Tantangan dalam Keragaman Industri Kreatif: Refleksi Mubes PAKARTI 2015

Ada kegembiraan tersendiri begitu saya memasuki halaman Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di kota Solo. Terpampang sejumlah banner dengan ikon muka tersenyum berwarna orange, logo khas dari Persatuan Kartunis Indonesia (PAKARTI). Organisasi yang mewadahi kartunis atau kelompok kartun di nusantara. Saya mengenal PAKARTI sejak tahun 2004 ketika masih berupa forum grup di internet. Pada masa itu saya sering mendapat informasi lomba kartun atau karikatur dari melihat postingan dan diskusi dalam grup. Biasanya hanya memantau segala aktifitas kartunis anggota dalam dunia maya, kali ini atas undangan dari panitia yang tergabung dalam Persatuan Kartunis Solo (PAKARSO). Saya dapat bertemu langsung dengan kartunis Indonesia yang berasal dari beragam daerah. PAKARTI kerap melakukan kegiatan yang didominasi oleh pameran bersama, workshop, seminar, dan diskusi. 
Kartunis Bersatu (foto oleh Is Ariyanto)

Keragaman kartun Indonesia tercermin pula dari keragaman kartunisnya, saya melihat di depan halaman Wisma Taman Jawa Tengah telah berkumpul berbagai macam sosok dari yang terlihat serius sampai yang cengengesan, dari yang terlihat rapi sampai yang gondrong. Sebagaimana pandangan masyarakat umum bahwa seniman identik dengan rambut gondrong awut-awutan. Semua itu adalah tampilan luar belaka, begitu memasuki lokasi saya mendapat sambutan hangat dan ramah dari orang-orang yang duduk berjajar di depan wisma. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, tidak semua kartunis yang terlihat garang atau serius itu sama seperti tampilan luarnya. Terbukti beberapa kartunis yang saya kenal, walaupun terlihat garang atau serius, mereka sanggup membuat gambar dengan tingkat humor yang cerdas. Lucunya meledak-ledak. Contohnya Benny Rachmadi, seorang kartunis yang dikenal lewat serial Lagak Jakarta ketika dalam suatu kesempatan wawancara pada tahun 2007 lebih terlihat sebagai figur yang serius, di balik hasil karyanya yang lucu dan representatif. Ada pula kartunis dari Ngablak-Magelang yang dikenal sebagai Nank Ngablak, secara penampilan berambut panjang, namun begitu berinteraksi langsung tidak sedikit celetukannya yang membuat pendengarnya terbahak-bahak. 

Sambutan sekaligus laporan Pak Presiden 

Tanggal 28-29 Maret 2015 PAKARTI mempunyai hajatan di Solo, musyawarah bersama (mubes) untuk memilih ketua umum (Presiden PAKARTI) sebagai suksesi rutin dalam menjalankan roda organisasi. Hajatan PAKARTI kali ini dihadiri oleh beberapa kartunis senior, yang menjadi sesepuh dalam jagad perkartunan di tanah air di antaranya Pramono R. Pramoedjo (Pak Pram), Sudi Purwono (Nono), Darminto M Sudarmo (Pak Dar), Yehana SR (Yeha), dan Koesnan Hoesi. Para kartunis sesepuh yang memulai acara dan menawarkan beragam pilihan dalam mekanisme pemilihan ketua PAKARTI yang baru. Muncul dua calon dalam pemilihan umum ketua kartun kali ini, calon incumbent yaitu Jan Praba dan calon dari Semarang Cartoon Club (SECAC) yaitu Abdullah Ibnu Thalhah. Setelah melalui pemilihan dan perhitungan suara yang cukup dramatis terpilih kembali Jan Praba sebagai Presiden PAKARTI periode 2014-2019. Selain pemilihan ketua, rangkaian musyawarah bersama PAKARTI dilengkapi dengan acara sarasehan kartunis, peluncuran katalog kartunis ber-Aksi bersama KPK, dan menggambar bersama dalam area car free day (CFD) di pusat kota Solo. 
Antusias 

Ada beragam tantangan yang dihadapi oleh PAKARTI pada usia ke-25 tahun ini, mengutip dari Laporan Pertanggung Jawaban kepengurusan lama. Menurut Jan Prab,  ada beberapa pekerjaan rumah yang masih belum diselesaikan, diantaranya: pencatatan kembali anggota (sensus kartunis anggota), pengadaan kartu tanda anggota (KTA), pengadaan kantor sekretariat, regenerasi kartunis, dan mengoptimalkan kinerja khususnya administrasi organisasi. Semua terkendala karena kesibukan masing-masing kartunis yang mempunyai aktifitas lain di luar menggambar. Pasalnya era kartunis di jaman serba digital sekarang ini, bukan lagi masa keemasan kartun di era media cetak seperti periode tahun 80-an sampai akhir 90-an. Pada masa itu media cetak banyak menyediakan rublik kartun yang menerima, memilih, memilah, dan menayangkan kartun dari kontributor. 
Sudut lain Ruang Pamer

Era keemasan media cetak disambut oleh kartunis yang sadar bahwa berkarya membutuhkan wadah. Pada era tahun 80-an bermunculan berbagai macam paguyuban kelompok kartunis yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang. Komunitas kartun merupakan manifestasi dari lingkungan yang intens secara interaktif, membentuk identitas yang dijiwai oleh perasaan khusus berkaitan dengan lingkungan asal. Kelompok ini terdiri dari: Persatuan Kartunis Indonesia (PAKARTI),  ALAMAK sebuah kelompok yang berasal dari Medan, Sindikat Kartunis Riau (SIKARI), Kelompok Kartunis Kaliwungu (KOKKANG), KERAMBA (Ambarawa), Wadah Kartunis Semarang (WAK SEMAR), Keluarga Kartunis Banyumas/Purwokerto (PURWOKARTUN/KELAKAR), Serikat Kartunis Ciputat (SEKARAT), Kelompok Pecinta Kartun (KOCAK) Gombong, Terminal Kartun Unggaran (TERKATUNG), Semarang Cartoon Club (SECAC), Seniman Jakarta  (SENJA), Perkumpulan Kartunis Rawamangun (PERKARA), Olah Seni Kartun Indonesia (OSKI Sukoharjo), Paguyuban Kartunis Yogjakarta (PAKYO), Paguyuban Kartunis Solo (PAKARSO), Solo Kartunis (Sloki), Kartunis Bandung (KARUNG), Ikatan Kartunis Banjarmasin (IKAN ASIN), Kartunis Kota Daeng-Makassar (BASKOM KARAENG), Perempuan Suka Kartun (PSK), dan Kumpulan Kartunis Tanggerang (KUTANG). Kelompok kartun di tanah air aktif berkarya dalam bentuk gathering, pertemuan rutin, ngartun/ngarikatur bersama, dan pameran baik dalam skala lokal maupun nasional.  
Pusingnya Pakdhe Odios
Kenyataan yang terjadi adalah beberapa kelompok kartunis yang eksis, namun tidak sedikit yang terseok-seok sampai hilang tertelan keadaan. Keadaan tidak menentu di tengah semakin sempitnya ruang hidup rublik kartun, khususnya di media cetak. Ibarat petani, telah terjadi penyempitan lahan untuk bercocok tanam akibat praktek alih fungsi lahan. Rublik kartun mingguan di beberapa media telah terganti oleh iklan. Ini menjadi tantangan bagi PAKARTI sebagai organisasi yang mewadahi kartun dari berbagai daerah, dengan total anggota pada sensus terakhir tahun 2004 telah mencapai 400 kartunis. Tentu saja jumlah ini akan terus bertambah, mengingat animo masyarakat pada kartun yang tinggi dan munculnya kartunis era cyberspace yang besar bahkan terkenal tanpa melalui media cetak. Menurut  hemat saya, PAKARTI perlu melakukan upaya pemberdayaan kartunis yang selaras dengan keadaan jaman. Oleh karena itu dalam berproses kreatif kartunis perlu selalu meningkatkan kemampuan dan kapasitas (skill and capacity). Kemampuan mengacu pada urusan teknis, bagaimana hasil karya yang dibuat tidak sekadar asal corat-coret. Namun menjadi sebuah karya yang matang, buah dari ketekunan berlatih dan konsistensi berkarya. Semua kembali pada produktivitas dan kreatifitas dari masing-masing kartunis untuk menghasilkan karya yang mempunyai ciri khas. Visualitas kartunis dikenal melalui gaya goresannya sebagai sesuatu yang personal, sedangkan aspek estetika kartun tidak melulu pada hasil gambar, namun humornya. 
Sementara itu, dalam kapasitas kartunis harus sadar sepenuhnya hakekat dari menggambar kartun. Kartun dapat menjadi sarana untuk merepresentasikan berbagai fenomena, situasi gambar yang kontektual dan semuanya kembali kepada proses kreatif dari kartunis sendiri. Proses kreatif  bukan hanya sekadar menggambar apa adanya, namun mampu mewacanakan apa adanya menjadi ada apanya. Mengutip pernyataan dari Darminto M Sudarmo bahwa kartunis yang baik harus mampu menjadi ‘anjing penjaga’ (watch dog atau guard dog) dan jika seorang kartunis tidak mengetahui hal itu, lebih baik tidak usah menjadi atau mengaku sebagai kartunis. 
Djoko Susilo Turun ke Jalan (CFD Solo 29/03/2015)

Menyempitnya ruang publik kartun humor di media menjadikan sebagian kartunis dihadapkan pada dua pilihan, antara memanfaatkan ‘lahan’ yang ada atau memilih alternatif berkarya yang lain. Kreatif menurut Michael Keane (2013) adalah “Creativity is harmonized, stripped of profane elements, and turned into economy”. Orientasi ekonomi diperlukan oleh kartunis agar karyanya lebih dikenal dan disukai media dan pembaca. Terutama untuk kartunis yang menyandarkan kehidupannya dari hasil berkarya, dalam proses kreatif tidak hanya untuk dirinya sendiri. Kreatifitas diperlukan untuk menyikapi segala dinamika terutama hubungan antara media cetak dan kartun yang dirasakan tidak semesra dulu. Budaya kreatif yang telah terjaga dan dilaksanakan oleh komunitas kartun seyogianya disinergikan dengan industri kreatif melalui kegiatan ekonomi kreatif. 

Ekonomi kreatif  sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, keterampilan serta bakat individu demi menciptakan kesejahteraan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan cipta individu. Terdapat lima belas item dalam ekonomi kreatif diantaranya: periklanan, kuliner, pertunjukan, penerbitan percetakan, riset pengembangan, radio-televisi, komputer, musik, video-film-fotografi, tata busana, permainan interaktif, kerajinan,  kesenian dan arsitektur. Kartun tidak termasuk dalam lima belas jenis ekonomi kreatif. Para kartunis tidak perlu berkecil hati, walaupun secara tersurat tidak ada item kartun secara khusus. Namun pada prakteknya kartun tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Saya mengibaratkan kartun ibarat gula yang dapat menjadi penambah kenikmatan makanan, minuman bahkan sebagai tambahan bumbu dapur. Kartun dapat merambah iklan, film, permainan interaktif, kerajinan, penerbitan, dan kuliner. Beberapa logo umum yang biasa kita lihat tidak sedikit yang menyertakan ikon kartun dari minimarket, perusahaan jasa sampai restoran. 

Standar kompetisi menjadi solusi menjawab tantangan jaman. Ini menjadi pekerjaan rumah PAKARTI karena ketika rublik kartun di media cetak telah dianggap kurang menjanjikan, justru animasi mendapat angin segar dan menjadi kabar menggembirakan. Standar kompetensi meliputi peningkatan (upgrading) dan perubahan (transforming) dari kemampuan ngartun secara manual menjadi digital. Terlebih lagi dapat menjadi gambar bergerak atau animasi. Penguasaan perangkat animasi dapat menjadi jawaban atas menyempitnya ‘lahan’ kartun di media cetak. Saya salut dengan film animasi yang ditayangkan oleh televisi swasta yakni Kartun Keluarga Somat, Kartun Si Entong dan film animasi Adit Sopo dan Jarwo. Tidak hanya animasi biasa, namun dapat merepresentasikan kehidupan keluarga di Indonesia secara kontekstual.  

Ku Senang menjadi bagian dari Kartunis Indonesia 

Pada usia 25 tahun PAKARTI ibarat menjadi pemuda yang dituntut berpikiran secara lebih dewasa. Anggota yang tersebar di berbagai daerah perlu dirangkul dan lebih diberdayakan dengan mengoptimalkan kegiatan blusukan ke komunitas kartun daerah agar tahu aspirasi kartunis akar rumput. Mengutip dari David Parkin dalam makalah yang berjudul “Escaping Culture: The Paradox of Cultural Creativity” (2001) dijelaskan bahwa komunitas yang berbeda, komunitas yang terpisah oleh jarak terkadang mempunyai kesamaan hanya pada satu atau dua aspek, tetapi lebih banyak terdapat sesuatu yang kontras pada beberapa aspek. Itulah perlunya menyatukan yang terserak, namun tetap menjaga keunikan masing-masing dalam berkarya. Segala perbedaan adalah cikal bakal dari sebuah kekayaan khasanah seni. Selamat menjadi bagian dari peradaban kartunis Indonesia, semoga di usia ke-25 tahun PAKARTI menjadi organisasi yang menjadi rumah nasional bagi pengembangan demi kemajuan dunia kartun nusantara. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tantangan dalam Keragaman Industri Kreatif: Refleksi Mubes PAKARTI 2015"

Post a Comment