Hidup di Jogja 2 (Badhokan edition)

Etnokartunologi (Padepokan Tamantirto-DIY)  Pada edisi Hidup di Jogja sebelumnya saya mengangkat tentang awal keberangkatan, adaptasi sampai bermotor di Jogja, kali ini bahasan tentang konsumsi jasmani yaitu makanan. Ada pandangan umum bahwa jika kita mengunjungi suatu tempat, jangan pernah melakukan wisata kuliner. Mencicipi makanan dan minuman khas daerah yang kita kunjungi. Makan (menurut guru Tata Boga saya waktu SMP) mempunyai definisi segala aktifitas yang memasukan sesuatu kedalam mulut. Secara lingusitik, dalam bahasa Indonesia punya cukup satu kata yaitu makan. Namun jika menilik keragaman kebudayaan di Indonesia makan mempunyai bermacam jenis termasuk dalam tingkatan tertentu. Orang Jawa  menyebut makan dengan berbagai macam-macam sebutan dari Mangan, Madang (Jogja), Mbadhok, Njeglak sampai Nguntal. Dahar menduduki tempat untuk sebutan makan dalam budaya Jawa pada tingkat tertinggi.  Jogjakarta tidak bisa dipisahkan dari Gudeg, Bakpia dan Angkringan. 
Angkringan Pak Gunadi (Samping Indomaret Tamantirto)
Angkringan pada awalnya saya kira berasal dari kata ngangkring, yaitu sikap duduk di kursi panjang tanpa sandaran dengan santai dalam jangka waktu tertentu. Berbeda setelah ada seorang teman yang mengadakan penelitian untuk skripsi mengatakan hal yang lain. Angkringan mengacu pada gerobak atau tempat berjualannya yang memang bernama angkring dan dibawa dengan cara dipikul pada masa lampau. Jogja identik dengan angkringan, sebuah tempat nongkrong dengan ciri khas mempunyai makanan yang disebut dengan nasi kucing (sego kucing). Menu nasi porsi kecil berlauk oseng tempe, sambal teri sampai kikil (sebutan orang Jogja untuk rambak atau cecek). Salah satu angkringan langganan saya adalah Angkringan di sekitar kos, dekat Indomaret Tamantirto tepat di pinggir jalan Ring Road. Pemiliknya bernama Pak Gunadi, seorang bapak yang pekerja keras karena selain berjualan di angkringan jika pagi berdagang keliling mie ayam yang sekarang membuka cabang sendiri di sebelah utara angkringannya. 
Mr. Gunadi with his angkring
Menu di angkringan bermacam-macam dan mayoritas berasa manis, sebagai rasa khas kuliner Jogjakarta. Mulai dari nasi kucing (sego kucing), macam gorengan (bakwan, tempe, tahu, pisang, sukun, ubi), bermacam bacem yang mengolah makanan dengan gula (tahu, tempe, kepala ayam), sate usus, krupuk sampai kacang-kacang. Angkringan ada yang buka khusus malam hari, ada yang khusus pagi sampai sore. Yang unik dari angkringan malam adalah tata cahaya, yang dijalan lampu bohlam seperti sekarang namun menggunakan lampu ublik. Tata cahaya ini menawarkan ciri khas teraman cahaya, kehangatan dan keakraban. Khusus angkringan Pak Gunadi, jam operasional dari menjelang siang Pukul 11:00 waktu Tamantirto sampai tengah malam, bahkan sampai pukul 01:00. Namun sekarang karena membagi satu badan pada dua warung, antara angkringan dan mie ayam yang berjarak tidak sampai 100 meter, Pak Gunadi lebih konsen 'bermain' dengan mie ayam, sementara untuk angkringan diserahkan pada istri tercinta. 

Wedang Teh-Jahe: Kolaborasi Herbal yang Segar
Apa yang tersaji dalam angkringan merupakan bentuk ramah tamah dari masyarakat Jogja yang multi makna. Nasi kucing (sego kucing) sebagai manifestasi dari kesederhanaan, bacem sebagai sikap manis dan aneka wedang sebagai simbol kehangatan. Berbagai makanan dan minuman tersebut saya kategorikan menjadi dua yaitu ada yang disetor orang lain dan ada yang segalanya dibuat sendiri, langsung di warung. Angkringan pada masa awal-awal di Jogja dulu yang dekat RS Dr Sardjito berdasarkan pengamatan, segala jajanan kecuali nasi kucingnya disetor oleh pihak lain. Khusus Pak Gunadi, segala yang di angkringan dibuat langsung dalam warung dan yang spesial adalah sambalnya. Tidak semua angkringan menyediakan sambal untuk konsumennya, inilah yang menjadi keistimewaan sekaligus inovasi dari Pak Gunadi. Sambal dari campuran cabe, tomat, bawang dan diberi gula sehingga rasanya manis-manis pedas. 

Selain angkringan, selama di Jogja yang menjadi tempat untuk mengisi nutrisi adalah Burjo (Warung khas punya orang Sunda dengan menu andalan anak kos yang bernama Nasi Telur dan aneka mie instan), Tempe Penyet Mas Nur (sesama orang Lamongan, sambel mentahnya bikin merem melek), Warung prasmanan Mbak Tari (jika ingin makan banyak, porsi tukang becak dengan memperkaya kandungan sayuran dalam tubuh) dan Mak Parinem (adanya di kantin Bonbin FIB UGM dengan nasi pecel dan nasi campur dan menu spesial dadar telur warisan leluhur). 
Makanan adalah cerminan dari upaya manusia untuk mempertahankan hidup, masalah umum dan mendesak. Makanan bertautan dengan masalah historis, ideologi, difusi kebudayaan sampai hegemoni untuk kepentingan tertentu. Namun bagi saya apapun makanannya, jangan pernah dilupakan untuk minum kopi hitam tak campur, karena kopi hitam adalah semangatku. Salam Ngartun. (Bersambung pada edisi mengajar di Jogja)

Subscribe to receive free email updates: