Sebagaimana diketahui, salah satu ciri khas dari antropologi adalah kajiannya yang begitu luas dan mendalam mengenai sitem kekerabatan. Mereka menekankan perhatian kepada “struktur”: aturan-aturan yang mengeram di dasar kesadaran manusia namun tidak dirasakan. Aturan-aturan tersembunyi itu secara diam-diam “menentukan” gerak manusia dalam berfikir, berbicara, berperilaku, berbudaya. Struktur dimaknai, ditangkap fungsinya, melalui ‘tanda’ yang ditempatkan dalam jaringan relasi dengan ‘tanda-tanda yang lain. Bagi mereka, problem manusia justru terletak di dalam kendala-kendala yang menghambat struktur-struktur itu untuk bergerak seimbang. Tak pelak, strukturalisme memang sebuah jawaban yang cukup menjanjikan terhadap perkembangan cepat dari sistem-sistem besar dalam ekonomi industri.
Untuk dapat merangkum dan memahami berbagai jenis kekerabatan inilah Levi-Strauss mengembangkan sebuah pendekatan atau paradigma baru, Strukturalisme, yang berbagai asumsi dan model di dalamnya banyak diambil dari disiplin linguistik dan komunikasi. Paradigma strukturalnya terasa semakin mantap dan berkembang, sebagaimana tercermin dalam karyanya, seperti Structural Anthropology, Totemism dan Savage Mind. Salah satu prinsip penting dalam analisis struktural adalah melihat sesuatu dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks relasi sintagmatis dan paradigmatis.
A. Analisa Linguistik ( Bahasa)
Berbeda dengan ahli-ahli mithologi dan antropologi sebelumnya, yang tidak menyinggung sama sekali soal persentuhan antara bahasa dengan mite atau dongeng, Levi-Strauss menguraikan dulu ciri-ciri bahasa yang dianggapnya sama dengan mite. Bahasa, seperti kita ketahui, merupakan suatu sistem simbol yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan. Aspek langue dari sebuah bahasa adalah aspek ‘Struktural’nya. Bahasa merupakan struktur-struktur yang membentuk suatu sistem atau merupakan suatu sistem struktur, yang relative tetap. Struktur inilah yang membedakan suatu bahasa dengan bahasa yang lain. Bahasa sebagai suatu langue berada dalam waktu yang bisa berbalik (reversible time). Sedangkan mite berada pada bidang antara simbol dan tanda. Dengan pendekatan struktural, kita harus memperhatikan ceriteme-ceriteme yang ada di dalamnya, yang dapat kita pandang sebagai simbol dan tanda sekaligus. Dalam situasi semacam ini, analisis struktural terhadap mite rupanya telah membuka jalan baru, dengan pendekatan strukturalnya Levi-Strauss merasa bahwa dia telah berhasil tidak hanya dalam mengungkapkan makna-makna –bukan hanya dalam pengertian simbolis tetapi juga semiotis--, tetapi juga berhasil mengungkapkan logika yang ada dibalik fenomena mite.
B. Analisa Religi ( Agama )
Oleh banyak orang Barat yang kurang begitu mengenal apa yang dimaksud dengan ‘totem’, totemisme dipandang sebagai salah satu entuk sistem kepercayaan. Bahkan Emile Durkheim, telah menganggap sebagai bentuk kehidupan keagamaan yang paling primitif, paling elementer. Menurut Levi-Strauss, totemisme bukanlah suatu fenomena yang sangat istimewa, pada dasarnya adalah suatu bentuk klasifikasi atas dunia alam dan dunia sosial. Dalm pembukuan bukunya yang berjudul Totemisme, Levi-Strauss mengatakan, bahwa totemisme adalah seperti “histeria” , bukan dalam arti identitas, tetapi menunjuk sebuah fenomena sosial. Totemisme banyak dianggap sebagai suatu fenomena keagamaan. Ini pandangan yang sangat umum, dan banyak diikuti oleh para ilmuwan.
Apa yang dikatakan oleh Tylor—seorang ahli antropologi, mengenai gejala totemisme—cukup kiranya menjadi dasar untuk mengubah pandangan yang mungkin selama ini kita anut. Ternyata, totemisme bukanlah semacam agama atau sistem kepercayaan dalam bentuknya yang sangat primitif. Atas dasar pandangan ini, kita melangkah ke pandangan Paz mengenai totemisme yang memandang totemisme sebagai bentuk sistem keagamaan atau kepercayaan tertentu. Sedangkan definisi Levi-Strauss dan para ahli antropologi apa yang disebut sebagai fenomena “totemisme” sebenarnya tidak ada! Totemisme sebagai suatu fenomena yang khas atau bersifat religius adalah ilusi orang-orang barat, yang ketika itu yang tidak mengenal dengan baik masyarakat- masyarakat lain, yang mereka katakana memiliki institusi totemisme.
