Day III (12 Agustus 2008) –Ladang Tembakau-
Pagi harinya kami mencoba memaksa untuk masak nasi
walau kompor sedang ada masalah. Sebelum memasak, tenda kami bereskan dulu
karena tidak enak sama warga yang lalu lalang pergi menuju ladang. Kami memasak
sosis dan sayur untuk dicampur dengan bumbu pecel.
Baderan Resort |
Setelah sarapan porsi jumbo dan berbenah kami
bersiap melanjutkan pendakian pukul 07.50. Tidak lupa kami berdoa dulu dan
disela-sela persiapan perjalanan tiba-tiba ada anak kecil yang akan pergi ke
ladang. Sekilas tampak seperti Bolang (Bocah Petualang) dengan berbaju seragam
SD dan bersepatu khas orang-orang ladang yakni sepatu seperti kantoran hanya
saja bagian bawah lebih banyak bergerigi alias anti selip. Lewat di depan kami
anak itu mengucapkan permisi. Aku kebingungan mau ngasih dia sebungkus coklat
Top yang ada di dalam tas rotiku. Setelah aku rogoh beberapa kali masih belum ku temukan padahal sebelum
berangkat aku telah memasukkannya. Wah durung
rejekimu dik!.
Pagi itu aku menulis dalam selembar kertas pesan
singkat buat rombongan kloter kedua (Danang dan Arif) yang pagi itu masih
berada di Besuki. Isi pesan itu adalah bahwa aku ama Mboys akan menunggu mereka
di mata air I. Kertas itu kemudian aku selipkan di dinding sebelah luar rumah
kayu, dengan harapan agar mudah dilihat oleh mereka kalau lewat. Perjalanan
berlanjut lagi, kali ini medan yang kami lalui masih di dominasi oleh area
ladang tembakau, dengan tanjakan ringan yang agak licin akibat hujan kemarin.
Perjalanan dalam area ini agak mengalami kesulitan karena adanya percabangan,
akibat jalur ladang yang dibuat oleh penduduk. Hingga pada akhirnya kami
melewati sebuah rumah tua teratas yang masih terlintas dalam ingatan dua tahun
yang lalu aku pernah istirahat melepas lelah di daerah sekitar rumah tersebut.
Perjalanan terus berlanjut, pemandangan tebing di kanan jalan sangat menawan,
hutan yang masih lebat dengan sungai dan saluran air alami yang mengalir seolah
memperdaya kami dari medan tanjakan yang semakin banyak di depan mata. Akhirnya
kami tiba di medan tanjakan pertama yang membuat orang kapok lombok buat datang ke Argopuro. Baru berjalan beberapa
langkah rasanya kaki mau pecah. Ada bekas jejak ban sepeda motor di jalanan
yang aku lewati, ternyata sebuah motor Suzuki Crystal milik seorang peladang yang
sedang mencari rumput. Ingatanku pada daerah itu, dua tahun yang lalu aku
sempat makan biskuit di bawah pohon pisang yang berada di kanan jalan dan pohon
itu sekarang masih ada. Namun yang sudah menghilang adalah rumah yang berada
dekat pohon pisang tersebut sudah tidak ada, dulu aku pernah melempar permen
buat di berikan pada anak-anak peladang yang menemani orang tuanya berladang di
area itu.
Tanjakan demi tanjakan kami lalui, rasanya badan
semakin tidak karuan, tapi sudah
menjadi konsekuensi dari naik gunung. Tanjakan yang paling asyik walau agak
menjengkelkan adalah tanjakan yang berada di perbatasan antara kawasan ladang
dengan hutan. Sekilas mirip parkir mobil di mall, berbentuk spiral. Setelah
memasuki kawasan hutan kami banyak mendapat jalan bonus alias jalan yang datar
atau berupa tanjakan namun tidak terlalu curam. Guna menghilangkan jenuh kami
berbincang-bincang membicarakan Pak Tani dan nostalgia waktu KKA baik ketika
menjadi peserta maupun saat jadi panitia. Medan selanjutnya adalah tanjakan
yang tidak ada habis-habisnya, dengan jalur yang lebar dan membentang jauh
seolah-olah kami ditantang secara terang-terangan. Tak terasa kami sampai pada
area dimana waktu pendakian dua tahun yang lalu, aku sempat depresi karena satu
team kehabisan air. Setelah istirahat, makan biskuit, minum dan pipis, kami
melanjutkan perjalanan dengan berbekal keyakinan bahwa mata air I sudah dekat.
Hingga pada akhirnya aku melihat ada sebuah tanjakan yang membentang lurus
dengan sebuah pohon besar di sisi kanan yang di batangnya ada tanda warna
kuning. Tidak salah lagi itu adalah mata air I. Kami sampai pukul 13.30 dan
langsung mendirikan tenda.
"Kamar Kos di malam ketiga (mata air I) |
Senang rasanya bisa sampai basecamp Mata Air I tanpa kemalaman, kami langsung memasang tenda
sekaligus menantikan rombongan kloter kedua (Danang dan Arif) datang. Setelah
tenda jadi, iseng-iseng aku mencari kayu bakar dan sampah yang bisa di bakar
buat api unggun. Beberapa saat kemudian, dari pepohonan samping tenda terdengar
bunyi krosakan. Ternyata dua ekor kera lagi bergantungan dan setelah kami
mendekat mereka langsung tunggang langgang. Kali ini Mboys bertugas mengambil
air di sumber mata air I, sebelum berangkat aku berpesan kepadanya agar membawa
pisau dan senter buat jaga-jaga siapa tahu di bawah sana ada Aum! alias macan
yang lagi mainan air J. Aktivitas aku lanjutkan dengan membuat
parit alias got di sekitar tenda buat antisipasi kalau tiba-tiba turun hujan
deras. Saat mencoba mengambil kayu di bawah basecamp
terlihat tiga ekor monyet sedang bertengger dengan sedikit kepanikan. Kulihat
pohon di bawah tempat bernaung monyet tersebut sudah dalam keadaan habis
ditebang oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Mungkin monyet itu
ketakutan dengan kehadiran kami, mereka mengira sebagai pelaku pembalakan liar
alias blandong. Untuk membunuh sepi
di dalam tenda dengan sms-an karena masih ada sinyal sambil mendengarkan radio
Pro 3 RRI jaringan berita nasional.
Hari mulai agak gelap, sementara Danang dan Arif
belum kelihatan batang hidungnya. Hingga pada akhirnya sayup-sayup terdengar
teriakan seseorang yang memanggil namaku dari bawah. Spontan aku berlari ke
bawah, Danang dan Arif datang dengan membawa segenap penderitaan akibat
ditantang tanjakan secara terang-terangan. Kloter danang dan Arief sampai di
pos mata air 1 pukul 17.30. Aku membantu mereka mendirikan tenda dan kami
bersiap-siap masak untuk hidangan jamuan makan malam. Kami masak nasi, sayur
sop, mie instan, sarden. Minuman yang tersedia teh, kopi jahe, marimas jambu,
nutrisari anget. (Baru kali ini naik gunung dengan berjuta pilihan makanan).
Setelah makan kita berkumpul di api unggun buat
curhat, sambil menguji metode bahan bakar perapian terbaru dengan menggunakan
potongan ban dalam bekas, ternyata ampuh juga dengan api yang besar dapat cepat
membuat bara pada kayu kering. Meskipun asap dan bau yang ditimbulkan selama
pembakaran cukup menyesakkan mata dan dada. Malam semakin gelap, api unggun
yang kami buat pun semakin mengecil apinya sehingga salah seorang dari kita ada
yang bilang, eh turu rek, mene ben iso
budal isuk. Sebelum masuk tenda, barang-barang yang diluar tenda harus
dibereskan biar tidak mengundang tamu lain. Akhirnya perlengkapan memasak dan
botol-botol minuman kita letakkan di depan tenda persis dengan alas ponco dan
ditutup juga dengan ponco.
Makan Malam Spesial |
Setelah masuk tenda semua, aku dengan Roykan dan
Arief dengan Danang. Sebelum beranjak ke peraduan, Roykan sempat mengucapkan
selamat tidur pada 2 teman yang kecapean.. dengan kalimat yang agak manja dan
sedikit mesra.. ”Danang.. gingap”, ”met bobok”... berulang kali kalimat itu
diucapkan Roykan sehingga saat itu juga kita semua tertawa.. Malam hari sesaat
setelah semua tertidur, aku terbangun dan kulihat jam masih menunjukkan pukul
02.15 mataku menjadi sulit diajak kompromi tidur, akhirnya aku hanya menutup
mata di dalam sleeping bag. Pikirku aku merasakan sesuatu yang aneh terdengar
diluar tenda.. sepertinya ada yang mengelilingi tenda kami dengan suara derap
kaki yang keras. Perasaanku menjadi ga enag dengan ada apa diluar tetapi aku
tidak berani membuka tenda, langsung saja aku menyenggol Roykan yang nyenyak di
dalam sleeping bagnya. ”Kan, tangio...
aku membisikkan pelan” berulang kail aku mengucapkan kalimat tersebut tetapi
Roykan hanya mengucapkan kata.. ha..he..ha..
dengan nada ngantuk. Aku langsung saja bilang ”Kan, kamu ga denger suara ta?” koyoke ono sing muter-muter nang njobo
tendo. Kemudian Roykan hanya bilang.. oiyo..wes
menengo...digae turu ae. Saat itu juga aku langsung menutup mata
menggunakan lomar dari neng dengan degup
jantung yang cukup cepat. BERSAMBUNG ke bagian III