Napak Tilas Gowes Lamongan-Pacet 12 Oktober 2002

(Artikel ini adalah catatan jaman latihan fisik, olahraga dan pelipur lara selepas SMA tidak lolos PTN favorit. Nekad sendiri menaiki sepeda angin dari Lamongan menuju Pacet. Tulisan ini tidak ada perubahan, hanya pindah format dari buku tulis lalu diketik ulang. Tanggal 12 Oktober 2002 adalah tanggal tragedi bom bali pertama, dan seminggu setelah itu ada musibah banjir bandang yang melulu lantakan Pacet khususnya daerah Padusan termasuk tempat saya menginap di bawah pohon dekat sungai setelah seharian mengayuh pedal). selamat membaca. 

Full Bonex X-pedition Lamongan – Pacet by Onthel 12 Oktober 2002


Nekat, gendheng, kurang kerjaan. Itulah pemikiran yang mungkin dilontarkan orang-orang normal terhadap apa yang kulakukan. Tapi bagiku hal ini merupakan ajang membuang stress, menambah pengalaman dan yang pasti buat cari inspirasi, maklum arek embongan. Jumat, 11 Oktober segala sesuatu kusiapkan maklim kali ini aku akan berangkat sendiri. Padahal sebelumnya di proposal tercantum tiga orang yakni: aku, Qosim dan Bashori. Tapi dua-duanya tidak jadi berangkat dengan alasan masing-masing. Malam harinya kuminta Qosim menjadi tukang setting gear operan sepedaku supaya dipasang pada posisi ternormal dan terhandal di medan menanjak. Sepedapun butuh pengendara yang setting jasmani dan rohani yang pas. Kucoba berulangkali ke wartel buat nelpon Dian ’Sakura’ tapi telponnya tak ada yang merespon entah rusak atau dimatikan, tapi aku yakin doi pasti sudah merestui. Kusempatkan merelaksasi kaki dengan pijat-pijatan dengan Om Riadi. Sebelum tidur aku menyeting tasku dulu yang bolong-bolong.

Sabtu 12 Oktober 2002 aku bangun pukul 05:00WIB (Busyet tumben Bangun pagi) maklum niat besar, madep, mantep dan karep. Jauh hari aku sudah bilang pada ortu kalau Sabtu Minggu ada diklat teater, Ssst tapi aku tidak bilang kalau ke tempat diklat yakni pacet pakai sepeda...pasti tidak bakal dapat restu buat berangkat. Pukul 05:30WIB aku berangkat alias mulai start, sebelumnya minta uang dulu ke Mak yang kebetulan mau berangkat ziarah wali mewakili Mbah Kaji yang lagi sakit, mungkin dari pada uang pembayarannya terbuang sia-sia selain untuk niat ibadah. Jadi hari itu total uang yang aku miliki hanya Rp 27.000; sedoso ewu saking emak, sedoso ewu pitungatus saking celengan. Dari rumah pakaian yang kukenakan bukan khusus rally, biar tidak ketahuan. Sesampai di jalan anyar dekat kecamatan kulepas semua kamuflaseku. Kali ini tas yang kubawa dua macam, yakni tas ransel biasa dan tas roti, yang ransel kuisi dengan dua potong pakaian, botol aqua berisi air kendi, satu botol besar pepsi kosong. Sementara tas roti penuh dengan air minum dua botol kecil. Sebab kalau semua dimasukkan ke dalam tas rangsel, takut kalau jebol dan takut encokku kambuh . Sebelum meninggalkan Lamongan Kota kusempatkan mampir dulu kerumah Evi, teman seperjuanganku naik gunung. Kebetulan dia sedang sarapan pagi soalnya mau berangkat kerja.
Jangan Gentar pada Tanjakan

Dengan kecepatan yang santai dan stabil soalnya istirahatku hanya 1-2 menit buat minum dan bernafas. Tak terasa 25 km aku mengayuh pedal, sebab sudah sampai daerah Sumber Dadi Mantup, tempat start ketika hikking tanggal 5 Oktober 2002.(Perjalanan kaki napak tilas hari ABRI dari Mantup ke Alun-alun kota Lamongan). Di pinggir jalan kusempatkan untuk membeli 2 potong roti, meses seharga Rp 1500; dan my favourit cake yakni Bakpia Rp 1500; .

Pukul 07:55 WIB aku sudah sampai di daerah Simokerto Kabupaten Mojokerto. Saat-saat itu kupersiapkan fisik dan mental terprima soalnya akan melalui jalur yang lebih dasyat dari pada pantura yakni alas jati. Pada tanjakan pertama terpaksa aku jalan kaki maklum tanjakannya super curam. Jalur ini memang butuh konsentrasi khusus kalau melewatinya. Soalnya sudah sepi, tanjakannya jos apalagi jalan turunannya bukan hanya curam tapi juga berkelok-kelok plus panjangnya yang kurang lebih 5 Km. Track yang kulalui kali ini lebih enak karena lurus terus, namun karena hari semakin siang yang namanya panas tentu sudah lumrah. Pukul 08:30 WIB aku sudah tiba di kecamatan Kemlagi Mojokerto, tempat asal Pak Dalang waktu wayangan sedekah Bumi (Dekahan) di dusunku tahun itu. Jalur memanjang lurus yang membujur dari barat ke timur memang tidak seberapa panas. Tapi setelah sampai di daerah Jeruk Seger panasnya menyengat karena jalanan dari utara ke selatan plus sisi kanan ada berupa sungai, otomatis tidak ada pohon. Sampai di pertigaan Ploso-Mojokerto, sambil istirahat kusempatkan untuk membeli X-tra Joss di warung biar stamina lebih fit.

Akhirnya pada pukul 09:30 WIB aku sudah sampai di jembatan Sungai Brantas, berarti depan mata sudah masuk kota Mojokerto. Di tengah jembatan sepeda kutaruh di trotoar untuk melepas lelah sambil menikmati pemandangan air sungai, yang kebetulan saat itu sedang tidak ada di Lamongan. Setelah setengah jam bersepeda aku sudah sampai di depan terminal Mojokerto, ini berarti kurang lebih Pacet harus ditempuh dengan separuh perjalanan lagi. Sesampainya di pertigaan Pacet tiba-tiba ada sedikit rasa frustasi yang menyelimuti, maklum perut lapar, haus tapi takut kehabisan stok air dan tidak ada teman buat ngobrol. Beruntung di depanku saat itu kebetulan, ada penjual alias bakul gethuk kreatif, sebab di gerobak pancalnya di pasang sound system, sementara lagu yang di putar berjudul Waru Doyong versi disco. Tanpa di komando kubuntuti orang itu sambil menggoyangkan sedikit badan biar semangat makin berapi-api dan tidak jenuh. Tapi beberapa saat kemudian orang itu masuk ke perkampungan, sendirian lagi da .
Persimpangan Pacet 

Kira-kira Pukul 11:00 WIB aku sudah sampai di kecamatan Dlanggu, siang itu aku kepanasan dan kuputuskan buat istirahat sebentar di pondok indah..yakni bangunan bambu di pinggir jalan yang mungkin digunakan untuk jualan. Kira-kira satu jam aku melepas lelah sambil berbincang-bincang dengan bapak-bapak yang lagi panen tebu. Jalan yang kulewati kali ini campuran kadang-kadang tanjakan tapi masih dominan yang rata. Di daerah depan SLTPN I Dlanggu aku mampir membeli es buah di pinggir jalan supaya tidak terlalu kelaparan dan demi penghematan air. Mungkin karena kebanyakan istirahat jadinya tubuhku agak manja, istirahat yang mengasyikkan adalah ketika aku duduk di pinggir saluran irigasi sambil memandang keelokan gunung kesayangan, gunung Penanggungan. Sementara di belakangku nampak sekelompok anak SMP yang baru pulang sekolah sedang melempari mangga yang sedang berbuah di tepi jalan. Perjalanan berlanjut rasanya tenagaku agak berkurang setelah setengah hari bersepeda, hal ini terbukti dengan genjotanku yang tak segarang sebelumnya.
Pesona Penanggungan Tidak Akan Lekang 


Pukul 13:15 WIB kulihat patok di jalan yang mengatakan bahwa Pacet masih kurang 6 Km lagi dan yang menjadi tantangan kali ini adalah medan yang mulai menanjak. Karena tidak memakai sistem target satu dua tanjakan kulalui sedikit demi sedikit dengan tidak terlalu memforsir tenaga. Waktu itu aku membeli ketan hitam di pinggir jalan yang setelah kami ngobrol ternyata penjualnya punya menantu dari daerah Dukun – Gresik. Kali ini jalurnya full tanjakan terus menerus, maklum namanya juga wilayah kaki gunung. Pukul 14:30 WIB aku tiba di daerah Kemiri Kecamatan Pacet, kabar baiknya Pacet Padusan alias finish kurang 3 Km lagi. Medan yang penuh tanjakan dan makin curam membuat staminaku saat itu menurun drastis, jadi 1 Km di tempuh 30 menit, maklum kebanyakan istirahat daripada genjot pedal. Meskipun sudah kepayahan, namun tidak menyulutkan semangat 45 buat sampai di finish, jika tidak kuat nanjak aku langsung jalan kaki so pasti seperti Rally Paris Dakar yang di televisi 
Pintu Masuk Padusan di tahun 2015


Akhirnya pada Pukul 16:00 WIB aku sudah sampai di daerah Pacet Padusan dan hanya kali ini aku menemukan jalan menurun yang supercuram, setelah itu tanjakan dan nuntun sepeda lagi. Syukurlah aku sudah sampai di finish dan yang menggembirakan aku di suruh masuk wanawisata dengan gratis...asyik . Rencananya malam ini aku tidur di kantor polisi terdekat namun karena tidak menemukan ya terpaksa harus mencari tumpangan di tenda anak-anak yang sedang camping. Setelah mendapat gambaran yang jelas buat tumpangan tenda, aku memutuskan untuk turun berbasa basi...namun Glodak! Saat menurunkan sepedaku di daerah sungai aku jatuh hingga kakiku luka. Maklum badan capek banget, bawa badan sendiri saja harus berjuang setengah mati apalagi bawa barang bawaan terutama sepeda. Setelah mendapat tumpangan tenda Pampam, Kamra dan Bayu, segerombolan anak SMP yang sedang berkemah dengan tenda yang terbuat dari spanduk yang di sambung menyambung menjadi satu. Finnaly, aku bisa istirahat dengan tenang sambil menunggu kedatangan Arek-arek Teater Citra. #

(Foto-foto dalam postingan ini, ketika menuju ke lokasi inisiasi antropologi Unair pada tanggal 10 Oktober 2015. Ada banyak perubahan setelah sekian lama tidak berkunjung ke sini. Vila dan penginapan semakin mewah. Entah berapa modal dari luar alias investor yang masuk ke daerah ini, Ingat pengembangan pariwisata jika tidak didukung oleh harmoni pada alam dan kearifan lokal berujung pada privatisasi yang justru menyengsarakan warga sekitar)
Bonus Pict:
Terus Berbenah dan Semakin Mewah 
Foto Jadul Diklat Teater Citra SMADA di Pacet 



Subscribe to receive free email updates: