Episode Sebelumnya di Bagian IV
Day VI (15 Agustus 2008) - Cisentor
Kekuatiranku bangun tidur sudah berada dalam
jurang tidak terbukti. Pagi itu aku sudah masih dalam tempat tenda berdiri
sejak semalam. Suara klutik-klutik
yang ditimbulkan oleh Mboys di pondokan Cisentor yang kami jadikan dapur
membangunkanku. Ternyata Mboys bangun lebih awal diakibatkan dia tidak kuasa
menahan hawa dingin dan segala dorongan dan himpitan ketika dia tidur.
Kebetulan saat itu dia berbaring dekat pintu tenda, tapi bangun-bangun satu
tangan sudah berada di luar tenda. Benar juga inilah saat, orang kecil ditindas
oleh orang besar.
Tenda beradab (kuning biru) dan tenda tak beradab (Gubuk PSK rel sepur Gubeng seng) |
Pagi itu, aku bisa melihat tetangga tendaku.
Rupanya ada seorang cewek yang ikut dalam rombongan mereka. Kami sempat kenalan
dengan masing-masing anggota rombongan, namun beberapa saat kemudian sudah lupa
dengan nama mereka masing-masing. Sing
penting kami tahu kalau mereka dari Jakarta mahasiswa pecinta alam UIN
campur anak Probolinggo dan Bondowoso featuring
seorang anak Baduy luar (mboys jadi inget sama neng Anny_antroUI yang pernah
mroyek kesana). Pagi itu kami menyadari kebodohan yang telah kami buat, ngapain dini hari berjalan lagi di jalur
yang sama untuk naik ke Puncak Rengganis?. Hal ini menurut pengamat sejarah,
Sejarawan muda Universitas Airlangga Surabaya Republik Indonesia, Arif S.S sama
dengan kalau kita naik puncak gunung Arjuno dengan tujuan menikmati puncak
Arjuno I untuk menikmati Matahari Terbenam dan kembali ke Pondokan selanjutnya
pada dini hari kembali menuju puncak Arjuno II ditengah hawa dingin untuk
menikmati matahari terbit. Padahal seharusnya ke puncak Welirang untuk
menikmati matahari terbenam dan puncak Arjuno untuk menikmati matahari terbit.
Danang pun sepakat untuk kembali ke puncak Rengganis lain waktu.
Bersama Rombongan UIN Jakarta |
Supaya tidak kemaleman
sampai di Danau Taman Hidup dan dapat berjalan dengan santai, kami memutuskan
untuk segera berbenah. Yang penting segera meruntuhkan tenda trapesium. Selama
masak pagi masih diproses, Danang dan Mboys membersihkan diri. Rombongan UIN
sudah pamitan kepuncak lebih dahulu. Menitipkan tendanya pada kami buat
sementara selama menuju puncak Argopuro dan puncak Rengganis. Begitu barang
sudah masuk tas kami bersiap-siap berangkat setelah doa bersama. Tas Carrierku
sekarang kuisi dengan dua tenda dan barang bawaanku sendiri. Sebelum berangkat
kami berdoa dan tidak lupa foto-foto dengan latar belakang tenda tetangga.
Tepat pukul 09.00 kita berangkat dari pos
Cisentor. Awal perjalanan dari Cisentor benar-benar membuat hati pilu,
sepanjang jalan yang terlihat hanya sisa kebakaran hutan. Tidak sedikit
pohon-pohon besar yang tumbang menghalangi jalan setapak, sehingga kami harus
merunduk, merangkat sampai harus ngangkang
melewati berbagai macam halangan. Ada beberapa pohon tumbang yang masih
menyisakan asap bekas kebakaran. Satu pohon besar yang membuatku serba salah,
mau menunduk terlalu rendah, mau menaikinya juga terlalu tinggi, jadi aku
mencoba untuk memutarinya saja meskipun harus berjalan agak menjauh, toh di
tengah perjalanan aku menemukan sebuah sarung tangan yang bisa dijadikan
sebagai pelindung dari bahaya racun rengas. Selepas kebakaran hutan kami masuk
area yang penuh dengan semak dan pohon cemara dengan medan yang berkelok-kelok.
Setelah itu kami masuk sabana kembali, yang lebih enak di sebut sebagai bekas
sabana atau sabana gosong karena kebakaran sampai merambah area ini. Di tengah
perjalanan kami menjumpai dua orang pendaki yang berasal dari Surabaya menuju
Cisentor. Satu orang agak kurus dengan membawa carrier dan tas kecil di bagian
depan, sementara temannya lagi gemuk membawa carrier 60 liter dan yang menarik
perhatianku Mas yang gemuk ini ternyata udel
’e bodong.
Sisa Kebakaran Hutan |
Berjalan menyusuri sabana terbakar cukup menguras
tenaga, medan naik turun, pohon tumbang dan panas yang menyengat menjadikan
konsumsi air kami lebih banyak. Entah berapa luas hutan yang terbakar di area
ini, sampai pada kawasan yang dulu bervegetasi cemara dan edelweis kami
menjumpai kawasan hitam dan berdebu. Selepas hutan yang terbakar kami masuk
jalur T-Rex, yakni jalur berkelok-kelok dengan jalan yang sempit dan banyak
rumput yang tumbuh tinggi sehingga mirip jalur dalam film Jurassic Park.
Pemberhentian kami berikutnya adalah di Aengkenik.
Rengas atau Ri Jancu’an |
Aengkenik adalah sebuah tempat lapang kecil di
antara dua bukit yang mempunyai sebuah sungai kecil yang mengalir di bawahnya.
Aengkenik (kalau diartikan secara bebas dari bahasa Probolinggo) berarti air
kecil. Sampai di tempat ini sekitar
pukul 13.15 aku melepas Carrier untuk mengisi ulang air minum dan menikmati
doping gula Jawa sebab perjalanan masih panjang. Perjalanan menuju Danau Taman
Hidup berlanjut kembali, menyusuri berbagai jalur dari yang datar, menanjak,
penuh semak, jalan menurun sampai jalan curam yang harus ekstra hati-hati kalau
melewatinya. Banyaknya jalur yang tertutup pohon tumbang membuat Mboys sedikit
bisa tertawa, dengan postur yang kecil ia bisa merangkak dan masuk dengan
mudah. Sementara bagi Arif yang paling gedhe tentu menjadi perjalanan yang
menguras tenaga dan pikiran. Begitu masuk jalur menuju tebing kesayangan, aku
ingat di mana dua tahun yang lalu aku sempat berfoto bersama anak-anak Gempa
Besuki dan Rombongan Blitar. Sebelum tikungan menuju tebing kesayangan tanpa
sengaja Ups!..tanganku dicubit rengas alias ri Jancukan. Terlihat tiga buah
lubang kecil bekas kena durinya. Cepat-cepat aku menghisap tangan yang sakit
supaya racunnya tidak menyebar luas ke tanganku.
Di depan nampak tiga orang sosok pria asal Bandung
yang sedang berjalan akan berpapasan dengan kami. Penampilan mereka
mencerminkan bukan pendaki gunung pemula lagi, hampir semua barang yang melekat
ditubuhnya adalah peralatan outdoor yang bermerek. Salah satu dari mereka mempunyai
postur tubuh yang keren, kaki besar dengan betis yang membuat para pendaki lain
berpikir dua kali kalau di ajak naik kuat-kuatan sama dia. Meskipun begitu kaki
seperti itu masih kalah besar jika dibandingkan dengan betis Pak Tani Si Raja
Kentol Internasional produk Antropologi Unair J. Kami memberi kesempatan pada tiga orang itu supaya berjalan lebih dahulu. Salah
seorang dari mereka terkena ri jancukan, tepat pada posisi di mana aku tadi
juga terkena.
Selepas tebing kesayangan kami terus berjalan entah
berapa bukit yang harus kami lewati. Hingga pada saat kami lewat di bukit yang
banyak ditumbuhi cemara dan edelweis, kabut tebal bergelayut yang mengakibatkan
turun hujan rintik-rintik. Lumayan buat sedikit menghemat air karena udara
menjadi dingin, meskipun jalanan menjadi licin. Untung ada sandal gunung Eiger
yang siap menahan jalanan licin karena memang sepatuku sudah aku pensiunkan
sejak berangkat dari Cisentor. Memasuki hutan lumut, stok airku sudah menipis,
saat itu aku mulai latihan untuk ngelakoni
ilmu menahan rasa haus alias ilmu unto.
Perjalanan yang paling menegangkan adalah saat
melewati hutan lumut yang banyak ditumbuhi pohon raksasa, sinar matahari saja
tidak sanggup masuk karena terhalang rimbunnya dedaunan disamping kawasan ini
selalu berkabut. Sepanjang jalan kanan kiri hanya pohon-pohon besar dan yang
lebih mengerikan ada suara seperti babi hutan terdengar dari kejauhan. Segera
ku ambil pisau lipat dan berjalan lebih cepat. Kalau saja ada babi hutan
menyeruduk dari depan, pisau akan aku goreskan sedikit di punggungnya sampai
membentuk seperti sayatan kecil yang menyerupai lubang masuk uang koin ke dalam
celengan J. Begitu menegangkan dengan suara hewan
liar entah babi hutan atau Aum! mengiringi perjalanan kami sore itu.
Hingga akhirnya kami sampai juga di Danau Taman
Hidup pada pukul 16.15, menikmati malam yang puitis dengan bulan purnama, kabut
yang datang dan pergi membuat suasana malam bertambah dingin dan romantis.
Suasana itu tidak berjalan lama, rombongan lain datang dan memenuhi tempat
lapang di depan kami. Kebetulan saat itu ada pendakian bersama guna upacara
bendera yang diadakan oleh salah satu Universitas di Malang. Seorang anggota rombongan mereka
mendirikan tenda tepat di belakang tenda trapesium Arif. Setelah
berbincang-bincang sejenak, kami lalu memutuskan untuk beristirahat seiring
habisnya kopi dalam gelasku.
”Malam padang bulan di bukit
taman hidup”
BERSAMBUNG ke bagian VI
|