Catatan Perjalanan
Ekspedisi Sigung Bye-Bye!! (1)
(Gunung Argopuro
rute Baderan – Bremi, 10 – 16 Agustus 2008)
Team: Roykan ”Truk Tronton”, Dony ”Mboys”, Danang ”Cah Slawi” dan Arif
”Truk Sampoerna”
...Aller Anfang
ist Schwer
Gunung Argopuro bagi sebagian kalangan pendaki
dianggap sebagai gunung yang nyebelin
tapi ngangeni. Medan berat, tanjakan
curam, hutan yang masih perawan dan rute yang jauh alasan sebagian orang untuk
berpikir dua kali ngapain naik argopuro. Tapi semua itu terbayar oleh indahnya
pemandangan, sabana yang eksotis, hutan edelweis, selada air serta
keramahtamahan penduduk setempat.
Simak Teasernya
Dua tahun silam tepatnya 27-31 Agustus 2008
bersama Doni ’Mboys’, Donny ’Pilot’, Reza ’Gundul’ dan Cimenk ’maling Jepang’.
Aku naik Argopuro untuk yang pertama kali. Seiring dengan berjalannya waktu
keinginan untuk muncak bersemi
kembali apalagi semenjak aku membeli seperangkat peralatan naik gunung baru
hasil keringat sendiri (Panas-panas nyebar Brosur yo pasti keringatan J). Tas Carrier South Merapi (South Beach) 80 liter
+ Cover,Sandal gunung Eiger, Sleeping Bag+mini pillow North Face, Matras Eiger
semuanya serba baru telah ada di tangan. Rencana awal aku mau berangkat ke
Semeru, namun karena ada kabar kalau gunung itu sedang tutup, maka terpaksa
banting stir naik Argopuro. Setelah tertunda selama seminggu lantaran
teman-teman belum ada yang selesai dengan urusan kampus akhirnya ada
kesepakatan untuk berangkat tanggal 10 Agustus dan tanggal 11 Agustus Danang
ama Arif menyusul.
Day
I (10 Agustus 2008) – Kosan Roykan “Day of Days”-
Berangkat dari kos di siang bolong pukul 12.50, aku dan Mboys
pemanasan berjalan menuju stasiun Gubeng, kami kira awalnya ketinggalan komuter
karena diberi jadwal oleh teman kalau komuter berangkat pukul 13.03 jadi dalam
acara pemanasan kaki menjadi dipercepat apalagi lagkah Roykan terasa lebar.
Roykan sekali melangkah bagiku seperti 1,5 langkahku sehingga bagiku benar-benar
seperti diklat PA, hehehe. Tidak terasa perjalanan ngebut tadi kita sampai stasiun Gubeng pada jam 13.10. Setelah
menunggu beberapa saat, loket pun dibuka 10 menit sebelum keberangkatan, Roykan
pun membeli 2 tiket komuter sejumlah Rp4000,-. Tepat pukul 13:55WIB kereta Komuter tiba dan siap
mengantarkan kami menuju terminal Bungurasih.
Sesampainya di terminal Bungurasih kita mencari
bus langsung jurusan Situbondo, ternyata kita telah menjadi korban calo yang
tidak bertanggungjawab. Kita naik bus AKAS NNR AC tarif biasa 2 orang
Rp26.000,- lha pikirku kok murah sampai Besuki cuma kena segitu karena di
terminal dikatakan kalau bus akan turun di Besuki, namun ketika membayar karcis
kita akan diturunkan di terminal Probolinggo, hmm..kena juga deh ditipu. Sesampai
di terminal Probolinggo pada jam 17.30 kami pindah bus AKAS untuk melanjutkan
perjalanan menuju alun-alun Besuki dengan tarif Rp16.000 2orang. Malam itu
sekitar jam 19.40, bus turun di depan Polsek Besuki, setelah minta ijin dengan
petugas jaga dan ninggal KTP, aku mandi, sementara mboyz membeli makan di
sekitar alun-alun besuki.
Sekarang Dony niy yang nulis, pada saat membeli
makanan di sekitar alun-alun Besuki, aq teringat masa kecilku yang sering main
ke alun-alun. Sambil bernostalgia mengingat masa kecil, aku mengelilingi
alun-alun sambil mencari makan malam yang cocok. Setelah memberikan berbagai
pilihan makanan, akhirnya aku tertuju pada nasi goreng. Langsung saja aku
memesan 3 bungkus karena seingatku ada bapak yang lagi tidur di dalam mushola
sewaktu kita tiba di polsek Besuki. Setelah membeli nasgor berwarna pink, aku
bergegas membeli kekurangan barang belanjaan kita yakni gula, baterai senter,
dan film untuk kamera poket Roykan. Sesampai di mushola polsek kita langsung
menyantap nasgor dan es teh, tetapi 1 bungkus masih tersisa karena bapak yang
dtidur di mushola sudah pulang jadi kita bagi 2 nasgor tersebut. Setelah
kenyang dan bermain-main dengan teman baru kami yakni si pus ngeong, kita mulai
mengantuk dan beristirahat karena perjalanan masih panjang.
![]() |
Menanti Komuter di Stasiun Gubeng Surabaya |
![]() |
Gedung Tua Samping Kantor Polsek Besuki |
Pagi itu jam 07.00 tepat dari polsek setelah belanja sayur di pasar
Besuki, kami siap-siap untuk menuju Baderan. Hari itu bertepatan dengan tanggal
pasaran, hari di mana Pasar Khewan Besuki berlangsung aktifitas jual beli
Kambing, Sapi dan tembakau. Selama menunggu angkutan pedesaan yang menuju
Baderan di lampu merah banyak hal yang asyik untuk di observasi, di antaranya truk
maupun colt bak yang mengangkut sapi, motor yang narik becak dengan muatan
berat dan anak SD yang sedang latihan gerak jalan. Ketika Mboys mau memotret
seorang anak kecil perempuan berseragam putih merah berkata “Lek,…Foto Lek!”
padahal dia adalah pemimpin barisan, sementara teman-temannya hanya tersenyum.
![]() |
"Lek....Pak Lek ...Foto Lek !!!" |
Setelah menunggu kurang lebih 45 menit di bawah lampu merah akhirnya
datang angkutan pedesaan warna biru laut melintas dan Ups!! Hampir saja aku
kehilangan HP Moto W230 karena tanpa sengaja jatuh dari kantong dan tergeletek
secara terbalik di rerumputan yang berdebu. Andai saja dalam sepersekian detik
saja aku tidak menoleh ke belakang maka HPku pasti sudah dicucuk pithik. Aku dan Mboys duduk di dalam angkutan pedesaan yang
di awaki oleh tiga orang anak muda dengan musik dangdut koplo yang menggelegar
dari sound sistem di bawah dashboard.
Belum sempat enak-enakan menata pantat, angkutan
berhenti dan ngetem di sebelah timur
pasar Khewan Besuki. Aktivitas perekonomian berlangsung saat itu, Blantik,
pemilik Sapi, Tengkulak Tembakau sampai penjual VCD Kesenian Ludruk Pendalungan
Tumplek Blek di tempat tersebut.
Sembari menunggu angkutan untuk berangkat lagi Mboys bergegas berburu momen
menawan yang tidak dijumpai di Surabaya. Salah satu hal yang menarik adalah
cara orang-orang Besuki mengangkut Sapi. Sapi yang besar (Senior) diletakkan
sejajar bentuk colt bak atau Truk, sementara Sapi yang kecil (Junior) alias Pedhet
di letakkan melintang di bawah pantat Sapi yang besar. Jadi bisa dipastikan
kalau ada sapi besar buang air (besar atau kecil) maka Sapi yang kecil akan
menjadi tempat pertama kali kejatuhan kotoran.