C. Analisa Sistem Kekerabatan
Dalam usaha menganalisa segala macam sistem kekerabatan, Levi-Strauss, berpangkal kepada keluarga inti (1963:50). Ketiga macam hubungan dalam rangka keluarga inti adalah: (1) hubungan antara seorang individu E dengan saudara-saudara sekandungnya yang berupa hubungan darah; (2) hubungan antara E dengan isterinya yang berupa hubungan karena kawin, yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya sendiri dengan saudara sekandung isterinya: (3) hubungan yang lain adalah hubungan antara E dan isterinya dengan anak-anak mereka, yang berupa hubungan keturunan, (Levi-Strauss: hlm.41)
Hubungan antara saudara sekandung dan hubungan karena perkawinan ada dua macam, yang menurut Levi-Strauss secara universal selalu bertentangan kebutuhan. Seorang individu biasanya akan bersikap positif dalam hubungannya dengan saudara sekandungnya, tetapi negatif dalam hubungannya dengan iparnya. Dalam kenyataan, kehidupan kekerabatan yang oleh Levi-Strauss dianggap hubungan positif adalah hubungan berdasarkan sikap bersahabat, mesra, dan cinta-mencintai, sedangkan apa yang dianggapnya hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi dan menghormat.
Untuk jelasnya diantara kasus etnografi yang dipergunakan Levi-Strauss, misalnya mengenai keluarga inti dalam masyarakat penduduk kepulauan Trobiand, yang mempunyai sistem keturunan yang matrilineal. Hubungan antara suami dan isteri adalah sangat hangat dan mesra, dan berdasarkan sikap saling mencintai; jadi menurut Levi-Strauss, positif. Sebaliknya, hubungan antara saudara pria dan wanita terkekang oleh berbagai pantangan dan suatu adat sopan santun pergaulan yang ketat dan resmi.
Kalau kita teliti etnografi Levi-Strauss lebih mendalam, maka tampak betapa subyektifnya ia menilai suatu hubungan kekerabatan itu sebagai positif atau negatif. Analisa tersebut dari Anthropologie Strukturale, dan sering dipakainya bilamana menganalisa mengenai suatu sistem kekerabatan
Untuk dapat merangkum dan memahami berbagai jenis kekerabatan inilah Levi-Strauss mengembangkan sebuah pendekatan atau paradigma baru, Strukturalisme, yang berbagai asumsi dan model di dalamnya banyak diambil dari disiplin linguistik dan komunikasi. Paradigma strukturalnya terasa semakin mantap dan berkembang, sebagaimana tercermin dalam karyanya, seperti Structural Anthropology, Totemism dan Savage Mind. Salah satu prinsip penting dalam analisis struktural adalah melihat sesuatu dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks relasi sintagmatis dan paradigmatis.
A. Analisa Linguistik ( Bahasa)
Berbeda dengan ahli-ahli mithologi dan antropologi sebelumnya, yang tidak menyinggung sama sekali soal persentuhan antara bahasa dengan mite atau dongeng, Levi-Strauss menguraikan dulu ciri-ciri bahasa yang dianggapnya sama dengan mite. Bahasa, seperti kita ketahui, merupakan suatu sistem simbol yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan. Aspek langue dari sebuah bahasa adalah aspek ‘Struktural’nya. Bahasa merupakan struktur-struktur yang membentuk suatu sistem atau merupakan suatu sistem struktur, yang relative tetap. Struktur inilah yang membedakan suatu bahasa dengan bahasa yang lain. Bahasa sebagai suatu langue berada dalam waktu yang bisa berbalik (reversible time). Sedangkan mite berada pada bidang antara simbol dan tanda. Dengan pendekatan struktural, kita harus memperhatikan ceriteme-ceriteme yang ada di dalamnya, yang dapat kita pandang sebagai simbol dan tanda sekaligus. Dalam situasi semacam ini, analisis struktural terhadap mite rupanya telah membuka jalan baru, dengan pendekatan strukturalnya Levi-Strauss merasa bahwa dia telah berhasil tidak hanya dalam mengungkapkan makna-makna –bukan hanya dalam pengertian simbolis tetapi juga semiotis--, tetapi juga berhasil mengungkapkan logika yang ada dibalik fenomena mite.
