Jogjakarta, Revo, Gula dan Hujan feat. Derrida


Etnokartunologi, Kamar Kos Tamantirto DIY. 
Jogjakarta dan kesejukan udaranya menjadi sesuatu hal yang baru, jika siang bolong saya keluar dari kos untuk berangkat kuliah maupun kerja tidak ada rasa kepanasan. Sempat orang setempat mengeluh kepanasan, tentunya dengan mengusap peluh, saya jawab ini belum panas karena teriknya panas jogja siang hari merupakan waktu mulai meningginya matahari di Surabaya. Terletak di lereng gunung membuat urusan hujan di Jogja bikin hati galau, kalau 2010 pernah mengalami sendiri hujan abu, ketika kuliah di sini mengalami hujan air yang khas. Misalnya kawasan UGM bawah kuyup  namun setelah sampai Wirobrajan kering kerontang, demikian juga misalnya di Godean hujan deras ternyata sampai di Wates terang benerang. Pengalaman yang paling fenomenal saat menjumpai daerah yang berdekatan namun memiliki dua versi, antara yang basah karena hujan dan yang kering karena panas. 
Ceria walau Hujan 
"Jopa Japu tai asu, tak uyuhi sawahku mugo-mugo udane teka", kalimat yang menjadi mantra orang jaman dulu untuk memanggil hujan. Mantra itu saya dapat dari  Novel karangan Langit Kresna Hariadi berjudul Gajah Mada pada halaman 16. Ternyata hujan menjadi sesuatu yang berbinnary oposition ala kaum Strukturalisme. Hujan dapat menjadi hal yang dinantikan namun menjadi hal yang dibenci, antara harapan dan musibah. Pengalaman yang paling mengerikan selama diudani di Jogja, terjadi saat pulang ngantor untuk TST di GO Murangan menuju terminal Giwangan untuk sambung bus menuju Malang. Sejak keluar kantor sampai Giwangan hujan deras menderah sepanjang jalan. Tidak ada kata ampun maupun celah untuk berhenti, masuk kota semakin deras, apalagi saat melintas daerah Jombor, banjir dengan aliran deras setinggi mata kaki siap diterjang dan diberi bonus mandi air dari ban bus yang melintas cukup kencang. 

Hujan Minggu di Tugu 
Apalah arti hidup tanpa perjuangan, namun kita juga harus tahu apa yang menjadi fokus perjuangan itu. Supaya lekas sampai di Malang sebelum jam 7 pagi, hujan deras sepanjang Murangan-Giwangan bukan alasan untuk bergerak. Tiga di Kranggan ambil di ATM dan terus melaju sampai Tugu lalu lanjut sampai Giwangan. Walau bermantel doubel -termasuk dari pemberian Sipin Putra sepulang riset dari Ambon- air tetap masuk menyeruak dan mengakibatkan tubuh dan buku menjadi basah. Dan ketika mengajar kelas pagi di FIB UB pada sibuk menjemur buku-buku yang basah dekat jendela kala mahasiswa kelas presentasi hasil penelitian tentang Pancamakara. 

Hujan di Jogja, Jemur di Malang


Jogjakarta, Revo, Gula dan Hujan menjadi judul postingan kali ini. Mewakili tempat, motor, hasil produksi manusia dan anugrah Tuhan. Ini bukan ujian TPA atau PAPs ala pacsa UGM. namun menjadi kesatuan kata yang merepresentasikan diri sendiri, tentunya dengan penafsiran yang berbeda.

Depan Kos Tamantirto 
Rumah menjadi tempat keluarga berkumpul, sebuah komunitas kecil yang mengembangkan budayanya dari rumah. Jika rumah utama ditinggal maka akan ada rumah yang lain, termasuk rumah kos. Kos di Jogja berada pada kawasan pedesaan yang asri karena masih terdapat persawahan pada berbagai sisi. Desa Gatak, Tamantirto, Kasihan Bantul, sebuah kawasan di daerah barat Jogja. Disinilah awal tempat memulai hari bersama teman seperjuangan yang menawarkan untuk menempati kamarnya selagi dia juga kuliah S2 di Jakarta. Mr. Muflih. 