Ada cara unik yang baru ku ketahui kalau ada sapi
yang ogah buat diantar menuju pasar, biasanya penuntun ada dua orang depan dan
belakang. Kalau dari didorong dari depan sapi tetap bandel maka penuntun yang
di belakang mendapat tugas menggigit ekor sapi agar sapi mau dituntun menuju
pasar. Akhirnya aku harus pindah ke mobil yang lain dalam satu armada yang
sudah terisi lebih banyak penumpang, karena menunggu terlalu lama kurang lebih
1 jam. (nambah Rp3.000 gak popo sing penting nyampe Baderan). AngDes
menuju Baderan dikenai biaya Rp13.000 untuk 2 orang.
![]() |
Tanaman berdaun 'emas' |
Angkutan pedesaan warna biru laut tancap gas
menuju Baderan melewati jalanan yang naik turun. Sebuah pemandangan yang sukar
untuk dilupakan, ketika melintas di area perbukitan yang penuh dengan ladang
tembakau. Para penumpang dalam angkutan pedesaan ini yang aku temui baik tua
maupun muda semua berbahasa madura. Ada nenek beserta cucunya, Ibu setengah
baya yang sedang belanja minyak, anak Sekolah, ulama NU, guru SD sampai petani
yang mengangkut jerami di atas bodi mobil. Berdasarkan pengamatan, yang menarik
dari hubungan sosial masyarakat dalam angkutan tersebut adalah masalah
kepercayaan (trust), sebuah ciri khas
masyarakat pedesaan yang kental. Hal ini tercermin dari sikap sopir yang
menitipkan anak balitanya di sebuah sekolah yang jauh dari tempat mangkalnya,
selain itu anak-anak berseragam putih merah yang naik angkutan nampak dijaga
oleh penumpang yang lain. Sebuah keharmonisan antar sesama pengguna angkutan
yang tidak ditemukan di Surabaya.
Sebuah penderitaan dalam angkutan desa warna biru
laut yang kami tumpangi adalah bahaya keracunan zat asam, sebab mobil yang kami
tumpangi ternyata bocor bodi bawahnya. Alhasil setiap kali mobil tancap gas,
sisa asap pembakaran dari knalpot masuk menyeruak ke dalam mobil. Apalagi
posisi duduk kami tepat di bawah lubang bodi mobil tersebut, gas asam masuk campur
debu sehingga cepat-cepat aku menutup hidung dengan slayer mini merah sementara mboys menutup hidungnya dengan topi.
Andai saja mobil itu melintas lebih jauh lagi mungkin semua penumpang khususnya
yang berada di belakang akan mati sesak akibat pengaruh gas CO. Jalanan yang tidak rata dan berlubang membuat
mobil bergoncang, kontan aku segera mengamankan empat butir telur ayam dari
tumpukan sayur sawi yang aku beli di pasar Besuki.
![]() |
Pak Suyono, Sang Jagawana Argopuro Jalur Baderan |
Tempat pemberhentian terakhirku di depan SD
Baderan sampai pada 11.03, setelah mengemasi barang bawaan. Aku dan Mboys
menuju Pos Perhutani yang menjadi tempat singgah pertama kali buat para
pendaki. Di rumah tersebut kami bertemu dengan Pak Suyono, salah seorang staf
Perhutani yang juga teman Pak Dadang, pegawai Perhutani yang kutemui dua tahun
yang lalu. Kita berbincang tentang jalur pendakian yang telah di plot dengan
patok dengan tanda angka yang baru (HM 1 – HM 150), dan berita kebakaran di
sebelah atas Cisentor. Bapak dua anak ini tinggal di kantor Perhutani Baderan
bersama istrinya, sementara dua orang anak perempuannya tinggal di Malang. Pada
pos perijinan ini kami memberikan iuran untuk ijin pendakian, menurut pak Yono
sesuai kemampuan pendaki dan alhamdulilah beliau memberikan keringanan karena
menurutnya kita masih mahasiswa jadi kita membayar Rp15.000 untuk 2 orang.
Sementara Roykan mengisi air ke dalam jerigen lima
literan, dua botol besar air mineral dan botol air Specialized, mboys menyempatkan sholat jamak dhuhur dan ashar dan
akhirnya kami bersiap-siap berangkat. Ada dua masukan yang cukup berarti saat
itu dari pak Suyono, yakni Pertama kalau naik dari Baderan mengambil air
langsung ke tanggul air di sekitar ladang. Kedua, jika membawa telur, ada cara
terbaru dalam pengemasan yakni dimasukkan dalam plastik perbutir, lalu ditimbun
dalam beras. Tujuannya kalau pecah tidak akan mengotori beras dan telur yang
lain. Hal ini berbeda dengan cara lama yang langsung memasukkan dan menimbun
telur lama beras yang kemudian di masukkan ke dalam kotak nasting. Namun
kekurangan dari metode ini adalah kalau telur pecah akan mengotori beras dan
peluang untuk telur lain pecah menjadi semakin besar. Karena terlanjur mengisi
air, maka aku berangkat langsung dengan beban di tas yang lebih berat dari pada
beban sebelumnya. Aku ingin mencoba ketahanan menahan beban dari South Beach 80
literku.
Perjalanan di mulai 12.50, setelah berpamitan
dengan Pak Suyono, medan yang kami lalui masih di daerah perkampungan dengan
jalanan yang kadang naik, datar dan naik lagi. Banyak persimpangan yang
dijumpai sepanjang perjalanan, jika bingung maka tidak ada salahnya untuk
bertanya pada penduduk setempat. Masalahnya sebagian besar penduduk Baderan
menggunakan bahasa madura. Sesampainya di tanggul irigasi, aku istirahat
sebentar dan melanjutkan perjalanan kembali. Aku terus berjalan lurus melewati
beberapa orang Pak Tani yang sedang mandi dan membersihkan diri. Belum jauh
kaki melangkah, aku diiingatin sama salah seorang Pak Tani kalau jalan yang aku
lalui adalah salah. Kalau mau ke Puncak Argopuro harus belok kanan menyeberangi
sungai melewati jalanan menanjak yang sempit.
Berjalan dalam lintasan yang sempit dengan
tanjakan yang tidak habis-habis membuat stamina seperti di uji lebih awal. Jika
ada petani yang lewat, otomatis kami harus minggir karena jalan tersebut hanya
layak untuk satu orang saja. Peluh mulai bercucuran, badan rasanya remuk.
Mungkin masa penyesuaian dengan lingkungan dan aktivitas yang baru. Ketika kami
melewati saluran irigasi tak kusia-siakan untuk bermain air segar yang alami
dan jernih. Suasana terasa menyenangkan jika melihat ke bawah, nampak sungai
besar bebatuan yang mengalir deras, sebuah pemandangan yang sulit dilupakan.
Salah satu kendala yang harus dihadapi jika naik
Argopuro lewat Baderan adalah banyaknya jalan bercabang di sekitar area ladang
tembakau. Terhitung sudah empat kali kami kebingungan mencari jalan yang
menjadi jalur pendakian, semua serba salah apalagi ditambah kendala roaming bahasa dengan penduduk setempat.
Maka alternatif yang aku gunakan adalah menggunakan bahasa tarzan, yakni
pertanyaan pada penduduk memakai isyarat tangan dan lebih menegaskan kata-kata
Argopuro!.
![]() |
Persiapan Terakhir |
Perjalanan terus berlanjut, kulihat Roykan sudah
mengeluarkan keringat sebesar jagung dan banyak sekali sampai bercucuran, ya
inilah pendakian awal yang dilakukan pada siang bolong dengan tanjakan yang
bikin ngos-ngosan. Pada ujung
tanjakan Roykan mengajak untuk istirahat dan mengambil coklat, sepertinya
perjalanan bakal berlangsung lama seperti ini. Hingga kami sampai pada jalan
yang mengitari perbukitan ladang tambakau dengan jalan turun yang di bawahnya
terdapat mini tanggul. Kami beristirahat sejenak saat itu, mempersiapkan tenaga
karena di depan mata terbentang tanjakan yang bisa dikatakan cukup menguras
tenaga. Beberapa saat kemudian di tengah perjalanan, nampak seorang kakek yang
membawa sebuah palu besar dari kayu. Sekilas seperti senjata andalan salah satu super hero Marvel yakni Thor J. Aku mempersilahkan beliau untuk lewat lebih dahulu,
namun kakek tersebut bersihkeras agar kami yang lewat duluan. Sebelum
berpapasan kakek itu bilang sesuatu kepada kami, walau tidak mengerti bahasanya
namun jika ditafsirkan secara ngawur
artinya untuk menuju argopuro jika ada rumah di depan selepas tanjakan langsung
belok kanan. Begitu kira-kira artinya.
Setelah sampai di ujung tanjakan kulihat di
sebelah kanan, nampak sebuah rumah kayu atau lebih bisa disebut sebuah gubuk.
Di samping rumah tersebut tumbuh pohon pepaya dan nangka. Sementera di sisi
lain terdapat hamparan kebun tembakau gunung khas Besuki. Tiba-tiba cuaca mulai
berubah, langit yang tadinya cerah berubah menjadi agak gelap berkabut.
Kemudian rintik hujan kecil mulai turun, waktu itu posisi kami tepat berada di
dekat rumah tersebut. Kami putuskan untuk berteduh sejenak, dan di tiang rumah
tersebut terdapat suguhan gratisan yang mengingatkanku pada Pak Jo Kalidami.
Sebuah pepaya matang yang telah di iris sedikit dengan sabit nampak menggoda
iman. Segera aku ambil pisau
lipat dan mengupasnya bersama Mboys. Hujan makin deras dan kabut makin tebal
sementara waktu bertambah sore, sehingga kita memutuskan kalau pukul 15.30
hujan tidak reda kita harus ngecamp, dan ternyata benar hujan belum reda sampai
pukul 16.00 sehingga kami memutuskan mendirikan tenda.
Tenda pantai Colleman cap Petromaks kami dirikan
tepat di dalam teras rumah kayu tempat awal berteduh dan makan pepaya. Jadi
saat ini tempat bernaung sementara memiliki double
protection dengan dua cover satu dari parasut dan satu dari jerami alias
atap teras gubuk kayu yang tidak akan takut basah. Setelah tenda berdiri, hujan
tidak kunjung reda, kami memutuskan untuk masak menggunakan kompor alien dengan
bahan bakar gas tabung butana. Setelah mencoba untuk merebus air ternyata
kompor yang aku bawa tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, katup besi yang
terletak di sebelah pintu jepit tabung gas bocor, akibatnya keluar api. Dengan
penuh kesigapan Mboys mencoba membereskan kejadian tersebut, api cepat-cepat ia
matikan dan baut pada katup gas dikencangkan dengan kunci inggris. Namun metode
itu tidak bertahan lama, api tetap saja bocor. Sore itu kami hanya memasak mie
instan yang dicampur dengan sayur sawi dan minuman hangat serta kopi, sebagai
pengganjal perut buat istirahat.
Malam hari pun tiba, Roykan sudah siap-siap masuk
dalam sleeping bag barunya. Dia sudah start duluan meniggalkan aku yang masih
membereskan tempat di dalam tenda. Sengaja pada malam di pondok tersebut aku
tidak menggunakan sleeping bag karena kupikir belum terlalu dingin, aku hanya
menggunakan jaket, celana panjang dan kaos kaki. Ternya gelapnya malam di bawah
pondok bagus juga tak kulewatkan untuk mengambil foto suasana waktu itu. Setelah
mengambil foto, peralatan kamera dan baterai aku tempatkan di dalam sleeping
bag diantara kaki agar tetap hangat untuk menjaga kekuatan baterai selama di
gunung dan menghindari embun pada kamera akibat dingin. Dan terlelaplah kita
beberapa saat kemudian... BERSAMBUNG ke bagian II