Madura, Ulama dan Maritim

Catatan blusukan 7-9 Oktober 2013 (Surabaya-Bangkalan-Tanjungbumi)

Sebuah agenda khusus yang penuh pekerjaan di lapangan yang sensasional terjadi pada bulan oktober tahun ini. Menjadi salah satu anggota team peneliti khusus wilayah Jatim khususnya Madura menjadi tanggung jawab khusus yang harus di emban. Sambil silaturahmi ke keluarga sambil mengambil motor Supit (singkatan dari Supra Fit) di rumah agar bisa fleksibel ketika turun lapangan dan mengurus segala keperluan. Agenda untuk kali tiga hari ini adalah untuk mempersiapkan perijinan dan keperluan penelitian lainnya. Tanggal 7 Oktober pagi berangkat dari Lamongan menuju Surabaya dan disajikan sebuah pemandangan menarik (selepas setahun tidak ke Surabaya kecuali transit mingguan di Terminal Purabaya), jembatan Tambak Osowilangun yang pernah menjadi saksi ketika masa aktivitas mengajar Surabaya-Gresik era 2008-2011 sampai tulisan ini dibuat belum sepenuhnya selesai. Akibatnya jika senin pagi sampai menjelang siang terjadi antrian yang padat merayap.




Lautan Helm 


Selepas melewati antrian motor yang melatih kesabaran akhirnya saya memasuki kota Surabaya, melintasi jalanan dalam geliat kota pada senin pagi dengan tujuan utama kantor Bakesbanglinmas Jatim di ujung jalan Mayjen Sungkono. Ada perubahan secara pembangunan di Surabaya selepas setahun tidak berjumpa, daerah pasar kembang telah di bangun sebuah jembatan layang seperti di Peterongan Jombang. Jika jembatan ini jadi pada bulan November dipastikan akan menjadi lintasan yang menarik untuk peserta lomba gerak jalan tahunan Mojo-Suro (Gerak Jalan Perjuangan Mojokerto Surabaya). Sebuah momentum tahunan yang saya asumsikan sebagai sebuah 'ritual' atas selebrasi kepahlawanan dari kota Surabaya dalam perjuangan masa lampau. Aspek sosiohistoris juga salah satu faktor pembentukan karakter suatu masyarakat. Sebagaimana kajian Oswald Spengler (1939) dalam masyarakat terdapat gejala selective borrowing of cultural traits, sebuah perilaku pinjam dan tiru segala sesuatu terkait budaya dan sejarah yang dianggap sesuai dengan kebudayaan sendiri.




Perijinan Riset


Selepas jalan Pasar kembang memilih jalan akses menuju Mayjen Sungkono, namun karena lupa pada haluan motor melaju lurus sampai kawasan Makodam. Padahal aslinya cukup belok kanan telah mencapai target tujuan. Untuk mencapai perempatan lagi harus memutar melewati kawasan terminal Joyoboyo (yang tidak banyak berubah) dan mlipir melewati Kebun Binatang Surabaya (KBS). Setelah dirasa perijinan beres, sasaran berikutnya adalah Bangkalan.





Ngopi dulu biar tidak salah paham (Sansiro Mak Tem)


Tidak lengkap rasanya jika kesempatan langka berada di Surabaya tanpa menikmati kopi di Sansiro. Sebuah warung kopi sederhana di depan kampus yang secara bertahun-tahun memberikan energi kopi dan energi positif dalam pengembangan diri dan karir. Tempat anak-anak antro UNAIR dari segala angkatan dan usia menghabiskan kopi, hari dan bertukar ide. Sayangnya pemilik warung ini yang sudah kuanggap seperti Ibu sendiri (Mak Tem) tidak berada di TKP.




Gerbang Suramadu 


Walaupun telah pindah di Jogjakarta dan Malang, namun sebagaimana ungkapan kacang tidak lupa akan kulitnya. Tempat lama tidak boleh dilupakan, setelah warung Sansiro maka kunjungan berikutnya bergeser ke kantor lama yaitu Ganesha Operation (GO) pusat Surabaya. Jimerto-Kemuning dan Kusuma. Bertemu dengan rekan-rekan lama yang turut mengajarkan bagaimana menjadi orang yang tahan banting dan mencintai setiap pekerjaan dan tanggungjawab yang dibebankan.

Selama setahun tidak bertemu dengan cuaca khas pesisir utara Jawa, dengan panas menyengat menjadi pematik semangat bermotor untuk segera sampai Bangkalan. Melintasi jembatan Suramadu menjadi keseharian pada era tahun 2010 sampai 2011 saat masih aktif mengajar lintas kota. Sebuah jembatan yang memberikan suatu sensasi khusus jika kita melewatinya pada malam hari dengan cuaca hujan plus angin dan tidak memakai mantel atau jas hujan. Setelah sampai di Bangkalan kota mampir sebentar di GO Bangkalan dan sambil berusaha menyelesaikan urusan birokrasi. Tenyata siang itu kantor Bakesbanglinmas yang sebetulnya masih buka dan tidak terlalu kesorean menyatakan bahwa pelayanan baru besok pagi. Dengan jurus mengharap pengertian karena datang jauh-jauh dari Jogja ternyata tidak menggerakan hari petugas pemerintah yang siang itu duduk santai di beranda kantor samping mushola. Setelah urusan yang terganjal dan ada titik cerah untuk menuju kawasan Tanjungbumi. Sore Senin motor Suprit (Supra Fit) kugeber menuju Tanjung Bumi. Tanjung Bumi adalah sebuah kawasan yang menjadi kecamatan sentra masyarakat pelayar dan penghasil batik gentong. Sebuah batik yang kalau orang di luar menyebut Batik Tanjung Bumi dan kalau orang Tanjung bumi sendiri menyebutnya sebagai batik gentong. Sebuah persoalan etik-emik akan persepsi sebuah ranah ruang dan waktu. kali ini tujuan ke Tanjung Bumi adalah dalam rangka survei lokasi berikut jalanannya dan sampai di sana selepas maghrib setelah beristirahat sejenak langsung balik menuju Bangkalan kembali.




Madura rasa Jeddah


Urusan birokrasi di Kabupaten telah beres, blusukan berlanjut menuju Kecamatan Tanjung Bumi untuk memberikan surat rekomendasi penelitian pada aparat Kecamatan dan Desa. Karena malam hari telah survei lokasi untuk mencapai tujuan tidak ada kesulitan. Akses menuju kawasan Tanjung Bumi akan dihadapkan pada berbagai varian jalanan dari aspal bagus sampai yang berlubang. Terdapat upaya perbaikan pada berbagai ruas. Dan untuk mencapai Tanjungbumi harus melintasi Kecamatan Arosbaya-Klampis-Sepuluh baru tiba pada Kecamatan Tanjungbumi. Total perjalanan menempuh jarak kurang lebih 52 km dari kota Bangkalan.




Sambutan yang lapuk 


Ada sesuatu yang menarik sepanjang jalur dari Bangkalan menuju Tanjungbumi adalah bangunan rumah dan beberapa rumah yang menurut saya terkesan Wah !. Bangunan masjid khas negeri Timur Tengah, sedangkan bangunan rumah menyerupai bentuk bangunan di sinetron pada salah satu stasiun televisi yang menampilkan adegan rumah mewah nan megah. Sepanjang perjalanan sempat sempat berpikir rumah bagus kayak gini kerjanya apa ya? juragan besi tua? bakul Sate? dan ternyata setelah bertanya pada beberapa orang asli Bangkalan ternyata sebagian masyarakat Bangkalan pesisir utara bekerja pada sektor pelayaran. Hal ini dapat dibuktikan pula pada hiasan di salah satu rumah penduduk yang menurut saya sangat wah, terdapat hiasan dinding berupa lukisan dari keramik berupa kapal pesiar. Setidaknya apa yang terpajang di rumah seseorang sudah dapat merepresentasikan berbagai macam ranah kehidupan penghuninya. Mulai dari hiasan dinding, lukisan, perabotan di ruang tamu sampai wayang yang mungkin terpajang di ruang depan.




Pelabuhan Pantai Siring Kemoneng


Madura dan pesisir menjadi dua hal yang terpisahkan, karena secara geografis Madura adalah sebuah kawasan kepulauan yang terbagi dari pulau besar (inti) sampai pulau kecil yang tersebar dari Masalembu. pulau Kambing sampai gugusan pulau Kangean. Gambar di atas adalah buah tangan pada saat keputusasaan mencari pejabat desa terkait pada saaat survey ke Tanjungbumi, saat itu belum menyadari kalau sebetulnya jumlah desa di Tanjungbumi berjumlah 14 desa. Pelabuhan Siring Kemoneng dapat menjadi pelepas lelah setelah setengah hari bermotor mencari lokasi. Sebuah pantai membentang di sepanjang mata melihat, terletak di pesisir utara pulau Madura dengan hamparan pasir campur lumpur dengan semilir angin yang menyejukan. Saat itu kusempatkan untuk bertegur sapa dengan beberapa nelayan yang sedang pulang melaut. Sekalian untuk mencari di mana letak rumah lurah (Klebun). Bentuk tata ruang desa di daerah Tanjungbumi tersusun atas beberapa dusun yang tersebar di antara jalan provinsi Madura bagian utara, khas desa pesisir dengan berderet gang kecil.




Perahu Sarimuna 


Selama pencarian rumah Pak Klebun Desa Paseseh tidak sengaja melintasi sebuah bangunan yang awalnya saya kira sebagai PT PAL ala Tanjungbumi, tempat perbaikan kapal nelayan yang rusak atau perlu perawatan khusus. Ternyata sebuah situs bersejarah ada di hadapan mata, sebuah perahu langka yang mempunyai nilai historis tinggi bagi kalangan masyarakat Madura pesisir. Sebuah perahu 'keramat' yang bernama Perahu Sarimuna, peninggalan KH. Moh. Cholil. Tokoh ini lebih terkenal disebut dengan Mbah Cholil, seorang ulama besar di Madura yang berperan dalam syiar Islam. Seperti kita ketahui Pulau Madura termasuk pulau dengan mayoritas penduduk muslim dan ada yang menjulukinya dengan sebutan Serambi Madinah.




Sarana Berdakwah 


Perahu Sarimuna merupakan sebuah perahu yang terbuat dari kayu dan mempunyai atap pada bagian tengah sebagai shelter dari panas dan hujan. Motif pada bagian depan anjungan adalah motif sulur yang bersudut lancip di bagian depannya. Sebagaimana judul dari postingan kali ini: Madura, Ulama dan Maritim merupakan tiga hal yang saling bertalian jika kita berbicara tentang Madura. Masyarakat Madura mempunyai struktur sosial dalam patron klien kemasyarakatan dengan tingkatan Babu'-Bupa-Guru dan Ratu. Artinya orang tua menduduki peran sentral untuk lingkungan internal sedangkan urusan eksternal yang menjadi prioritas adalah guru, dalam hal ini bisa guru yang mengajar kehidupan dunia-akhirat yaitu ulama/kyai. Saya pernah mendengar dari orang asli Madura sendiri bahwa kedudukan kyai (make'a) dalam kehidupan komunal masyarakat Madura mempunyai peran sentral, bukan hanya sebagai penyebar agama namun pada internalisasi budaya sampai berkontribusi dalam pembentukan karakter masyarakat. Madura merepresentasikan sebuah semangat dan kerja keras, termasuk semangat untuk amar makruf nahi munkar. Sejak jaman kerajaan Mataram Islam terjadi peristirwa heboh yaitu pemberontakan dari Trunojoyo pada saat pemerintahan Raja Amangkurat I, aspek historis yang menjadi ilham bagi generasi sekarang untuk menegakan kebenaran demi kebaikan umat. Saya berasumsi bahwa Trunojoyo adalah punk, lebih tepatnya secara filosofis tidak bisa tinggal diam jika terjadi ketimpangan dalam masyarakat. Perahu Sarimuna adalah benda kebudayaan (material culture) yang menjadi instrumen dalam penyadaran akan harkat dan kodrat masyarakat pada masa Mbah Cholil. Sebuah kapal menjadi ajang merefleksikan kegigihan orang Madura dalam urusan melaut. Berdasarkan wawancara dengan Pak Sinol Klebun (setelah berbahagia menemukan rumahnya dan mendapat sambutan hangat) daerah Tanjungbumi menjadi pelabuhan pelayaran tradisional lintas pulau untuk penjualan sapi dan kayu. Saya jadi teringat ketika di Bangka Belitung, salah seorang pegawai Dinas Pendidikan Kab. Koba Tengah, bahwa stok daging untuk masyarakat didatangkan dari luar pulau termasuk urusan sapi. Sapi dengan kualitas daging yang baik adalah sapi Madura. Pelayaran lintas pulau untuk wilayah kalimantan dengan menggunakan kapal tradisional non mesin (layar) pada masa lampau, dapat ditempuh dalam kurun waktu mingguan. Hari ini dengan perkembangan mesin kapal dan navigasi telah memangkas waktu pelayaran menjadi lebih singkat (4-5 hari). Perjalanan lancar, sapi lebih segar sampai tujuan. Jadi pada dasarnya saya berasumsi Perahu Sarimuna menjadi alat untuk mengukuhkan identitas Madura khususnya daerah Tanjungbumi sebagai masyarakat yang dapat berekspansi ke berbagai lini kehidupan dengan menjadi seorang pelintas laut yang ulung. Pertanyaannya untuk sekarang, apakah generasi
Tanjungbumi masih menekuni kehidupan maritim dan perdagangan sapi lintas pulau?. Perlu kembali ke lapangan dan melakukan penelusuran lebih dalam (tunggu oleh-oleh selanjutnya selepas riset)

Bonus track: 




Senja Selasa 




Sampai bertemu kembali Madura 



Subscribe to receive free email updates: