Alak dan Laki: Sebuah Analisa Antropologi Linguistik

(Jogjakarta -1 Maret 2013) Manusia berdasarkan jenis kelamin dibedakan atas laki-laki dan perempuan. Ada pula yang menyebut pria dan wanita, priyo dan wanito (wani ditata-bisa diatur). Pembagian atas dua hal ini didasarkan atas faktor kultural karena pada dasarnya pembagian gender yang membedakan bentuk fisik lepas dari perlakuan yang berbeda di antara keduanya. Permasalahan yang terjadi, dalam konteks sosialbudaya terdapat dualitas antara maskulinitas dengan feminim.
Tulisan ini lebih menekankan pada aspek maskulinitas dalam kebahasaan. Seperti kita ketahui bahwa bahasa adalah unsur penting dalam komunikasi. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan juga hasil dari kebudayaan. Kata -alak dan laki-laki menjadi pokok kajian dalam tulisan saya kali ini. Bahasa secara kultural dimasukkan dalam kajian antropologi Linguistik. 
Antropologi Linguistik menurut Sibarani (2004:50) adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi-variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat dan pola kebudayaan lain daru suatu suku bangsa. Laki dan -alak adalah suatu fenomena yang melegitimasi kedudukan kaum adam dalam ranah patriarkhi. Peran laki-laki berpengaruh pada aspek sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik.

Maskulinitas dan Tata Bahasa -alak. 
Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan kata-kata yang berbeda pula karena setiap kebudayaan memiliki konsep-konsep yang berbeda pula. 
Courtesy of Claude Serre's Artworks
Dalam kajian antropologi linguistik disajikan masyarakat penutur yang dalam aktifitasnya bukan hanya sekadar menyampaikan bahasa namun melalui kata yang diucapkannya mampu merepresentasikan keadaan masyarakatnya. Tata bahasa -alak berdasarkan analisa saya terbagi atas beberapa bagian yang saling terkait dan dalam perkembangannya dapat diidentikan dengan laki-laki, terdapat dalam transformasi kata: alak-calak-salak-jalak-galak-talak. Rangkaian kata di atas mencerminkan budaya patriarkhi yang secara kultural meletakkan laki-laki berada pada posisi atas daripada wanita. Dalam falsafah Jawa, laki-laki mempunyai posisi ideal jika dia memiliki benggol dan bonggol. Benggol identik dengan kekayaan dan bonggol adalah manifestasi dari kejantanan (Darwin 2001:23). Maskulinitas dan budaya patriarkhi saling berhubungan dan berpengaruh pada pencitraan serta tindak tanduk kaum lelaki.

1. CALAK
Calak adalah awal dari kejantanan dari seorang laki-laki karena mengikuti ritus peralihan dengan disunat. Sunat atau khitan baik dilaksanakan secara mandiri maupun secara bersama yang di Indonesia dikenal sebagai sunatan massal adalah langkah perdana menuju kedewasaan. Orang yang bertugas untuk melakukan khitan termasuk golongan spesialis yang pada masa lampau -seperti penulis alami sendiri- dinamakan calak. Calak pada masa sekarang digantikan oleh dokter sunat yang semakin hari metodenya semakin canggih, dari gunting operasi sampai teknik laser. 
2. SALAK
Setelah dikhitan atau disunat, laki-laki akan mengalami masa pubertas yang ditunjukan dengan semakin berkembangannya bentuk badan termasuk organ vitalnya. Pada organ vital ini terdapat bagian yang merupakan aset sekaligus kelemahan laki-laki yaitu testis atau buah pelir. Beberapa kalangan masyarakat menyebutnya sebagai biji salak. Melalui organ ini diproduksi sperma sebagai unsur penting dalam proses reproduksi dan syarat pokok untuk menjadi bapak. Konsep kebapakan (fatherhood) merupakan isu utama dari maskulinitas yang perlu diadakan dekonstruksi. Pada dasarnya dominasi laki-laki di sektor publik merupakan pelarian laki-laki karena mereka mengalami marginalisasi di sektor domestik (Darwin 2001:29)
3. JALAK
Laki-laki sering diidentikan dengan burung. Pada laki-laki Jawa, keberadaan burung terutama perkutut adalah sarana kelangenan atau hobi sebagai penarik perhatian seorang laki-laki agar senantiasa betah dirumah dan lambang status sosial. Burung juga diidentikan dengan organ vital laki-laki yang kerap namakan titit. Jika kita lihat film Warkop DKI  berjudul Pokoknya Beres yang tayang pada tahun 1983. Dono bermain bola bersama dengan para wanita dan menggunakan kostum wanita pula. Pada akhir adegan nampak sebuah bola mengenai bagian bawah perut dan membuat Dono pingsan dan ia menjadi pusat perhatian. Namun keadaan berubah setelah ada salah satu pemain sepak bola cewek yang tidak sengaja mengatahui jenis kelamin asli Dono dan berteriak "Wah ada burungnya !". 
4. GALAK 
Kekerasan dan lelaki merupakan dua hal yang tidak terpisahkan karena unsur kekerasan secara tradisional merupakan stereotype dari laki-laki. Hal ini didasarkan bahwa secara etiomologi kata musculine berasal dari kata muscle yang berarti otot. Otot yang kuat pada masa lalu adalah modal utama untuk maju ke medan perang  sampai dapat memenangkan suatu pertempuran dan mendapat penghargaan. 
5. TALAK
Penguasaan terhadap perempuan (wanito) adalah simbol kejantanan seorang lelaki termasuk menyangkut menentukan lanjut atau putusnya suatu hubungan. Laki-laki mempunyai hak prerogatif untuk menceraikan istrinya yang sah melalui mekanisme Talak. Talak dalam interpretasi penulis berarti tolak, artinya menolak untuk melangsungkan suatu hubungan karena suatu sebab. Maskulinitas adalah suatu stereotype tentang laki-laki yang dapat dikontraskan dengan feminitas sebagai stereotype perempuan (Darwin 2001:27). Pengaruh laki-laki dalam bentuk hegemoni dalam masyarakat merupakan hal yang bersifat universal dalam sejarah peradaban manusia, mulai dari era raja-raja di jaman klasik sampai pada keluarga modern. (Roikan) 

Daftar Pustaka
Sibarani, Robert., 2004. Antropologi Linguistik. Penerbit Poda

Darwin, Muhadjir dan Tukiran (ed)., 2001. Menggugat Budaya Patriarkhi. Jogjakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. 


Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Alak dan Laki: Sebuah Analisa Antropologi Linguistik "