Rumah Kedua: GO Yos Krasak
Aktifitas padat merayap bak jalan Malioboro, membuat tubuh harus diistirahatkan di kantor dari situlah saya sering menginap di kantor. Dalam seminggu ketika hari aktif KBM, dipastikan beberapa kali tidur kantor. Dari kantor Wates-Kulon Progo sebagai ujung paling barat, Jalan Kaliurang dekat Merapi sampai yang dekat pesisir, Unit Parangtritis. Namun yang terasa seperti rumah kedua adalah unit Krasak atau Jalan Yos Sudarso. Tempat yang cukup luas, dengan beragam pilihan mau tidur di sisi bagian mana menjadi hal yang favorit dari GO pusat kedua di cabang Jogja. 

Teman Sejati: Revo
Revo menjadi teman sejati dalam beraktivitas, bergerak kemana saja serasa kilat dengannya. Kaki kedua untuk berpindah kemanapun, dari kantor-kampus-kos-terminal dan segala siklusnya. Saya mencoba menganalisa judul postingan ini dengan  pendekatan postruktruralisme ala Derrida. Jogjakarta, Revo, Gula dan Hujan menjadi sebuah wacana yang bebas tafsir, utak atik gathuk atau dekonstruksi menjadi kesenangan kala menghadapi kata hal tertentu. Mungkin pada awal membaca kita akan bertanya apa hubungannya Jogjakarta, Revo, Gula dan Hujan, masing-masing mempunyai dunia sendiri mempunyai konteks sendiri. Bagi Derrida, semua hanyalah ilusi belaka termasuk bahasa. Apa arti sebuah kata jika semua adalah imajinasi dan sebatas pada wacana kosong. Dari membaca rangkaian kata tidak serta merta mendapat makna yang jelas, terjadi proses penurunan dengan peninggalan jejak-jejak yang dekontruktif sebab sebuah tanda akan mengarah pada tanda lain.Misalnya Revo adalah sepeda motor, bukan sejatinya tapi Revo merepresentasikan sisi kehidupan saya yang bermobilitas tinggi. 
Jacques Derrida (1930 – 2004) 
Mengutip Madan Sarup (2003: 53-62) ketika membaca suatu penanda (kata), makna tidak serta-merta menjadi jelas. Tanda akan selalu mengarah pada tanda lain, satu tanda akan saling menggantikan tanda yang lain sebagai penanda dan petanda, makna akan muncul pada konteks yang berbeda-beda. Jogjakarta, Revo, Gula dan Hujan menjadi semacam benang kusut yang dapat mengerutkan dahi pembacanya. Benang kusut itu perlu diurai dengan metode yang bernama dekonstruksi sebagai suatu metafisika kehadiran dengan dua istilah fonosentrisme-logosentrisme. 'Benang kusut' yang dianggap bertalian ini tergantung pada sentris itu sendiri yaitu hasrat manusia untuk menempatkan kehadiran yang utama di antara titik awal dan titik akhir. Kesimpulannya judul postingan kali ini silahkan ditafsirakan, disusun dengan sepuas hati dan sesuai selera. Namun jika 'benang kusutnya' telah terurai semua berujung pada aktivitas super padat yang saya jalani di Jogjakarta. 

Manis di segala Sisi 
Bingung? Ngopi dulu dengan spesial tempe bacem (tempe yang berasa manis) sebagai makanan khas Jogjakarta dan Jawa Tengah pada umumnya. Antara tempe rasa gula atau gula rasa tempe?, sebuah ambiguitas yang dapat di dekonstruksi. Semakin bingung? Ngopi sek ben gak goblok (Slogan beberapa mahasiswa Antrop Universitas Brawijaya yang suka ngopi). Salam Ngartun 

Referensi
Sarup, Madan., 2003. Post-Structuralism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Penerbit Jendela. 

Subscribe to receive free email updates: