Episode sebelumnya di bagian II
Day
IV (13 Agustus 2008) – Pos Mata Air I
Pagi hari pun tiba, dengan tidur yang tidak tenang
kulihat jam sudah menunjukkan pukul 04.50, spontan teman-teman langsung
kubangunkan.. oiii... wes isuk shubuh..
ayo tangi.. dan alhamdulillah akhirnya mereka menjawab. Roykan pun mulai
menggeliat dari sleeping bagnya. Langsung saja aku bertanya ke Roykan, ”Kan,mambengi iku opo?” dia menjawab ”iku sing due panggonan iki mungkin lagi
ngecek omahe”. Aku pun menyadari hal tersebut..pantes aja..
Sekitar pukul 5 pagi Roykan sudah bangun dan
segera mempersiapkan diri buat melanjutkan perjalanan. Saat itu, anak-anak
sudah terbangun, kami semua keluar tenda untuk menikmati pemandangan dari
tebing seberang yang sangat eksotis. Hamparan pohon besar di perbukitan dan
tebing dengan air yang menyerupai air terjun mini menjadi pengalaman mata yang
susah untuk dilupakan. Kami
mengadakan kesepakatan untuk melanjutkan perjalanan menuju Cikasur pada pukul
08.00 tepat. Kesempatan buatku untuk mengambil air di bawah tidak kusia-siakan
dengan sekalian mandi kecil, cuci muka dan pasang ’ranjau’ di bawah batu besar
tidak jauh dari mata air. Sandal gunung Eiger yang aku beli di Gunung Agung
Delta bersama Emi selepas gajian dua bulan yang lalu kuuji ketangguhannya di
medan ini. Naik turun mengambil air dengan medan yang licin ternyata kaki tetap
nyaman melangkah. Hal ini berbeda dengan dua tahun silam yang hanya memakai
sandal japit, jalan selangkah jatuh bangunnya dua langkah J.Tidak lupa kami mengadakan absen semua barang
bawaan termasuk logistik. Semua perlengkapan buat hidup di hutan dan ransum
makanan di keluarkan dari tenda. Sebuah jas hujan di jadikan alas sebagai
tempat perwakilan segala macam logistik dan alat elektronik yang kami bawa
waktu itu.
Monggo Dipilih |
Setelah masakan untuk sarapan siap tersaji,
beserta aneka macam pilihan minuman, kami makan pagi bersama. Salah satu
minuman hangat yang paling kusuka adalah wedhang
temulawak hangat, minuman herbal yang menyehatkan dan dapat merangsang nafsu
makan. Kalau nafsu makan sudah besar, keinginan untuk makan jumbo besar pula
otomatis logistik bisa cepat berkurang. Hal ini tentu saja meringankan beban
tas carrier dan segala macam bentuk kaleng yang berat J. Saat itu aku mengambil air dari mata air bawah
satu jerigen isi lima liter dan beberapa botol kosong bekas air mineral.
Jerigen lima liter full air menjadi prioritas utamaku untuk dimasukkan ke dalam
tas carrier. Jangan sampai
selama perjalanan menuju Cikasur kehabisan air di tengah jalan.
Full Team Full Power |
Perjalanan menuju Cikasur dimulai walaupun molor selama beberapa menit namun tidak
menyurutkan semangat kami untuk menaklukkan tanjakan yang membentang sepanjang
jalan. Setelah berdoa bersama, pukul 08.50 kami mulai berjalan beriringan
menuju ’pangkalan’ Cikasur. Tanjakan yang tidak pernah ada habisnya membuat
nasi dalam perut serasa mau kocar kacir.
Beban carrier yang bertambah berat
dari pada waktu berangkat, membuat nafasku semakin ngos-ngosan. Air lima liter plus dua botol besar penuh, logistik
kaleng dan beras serta tenda kumpul jadi satu dalam tasku. Tapi semua pikiran
buruk harus disingkirkan, pokoknya optimis akan sampai Cikasur sebelum gelap.
Arif berjalan paling depan di susul Danang, sementara aku dan Mboys berada di
belakang mereka.
Seandainya ada macan iseng yang mau makan kami saat
itu, pasti sasaran empuk yang paling diprioritaskan adalah Arif. Alasannya
selain badannya yang gedhe, punel
penuh daging, posisinya juga berada di garis depan J. Medan dengan hutan lebat dan tanjakan yang tidak
ada habis-habisnya membuat perjalanan ini begitu menyesakkan. Kami keseringan
berhenti untuk ambil nafas dan mengumpulkan tenaga. Tapi untung saat itu, sisa turun
hujan beberapa hari yang lalu masih membekas, sehingga jalanan yang biasanya
penuh debu menjadi basah namun tidak terlalu licin. Orang jawa mengistilahkan
sebagai jalanan yang nyemek-nyemek.
Salah satu hal yang tidak bisa terlupakan saat itu adalah ketika di tengah
perjalanan aku mencoba untuk mengatur nafas setelah melewati beberapa tanjakan.
Di kiri jalan ada sebuah kayu bekas tebangan orang
yang teronggok membujur, aku menghapiri kayu tersebut dengan maksud ingin
mendudukinya, tiba-tiba Krosak!! Beban di punggung yang membuat berat badanku
dua kali lipat, aku kehilangan keseimbangan dan jatuh terbalik ke semak-semak.
Untung saat itu hanya semak yang menjadi tumpuan tas dan badanku, coba kalau
tebing atau jurang pasti tinggal riwayat. Mboys sempat mengabadikan momen
menarik tersebut dengan kamera, sekilas aku seperti kecoa yang terbalik atau
laksana kura-kura yang berusaha membalikkan tempurungnya ke atas.
Sesekali medan yang kami lalui penuh dengan bonus
alias jalanan mendatar yang berkelok-kelok. Selepas hutan, jalur berubah
menjadi jalur romantis dengan bunga putih di kanan kiri jalur, romantis namun
tanjakannya tidak ketulungan. Pemandangan
alam di perbukitan kanan kiri jalur yang kami lewati serasa menjadi obat
pencegah rasa capek selama melewati rute ini. Sebuah kayu besar yang tergolek
di sebelah kiri jalan, berbentuk seperti sofa masih berada pada tempatnya. Dua
tahun yang lalu, aku pernah melihatnya namun kemudian Cuma numpang lewat saja.
Mumpung ada kesempatan, aku duduk di kayu itu sambil mengisi ulang air ke dalam
botol dotku. Rasanya seperti duduk di sofa meskipun tidak empuk, duduk berdua
bersanding dengan Danang laksana seperti pengantin baru.
Perjalanan terus berlanjut, tanjakan demi tanjakan
kami lewati, jalur yang paling membuat hati jengkel adalah jalan menurun yang
curam, hati senang karena dapat bonus menarik, namun jika melihat jauh ke depan
ternyata jalanan itu berbentuk seperti mangkuk. Bahagia yang berbuntut dengan
rasa kesal. Di tengah perjalanan, terdapat sebuah jalan yang bercabang, dua
pilihan yakni jalur resmi dan jalur tidak resmi. Aku memutuskan untuk mengambil
jalur yang tidak resmi alias jalan kompas. Ternyata meskipun lebih menyingkat
waktu namun medan dan tanjakannya membuatku berpikir dua kali untuk melewatinya
kembali. Sampai pada ujung jalan kompas tersebut, anak-anak sudah menunggu dan
kami beristirahat sejenak sambil makan roti gaban bawaanku. Tak terasa kami memasuki hutan kembali dan
kali ini lebih lebat dari sebelumnya. Di tengah perjalanan aku melihat
segerombolan kera hitam yang bergelantungan di sebuah pohon besar kanan jalan,
kera-kera itu berpindah dari pohon ke pohon. Arif mencoba mengambil kameranya,
namun kera tersebut susah untuk diabadikan, sedah begitu ketika kamera sudah di
tangan untuk membidik mereka, ternyat mereka menghilang, namun ketika kamera
tidak ada mereka bergelayutan.
Menuju Cikasur |
Perjalanan kali ini banyak didominasi oleh medan
yang penuh bonus dan romantis. Aku mengambil beberapa bunga untuk sampel siapa
tahu berguna bagi bisnis handycrafku.
Pokoknya kalau Edelweiss sudah menjadi komitmen bersama untuk tidak
mengambilnya, cukup hanya memandang dan menikmati bau bunganya saja. Perut
sudah lapar lagi dan aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di jalanan yang
seingatku pada dua tahun yang lalu pernah makan biskuat di bawah pohon. Tas
Carrier ku bongkar dan mengambil nasting yang masih berisi sisa nasi tadi pagi.
Sengaja aku sisakan buat ransum di tengah perjalanan. Hanya dengan lauk pilus
Tic-Tac rasa udang panggang nasi dalam nasting tersebut habis.
