10
Gambar di atas merupakan karya Hang WS yang bersifat kontemplatif, saya menyebutnya sebagai kartun kontemplasi. Berbeda dengan kartun editorial yang menekankan pada kekuatan kritik dan aktualisasi peristiwa. Gambar kartunal kontemplatif adalah perpaduan yang anggun antara seni rupa, sastra dan kartun. Puisi yang biasa oleh orang dibaca dan diperdengarkan dengan pembacaan yang penuh penghayatan, namun di tangan Hang WS sebuah puisi diberi sajian visualisasi yang tidak hanya sekadar vignet. Gambar mata satu, babi dan kursi yang melayang adalah persekongolan di antara keburukan dalam kekuasaan yang tanpa mengenal kata cukup. Pada penutup artikel ini, saya mengutip sajak yang menyertai gambar di atas, lihat seksama gambarnya dan hayayi teks di bawahnya. Salam Ngartun :)

perselingkuhan atas nama dajjal
syahfat yang begitu dahsyat untuk beronani jiwa
air mani darah manusia
mengucur melumuri sekujur tubuh
dijilati dengan nafsu birahi hingga tak bersisa
nurani jadi pekat tertutup kerakusan
perselingkuhan itu begitu memabukkan
hingga memenggal kepalanya sendiri
berganti topeng tupeng kemunafikan
yang melahirkan bayi bayi dusta
lewat mulut topengnya yang bau anyir bangkai manusia
tubuh tanpa kepala yang senantiasa "ngaceng"
untuk mensetubuhi nasib manusia hingga takberdaya
manusia "ngaceng" atas kerakusan
yang melahirkan kebohongan demi kebohongan !


Sumber dan referensi: Hang WS's FB albums, Komik Indonesia, Marcel Bonnef. 1998. Jakarta: KPG (buku), Merentas Ranah (Bahasa, Semiotika dan Budaya), Ida S. Husen dan Rahayu Hidayat (ed). 2001. Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya (buku). 

Subscribe to receive free email updates: