Sujiwo Tejo dalam ngartun |
Anyam-anyaman Nyaman dan Pada Suatu Ketika adalah beberapa karya dari Sujiwo Tejo yang mulai saya kenal. Bahkan lagu "Pada Suatu Ketika" pernah beberapa kali diputar di MTV Indonesia yang saat itu menjadi parameter dan tongkrongan generasi muda sebelum era musik pagi pada sekarang ini. Sujiwo Tejo bagi saya adalah sosok yang fenomenal. Kebetulan saat itu yakni waktu SMA saya belajar dan mengikuti ekstra Teater dengan nama Teater Citra SMADA (Bukan smada SMA Komplek Surabaya tapi smada SMA 2 di Lamongan hehe). Saat latihan ada materi olah vokal dan saat itu saya suka dengan gaya bicara para dalang yang salah satunya adalah Sujiwo Tejo.
Akhirnya saat kuliah, tepatnya saat kuliah lapangan di Jogja pada tahun 2004, ketika jalan-jalan di Malioboro ujung timur tepatnya dekat Benteng Vredeburg terdapat penjual kaset pita bekas. Iseng-iseng saya berkunjung ke situ dan melihat cover kaset dengan warna hijau dan ada sesosok gondrong yang sedang melipat tangan (Sendhakep dalam bahasa Jawa). Tidak salah lagi itu adalah kaset Pada Suatu Ketika album pertama Sujiwo Tejo. Beberapa kali mendengar lagu-lagunya semakin menikmati musik yang lain daripada yang lain. Bahkan jika berangkat kuliah dengan naik sepeda angin, walkman selalu mendengarkan senandung album "Pada Suatu Ketika"
Agus Hadi Sudjiwo (lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962; umur 49 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan Indonesia. Ia adalah lulusan dari ITB. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti "Ketawa Bareng Tejo".
Sekarang pada suatu ketika yaitu setelah reformasi lebih tepatnya era SBY. Sujiwo Tejo melakukan 'kudeta' dengan membuat Republik Jancuk yang mempunyai KTP seumur hidup. Jancuk secara etimologi berasal dari kata 'Jaran ngencuk' atau kuda yang sedang kawin. Entah siapa yang memulai kata ini akhirnya menjadi umpatan dan ikon ekspresif arek Surabaya. Jancuk adalah representasi dari kelugasan budaya pesisir yang ceplas-ceplos, apa adanya namun terasa tajam menggigit.
Saya punya pengalaman pribadi terhadap slogan Jancuk ini, waktu ke Jakarta tepatnya di Terminal Lebak Bulus pada tahun 2007 di sana ada calo dan preman yang memperlakukan saya dengan tidak menyenangkan. Langsung saja saya mengeluarkan jurus slogan Surabaya: "Jancuk !!" dan terbukti orang-orang tadi akhirnya pergi satu persatu. Usut punya usut berdasarkan kajian perpremanan ada daerah tertentu di Jakarta yang mempunyai penguasa kuat berasal dari Surabaya. Jancuk juga menjadi bahasa gaul Surabaya dan dapat mengakrabkan hubungan personal atau kelompok.
Sujiwo Tejo mengambil Jancuk sebagai dasar dari 'negara'nya, yang didasarkan pada situasi politik era orde Pencitraan yang kadang kala kebakaran jenggot jika ada yang mengkritik. Negara juga suka curhat dan membuat 'gedung teater' sekaligus 'rumah produksi' untuk sinetron politik Indonesia. Sujiwo Tejo menempatkan diri sebagai fungsi kontrol untuk mengkritisi lika-liku pemerintah dan segala situasi politik yang menyertainya. Jika kita melihat sepak terjang Sujiwo Tejo pada saat ini, maka tidak salah jika kita menempatkan beliau sebagai budayawan yang tidak hanya sekadar nyeni namun mempunyai pandangan visi misi yang baik untuk perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau mau bukti dengarkan seluruh album "Yaiyo" yang diluncurkan tahun 2007, semua lagu kebanyakan bernuansa sosial politik yang kental. Suwun Cuk habis baca artikel ini.
0 Response to "The Presiden of Republik Jancuk: Sujiwo Tejo"
Post a Comment