Sementara itu cuaca yang berkabut membuat suhu
menjadi dingin, segera anak-anak menyalahkan api unggun kecil-kecilan,
sekaligus membakar sampah yang ada di sekitar tempat itu. Dari tempat ini jika
melihat tebing di kanan bawah nampak hamparan perbukitan sabana, berarti
alun-alun kecil sudah tidak jauh lagi. Dengan ditemani rintik hujan dari kabut
kami terus berjalan sambil sesekali saling mengingatkan agar tidak terkena
kontak langsung dengan Rengas alias Ri Jancukan yang tumbuh di sepanjang jalur
tersebut. Salah satu daya tarik sekaligus hal yang membuat Gunung Argopuro
berbeda dengan gunung yang lain adalah adanya tumbuhan berduri yang dapat
menyengsarakan pendaki jika kena kulit, Ri Jancukan atau Rengas adalah momok
selama melintas di jalur bersemak. Setelah melewati sebuah jalanan menurun akhirnya kami sampai di alun-alun
kecil.
Alun - alun Kecil |
Alun-alun kecil adalah sabana pertama yang akan
ditemui pendaki Argopuro jika berangkat melalui Baderan, selanjutnya akan
banyak sekali sabana yang membetang luas dengan pemandangan yang jarang
dijumpai di gunung lainnya. Medan selanjutnya berupa sabana dengan jalur yang
naik turun. Sepanjang jalur ini Edelweis sudah dapat dilihat. Kabut terus
bergelayut mengikuti perjalanan kami. Setelah melewati beberapa tanjakan, kami
masuk hutan kembali dengan vegetasi banyak pohon cemara. Tidak terasa kami
berada di tempat pemberhentian selanjutnya yakni jambangan. Jambangan adalah
nama daerah yang terletak di antara alun-alun kecil dan Cikasur. Berbentuk
sebuah daerah datar dengan semak yang lebat di kanan kiri yang diapit oleh
hutan cemara. Daerah ini dapat juga digunakan tempat untuk mendirikan tenda.
Selepas jambangan medan yang kami lalui adalah jalur datar yang mlipir memutari sebuah bukit.
Cuaca saat
itu tidak mendukung, kabut tebal bahkan sampai berkondensasi dan mengakibatkan
hujan rintik-rintik. Jarak pandang yang tidak terlalu jauh membuat kesempatan
untuk melihat pemandangan jurang di kanan jalan tidak jadi terlaksana. Jalur
yang datar juga membuat kami merasa jenuh. Namun kejenuhan oleh jalur datar
hilang setelah kami sampai sebuah tikungan di mana terdapat Edelweis yang
tinggi dan padat. Sayang kebakaran hutan di sebagian daerah itu membuat hutan
edelweis yang seharusnya elok, menjadi gersang. Hamparan sabana membentang luas
menanti kami di depan, sambil foto-foto kami terus berjalan melewati setapak
demi setapak area sabana dengan tebing kiri yang penuh edelweis dan sebelah
kanan lapangan yang membentang. Sekilas mirip seperti pemandangan alam di wallpaper windows yang baru saja di
instal ulang, hanya saja warnanya di sini kuning kecoklatan dengan langit yang
penuh kabut.
Sebuah jalur yang padat pepohonan dan semakin
menurun kami lewati, ternyata ada sebuah jembatan kayu, jembatan ini mirip
dengan jembatan kayu yang ada di jalur pendakian gunung Semeru. Selepas
jembatan ini medan yang kami lalui berupa tanjakan dan jalan menurun yang
rimbun oleh semak. Di ujung jalan menurun semak semakin rimbun, bahkan aku
sampai merunduk untuk melewatinya. Sementara itu Mboys berjalan di belakangku
sambil berkata ”Orang kecil berlindung di depan orang besar!”. Spontan aku
menjawab ”habis ini ada orang besar yang menindas orang kecil!!” J. Kemudian kami memasuki kawasan sabana kembali,
sementara itu kaki kiriku sudah tidak bisa diajak kompromi. Dengkul terasa nyeri jika harus melewati
area yang menurun dan datar, namun kalau melewati tanjakan kaki tidak terasa
sakit. Walau terasa perih semua rasa sakit aku singkirkan karena aku yakin
Cikasur sudah tidak jauh lagi. Pada sabana selepas jembatan kami istirahat
sejenak dan Arif menyempatkan diri untuk fotoria di rumput warna merah yang
tumbuh melingkar di tengah sabana. Selain warna merah ada juga yang berwarna
kuning.
Arif dan Sabana |
Perjalanan berlanjut lagi, aku yakin Cikasur sudah
dekat. Dua bukit membentang di depan dan jalur sabana yang mendatar dan
berkelok-kelok. Hingga pada sebuah tikungan ke arah kiri dan di sana berdiri
dua pohon besar yang berjajar. Pohon itu berbeda dengan pohon-pohon yang lain,
sekilas dari jauh seperti pohon asam yang tumbuh di antara pohon cemara. Dua
pohon tersebut seperti gapura masuk ke Cikasur, dan di bawah batangnya nampak
bekas api unggun dan kayu-kayu rontok. Akhirnya kami sampai di Cikasur pukul
16.00 setelah melihat sebuah bekas bangunan yang terbuat dari tembok, sementara
dari arah kiri berdiri sebuah pondok kayu di tengah sabana dan sungai kecil
yang penuh dengan selada air.
Selamat Datang di Cikasur |
Arif dan Danang berjalan lebih dahulu menuju
pondok kayu Cikasur, sementara Aku dan Mboys mengikutinya dari belakang. Kakiku
semakin sakit sehingga tertinggal jauh dari Arif dan Danang, rasa sakit sedikit
terobati setelah berfotoria di jalanan menurun dekat sungai Selada Air. Lutut
yang kesakitan berusaha aku tahan, agar terus bisa tahan jalan menyeberangi
sungai dengan jembatan dari sebuah batang pohon dan jalur tanjakan yang cukup
menguras tenaga. Akhirnya sampai juga di pondok kayu, kemudian kami sepakat
untuk mendirikan tenda di antara puing-puing bangunan yang konon bekas pabrik
pengalengan daging rusa dan ruang komando Jepang pada masa perang Pasifik.
Konon Dulu Bekas Markas |
Setelah mendirikan tenda, aku jalan-jalan sendirian melintasi puing-puing tersebut,setelah mengadakan penelusuran aku berasumsi bahwa pada masa lalu bangunan ini seperti ruang bersekat-sekat dan kemungkinan tebuat dari kayu pada dinding dan atapnya. Sebuah pohon tumbang menjadi batas akhir dari puing-puing tersebut, aku sempat naik pohon tumbang tersebut dan berjalan di atasnya. Kemudian pandanganku mengarah pada puing yang paling ujung, nampak sisa tegel atau lantai dari puing tersebut di antara rerumputan. Setelah turun aku mengamati lantai itu, dan mengambil sebuah potongan lantai yang berwarna merah bata tersebut. Dilihat dari bentuk, tekstur dan warna potongan lantai tersebut nampak seperti lantai yang ada di SMA komplek Malang yang bertempat di gedung tua dekat dengan alun-alun.
Aku balik lagi untuk menyiapkan makan malam agar bisa tidur nyenyak di base camp ’paling asri’ ini. Menu masakan kali ini adalah sayur sop dan mie sayur. Untuk pilihan minum terdiri dari kopi jahe, teh anget, nutrisari anget dan energen. Saat makan pun tiba kami doa bersama terus makan di ruang sebelah karena memang banyak pilihan ruang di Cikasur, namun ketika mencicipi sop buatanku..Ups! asin sekali. Ternyata aku kebanyakan membubuhkan garam dan Masako. Hasilnya masakanku kali ini kalah laris dengan mie instan yang dicampur dengan sawi. Sisa asinan sop kemudian kami buang di tempat begitu juga sisa sawi dan mie yang ada di nasting. Cuaca semakin dingin dan kabut kadang lewat seiring gelapnya hari. Saat itu kebetulan sedang padhang bulan, namun tidak bunder ser! Menurut perkiraan Arif saat bermalam di danau taman hidup nanti bulan purnama pasti indah karena kebetulan bertepatan dengan tanggal 15.
Sesi berikutnya adalah curhat dan ngopi, ditemani oleh dinginnya malam dan angin dingin. Aku dan Danang membuat api unggun, memanfaatkan sisa kayu yang kami temukan di dekat pondok kayu. Aku berjalan mencari sampah yang bisa dibakar dari ruang ke ruang. Namun sesampainya di ruang yang dekat dengan pohon langkah aku hentikan, pikiran di sini jadi tidak enak sehingga aku kembali ke tempat anak-anak dengan sampah seadanya. Sinar bulan menemani saat-saat berapi unggun dan tanganku tidak henti-henti mencabuti rumput setengah kering agar kayu besar bisa terbakar, ban bekas pengganti minyak tanah harus dihemat. Hingga aku mencabut rumput yang ada di belakangku, tak sengaja wajah menengok ke ruang sebelah bekas ruang makan tadi..tiba-tiba!?! Ku lihat sesuatu yang menurutku asing dan spontan aku kaget sampai memundurkan kepala secepat mungkin. Teman-teman terkejut juga, dan aku mengintruksikan untuk tenang, kami ngintip dari atas tembok ternyata kami kedatangan dua tamu malam ini yakni Sigung yang rebutan sisa asinan sop buatanku tadi sore. Semula kukira hewan ini macan cilik atau rubah.
Keberadaan sigung membuat kami menjadi menambah bahan untuk dibicarakan. Tidak hanya sigung yang menemani kami, ternyata juga banyak tikus yang berkeliling di sekitar tenda unutk mengincar makanan yang kami bawa. Tikus yang mengambil kesempatan disaat kita sesi curhat membuat kesal karena sampai masuk ke dalam tendanya Arief, untungnya saja ga ikutan tidur di dalam. Kami panggil tikus itu dengan nama siti alias ”sitikus”.
Sigung dan Sisa Mie Kami |
Sigung adalah sejenis pengerat yang jika tertekan bisa mengeluarkan bau tak
sedap. Baru kali ini aku melihat hewan yang sebelumnya aku lihat di film kartun
terutama di Open
Season dan Sigung yang di sulap jadi kucing dalam film Over the Hedge.
Season dan Sigung yang di sulap jadi kucing dalam film Over the Hedge.
Sepertinya hewan kecil nan lucu ini tidak merasa
terganggu oleh ulah kami yang menyorotkan lampu senter bahkan sampai
memotretnya. Dengan cuek ia makan sisa-sisa asinan sop dan sawi bekas mie tadi
sore. Setelah puas bermain dengan teman baru, kami melanjutkan berapi unggun
sambil menghabiskan sisa minuman hangat, sambil sesekali bermain dengan sigung.
Kabut yang terus berhuyun-huyun melewati Cikasur membuat bulan kadang terlihat
kadang tidak, meskipun begitu suasana bulan purnama masih terasa. Hingga ketika
tiba-tiba langit cerah tanpa terhalang kabut sedikitpun, kami semua berteriak
mengagumi keindahan langit ciptaan Yang Maha Kuasa. Awan tipis yang berada di
sekitar bulan berbentuk seperti serpihan kapas yang berjajar. Taburan bintang
di langit membuat kami lebih berdecak kagum, aku segera mencari rasi Scorpioku
untuk memastikan arah mata angin, sebab sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi kalau kepala Scorpio selalu menghadap dan mengarah ke arah
barat. Aku berpesan kepada anak-anak kalau perjalanan masih panjang dan
menganjurkan untuk segera istirahat di dalam tenda, hanya yang mau uji nyali
saja yang bisa bermain-main malam hari di Cikasur. Kami lalu beres-beres segala
perlengkapan, kompor dan peralatan masak lainnya aku tutup dengan jas hujan dan
barang-barang sebisa mungkin dimasukan ke dalam tenda. Kami lalu mengadakan
acara pipis bersama di samping tenda, dengan harapan agar sepanjang malam tidak
ada niat untuk buang air di luar tenda.
Suasana malam di Cikasur saat itu terasa mencekam,
kami memutuskan untuk bagaimana caranya bisa tidur. Kebetulan saat itu aku
membawa dua kerpus, yang pendek buat nutup
telinga dan yang panjang sedikit aku majukan untuk menutup mata agar tidak bisa
melihat apa-apa. Terbukti cara ini ternyata cukup efektif untuk membuatku bisa
tertidur meskipun beberapa jam saja. Tengah malam aku terbangun dan merasakan
ada sesuatu yang lewat dekat dengan tendaku, sosok hitam berangkangan menerpa dinding tenda, hingga menyentuh langsung
punggungku, rasanya empuk tapi menyeramkan. Kontan aku menggeser tubuhku agak
ke tengah sampai mengenai tubuh Mboys. Kemudian aku melanjutkan tidur lagi,
persetan dengan suara-suara yang ada di luar. Sesekali aku bertanya jam pada
Mboys dengan harapan semoga malam cepat berganti pagi.BERSAMBUNG ke bagian IV