Setelah hampir tiga tahun meninggalkan kota penuh perjuangan. Surabaya. Kota awal saya menempuh pendidikan perguruan tinggi. Pertama bekerja hingga merasakan nikmatnya hari gajian. Tahun 2012 saya hijrah menuju Jogja setelah 8 tahun berjibaku mencari penghidupan dan ilmu di kota ini.
Tanggal 7 September 2015, karena ada sebuah urusan saya harus datang ke Surabaya. Berangkat bermotor dari kota Pasuruan. Memasuki daerah Waru ingatan disegarkan saat menjadi pengajar bermotor pada awal 2009. Luar kota menjadi makanan harian. Menu Surabaya-Gresik, Sidoarjo, Pasuruan dan Mojokerto menjadi trayek sehari-hari. Kadang dipadu dengan trayek Surabaya-Pamekasan, Jember, Probolinggo, Lamongan, dan Tuban. Semua dilakukan dengan bahagia.
Pada kesempatan ke Surabaya kali ini saya sedikit bernostalgia dengan kehidupan jalanan metropolitan. Semakin ramai tentunya. Semakin semrawut sudah sewajarnya.Tengok jalanan beberapa jalanan telah melebar. Termasuk parkirannya. Ada beberapa bangunan pencakar langit yang sebelumnya tidak saya ketahui. Maklum selama tiga tahunan saya rutin Jogja-Malang. Lewat Surabaya sebatas transit dan hanya bisa melihat kawasan pinggirannya semata.
Warijo's Fotokopi |
Berhubung masih ada waktu luang saya sempatkan wisata nostalgia. Tujuan pertama saya adalah teman-teman adiputro Fotokopi (sekarang sudah ganti nama) pimpinan Warijo. Dulu masih beroperasi di timur kampus B UNAIR kini berpindah di sekitar jalan Srikana. Reuni sejenak mengingat masa berjibaku dengan skripsi. Tiap pulang kuliah saya selalu mampir. Sesekali membantu order di kampus dan menemani begadang kala lemburan.
Dari tempat ini saya belajar cara menata kertas, mengorganisir staples dan yang paling penting sinau jaringan sosial dalam bisnis perfotokopian. Sinergi yang indah antara pemilik kios, pemilik mesin, tukang fotokopi, pemasok kertas dan pelanggan. Bersatu dalam satu lingkaran fotokopian.
Puas berkunjung di fotokopian, perjalanan berlanjut ke warung Sansiro.
Sansiro Coffe and Resto |
Sansiro bukan nama stadion sepak bola yang tersohor di Italia sana. Sansiro adalah nama warung sederhana yang menjadi tempat bernaung anak-anak antrop Unair khususnya dari lapar dahaga. Terlebih lagi bahaya kekurangan kopi yang bisa menyebabkan orang menjadi serba salah. Salah fokus bahkan salah urus. Bertahun-tahun warung sederhana yang terletak di timur halte kampus B ini menyediakan makanan dan minuman dengan harga yang murah meriah. Mak Tem adalah pemegang lisensi sekaligus pemilik warung yang jika musim bulan puasa bisa buka semalam suntuk. Di tempat sederhana inilah anak-anak antro berkumpul. Guyon, cangkruk, bahas proyek, bahkan pacaran menjadi hal yang lumrah. Anak antro lintas angkatan dari angkatan muda sampai alumni. Tempat ini menjadi tempat transit saya saat masih bekerja di Surabaya. Ngopi sebelum ngantor di sini. Bisa jadi nanti ada agenda ngopi sebelum mancing juga dari sini. Sansiro cafe and resto begitu kira-kira sebutan dan penamaannya.
Beberapa jam saya duduk cangkruk di sini. Mencari kabar tentang apapun. Perubahan kota pahlawan sampai mengulik beberapa adik kelas yang sedang dilanda badai kebuntuan mengerjakan skripsi. Begitu sore berlanjut menjadi temaram malam. Saya undur diri untuk kembali ke Pasuruan karena pada esok paginya harus kembali ke Jogja untuk bekerja.
0 Response to "Surabaya Setelah Tiga Tahun"
Post a Comment