The Other Side of Heaven (Sebuah Resensi Film)

Menjadi seorang yang bisa dihargai dan diterima orang lain, kita harus pandai beradaptasi dengan lingkungan sosial yang ada. Itulah kata ringkas yang saya ambil setelah melihat Film The Other Side of Heaven. Film ini saya copy dari seorang teman yang bernama kerabat Bayu 'Kuro' Mahasiswa Antrop Unair  yang suka koleksi film yang tidak umum. 

Film ini diambil dari kisah nyata dari seorang misionaris John H. Groberg yang berasal dari Amerika yang melakukan misi pelayanan firman Tuhan di daerah kepulauan Pasifik Selatan tepatnya di pulau Tonga pada tahun 50-an. Film yang berdurasi 113 menit ini diproduksi oleh Studio Walt Disney dan yang menjadi sutradara adalah Mitch Davis
Sinopsis
Berawal dari panggilan tugas untuk menjadi misionaris yang memberikan pelayanan di daerah Pasifik Selatan tepatnya di Pulau Tonga, John Groberg mendapat restu dari orang tua dan pacarnya, Jean,  akhirnya memutuskan melakukan pelayaran menuju luar Amerika tepatnya di Fiji. Fiji adalah cobaan pertama baginya, karena di pulau ini dia di penjara dan sebagai pemain terompet cara mengusir jenuh dan menghibur diri dengan bemain terompet. Atas bantuan dari sesama minionaris yang telah lama berada di sana, John dibebaskan lalu menuju pulau Tonga dan dikenalkan dengan Feki seorang pribumi yang bisa berbahasa Inggris. Feki adalah pendamping sekaligus asisten dalam misi pelayanan yang akan menemani John selama bertugas di pulau Tonga.
Feki - Orang pribumi membantu membangun raport
 Petualangan dimulai saat mendarat di pulau Tonga, penyambutan adat yang dikira John penuh kehormatan ternyata penuh penghinaan dan ia mengira misinya akan gagal di sini. Ternyata setelah melewati masa-masa keterkejutan budaya (Culture Shock) ia sadar bahwa penguasaan terhadap bahasa lokal diperlukan agar ia dapat diterima.. Kegigihan dalam belajar ditunjukan oleh John dengan mendalami bahasa lokal di tepi pantai selama berhari-hari, perjuangan ini membuat warga mulai bersimpati dengannya dan rela menyediakan makanan untuknya yang siang malam belajar sendiri bahasa Tonga. Setelah selesai belajar dia mencoba kemampuan bahasanya dengan semakin intensif berinteraksi dengan penduduk lokal, lambat laun ia mulai diterima dan disukai warga setempat termasuk para gadis. 


Salah seorang bunga desa menaruh perasaan suka pada John sampai suatu hari ia menyatakan cintanya pada John, demikian juga keluarganya bahkan Sang Ibu mendesak John agar mau menerima cinta putrinya. John meyakinkan bahwa ia punya pacar di Amerika dan berjanji untuk pulang demi dia yang setia menunggu. Kehidupan John sebagai minionaris di pulau Tonga selama lebih dari setahun menemui berbagai kendala terutama faktor alam seperti kakinya pernah terluka karena dimakan tikus sampai badai besar yang dua kali menerjang dengan ganas dan nyaris membuat nyawanya melayang. Kemampuan adaptasi John dan kegigihannya dalam berjuang membuat orang yang semula menganggapnya akan melakukan keburukan di pulau Tonga berubah menjadi simpati. Satu persatu menyatakan diri untuk menerima tawaran menjadi konselor untuk membantu pelayanan misionaris yang berada di pulau-pulau sekitar.
Aktifitas di dermaga pulau Tonga
Ending film ini adalah kepulangan John ke Amerika dengan membawa banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Tonga mulai dari infrastruktur, fasilitas umum sampai pada moralitas penduduk yang lebih baik. Sepulang dari Tonga, John kemudian menikahi Jean dan mereka tetap melanjutkan tugas sebagai minionaris dan kerap mengunjungi penduduk pulau Tonga.

Analisa
Film ini mengingatkan pada Buku Taruna Semoa karya Antropolog ternama yang bernama Margaret Mead. Adegan yang mengingatkan pada kehidupan khas kepulauan Pasifik adalah buah-buahan, sukun dan tarian dengan suara senandung yang dilakukan dengan massal dan kostum yang merepresentasikan betapa terbukanya masyarakat pantai. Menurut Margaret Mead (1988: 226) kehidupan masyarakat Semoa (termasuk daerah kepulaun Pasifik dan Ocenia) memiliki peradaban yang mudah berubah. Hal ini adalah percampuran dari cita-cita, kepercayaan serta daya mekanis Eropa dengan kebudayaan kuno yang primitif. Perubahan yang terjadi - dalam film ini- disambut dengan ketakjuban seperti pada saat listrik masuk kampung Tonga meskipun menggunakan tenaga diesel dan beberapa lampu meledak, namun warga dengan antusias menganggap sebagai hal yang menarik, begitu juga keberadaan radio yang rela didengarkan sampai larut malam. 
Persepsi tentang cinta dan kasih sayang dalam masyarakat Tonga khususnya dikalangan remaja putri ditekankan pada aspek seks dan perkawinan. Hal ini dapat kita temui pada adegan di film ini saat seorang gadis berusaha merebut hati dan menguji cinta dari John dengan mengajaknya berhubungan badan. Seks bagi masyarakat Tonga adalah manifestasi dari cinta dan kasih sayang. Sikap pasrah dengan melepas sebagian pakaian di hadapan John adalah bukti bahwa cinta bagi masyarakat Tonga tidak lebih dari urusan ranjang. Jika kita hubungkan dengan studi Margaret Mead, perilaku remaja pada daerah Samoa telah mengenal dan mengadakan persiapan yang matang dalam memasuki kehidupan menuju era dewasa terutama terkait seks. Mereka sudah melakukan masturbasi, dari 30 informan hanya 3 yang tidak pernah melakukannya (Mead 1988: 237-238). 

Daftar Pustaka
Margaret Mead, Taruna Samoa (Remaja dan Kehidupan Seks dalam Kebudayaan Primitif Suatu Penelitian Antropologi Budaya), 1988, Jakarta: Penerbit Bhratara.
http://en.wikipedia.org/wiki/File:OtherHeaven.jpg



Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "The Other Side of Heaven (Sebuah Resensi Film)"

  1. broo..mbak broo...kamu ada subtitle indonesia nya nggak?? kalau ada aku bleh minta donkk..soalnya aku sdh cari subtitle indonya di subscene tpi nggk ada..

    ReplyDelete