B. Analisa Religi ( Agama )
Oleh banyak orang Barat yang kurang begitu mengenal apa yang dimaksud dengan ‘totem’, totemisme dipandang sebagai salah satu entuk sistem kepercayaan. Bahkan Emile Durkheim, telah menganggap sebagai bentuk kehidupan keagamaan yang paling primitif, paling elementer. Menurut Levi-Strauss, totemisme bukanlah suatu fenomena yang sangat istimewa, pada dasarnya adalah suatu bentuk klasifikasi atas dunia alam dan dunia sosial. Dalm pembukuan bukunya yang berjudul Totemisme, Levi-Strauss mengatakan, bahwa totemisme adalah seperti “histeria” , bukan dalam arti identitas, tetapi menunjuk sebuah fenomena sosial. Totemisme banyak dianggap sebagai suatu fenomena keagamaan. Ini pandangan yang sangat umum, dan banyak diikuti oleh para ilmuwan.
Apa yang dikatakan oleh Tylor—seorang ahli antropologi, mengenai gejala totemisme—cukup kiranya menjadi dasar untuk mengubah pandangan yang mungkin selama ini kita anut. Ternyata, totemisme bukanlah semacam agama atau sistem kepercayaan dalam bentuknya yang sangat primitif. Atas dasar pandangan ini, kita melangkah ke pandangan Paz mengenai totemisme yang memandang totemisme sebagai bentuk sistem keagamaan atau kepercayaan tertentu. Sedangkan definisi Levi-Strauss dan para ahli antropologi apa yang disebut sebagai fenomena “totemisme” sebenarnya tidak ada! Totemisme sebagai suatu fenomena yang khas atau bersifat religius adalah ilusi orang-orang barat, yang ketika itu yang tidak mengenal dengan baik masyarakat- masyarakat lain, yang mereka katakana memiliki institusi totemisme.
C. Analisa Sistem Kekerabatan
Dalam usaha menganalisa segala macam sistem kekerabatan, Levi-Strauss, berpangkal kepada keluarga inti (1963:50). Ketiga macam hubungan dalam rangka keluarga inti adalah: (1) hubungan antara seorang individu E dengan saudara-saudara sekandungnya yang berupa hubungan darah; (2) hubungan antara E dengan isterinya yang berupa hubungan karena kawin, yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya sendiri dengan saudara sekandung isterinya: (3) hubungan yang lain adalah hubungan antara E dan isterinya dengan anak-anak mereka, yang berupa hubungan keturunan, (Levi-Strauss: hlm.41)
Hubungan antara saudara sekandung dan hubungan karena perkawinan ada dua macam, yang menurut Levi-Strauss secara universal selalu bertentangan kebutuhan. Seorang individu biasanya akan bersikap positif dalam hubungannya dengan saudara sekandungnya, tetapi negatif dalam hubungannya dengan iparnya. Dalam kenyataan, kehidupan kekerabatan yang oleh Levi-Strauss dianggap hubungan positif adalah hubungan berdasarkan sikap bersahabat, mesra, dan cinta-mencintai, sedangkan apa yang dianggapnya hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi dan menghormat.
Untuk jelasnya diantara kasus etnografi yang dipergunakan Levi-Strauss, misalnya mengenai keluarga inti dalam masyarakat penduduk kepulauan Trobiand, yang mempunyai sistem keturunan yang matrilineal. Hubungan antara suami dan isteri adalah sangat hangat dan mesra, dan berdasarkan sikap saling mencintai; jadi menurut Levi-Strauss, positif. Sebaliknya, hubungan antara saudara pria dan wanita terkekang oleh berbagai pantangan dan suatu adat sopan santun pergaulan yang ketat dan resmi.
Kalau kita teliti etnografi Levi-Strauss lebih mendalam, maka tampak betapa subyektifnya ia menilai suatu hubungan kekerabatan itu sebagai positif atau negatif. Analisa tersebut dari Anthropologie Strukturale, dan sering dipakainya bilamana menganalisa mengenai suatu sistem kekerabatan
0 Response to "ASAS-ASAS TEORI STRUKTURALISME"
Post a Comment