Mancing dan Pandemi COVID-19

"Aktivitas memancing dan pintu air Jagir merupakan representasi keadilan spasial sebagai hak untuk menggunakan serta memanfaatkan ruang publik. Hak warga kota untuk memanfaatkan ruang publik tanpa merugikan pihak tertentu" (Papu Roikan, 2020) 

Sungai yang  terlockdown (karya Roikan)

Pada suatu sore di masa PSBB ponsel berdering. Ada panggilan masuk dari nomer asing. Saat itu saya sedang asyik menyiapkan diri untuk mancing sekaligus joging. Aktivitas rutin memancing sekaligus olahraga pada sore hari. Untuk mencari ikan lauk sekaligus mendapatkan olahraga. Ternyata ada seorang wartawan dari Jawa Pos spesialis rublik kota Surabaya bagian utara (Mas Zam) yang ingin liputan tentang pemancing kota pada masa pandemi. Memang sejak COVID-19 atau yang lebih dikenal sebagai virus markona kata orang warung kopi ada himbauan untuk tetap diam di rumah. Tapi bagi pemancing berdiam diri di dalam rumah tentu sangat meresahkan dan bisa membuat stres. Pada pertengahan Juni akhirnya berlangsung wawancara singkat di dekat pintu air Jagir sambil menunggu saya memancing. Setelah sebelumnya saya berikan akses informasi dan pengalaman memancing saya dari blog dan media sosial yang saya gunakan sebagai catatan. Jurnal wong mancingan istilahnya. Inilah isi berita dari hasil wawancara di tepi kali: 


Jawapos Metropolis, 22 Juni 2020 

Aktivitas Pemancing di Kali Jagir pada Masa Pandemi 
Langsung Ramai karena Ada Yang Unggah Kakap Putih 

Minat masyarakat untuk memancing justru menunjukan peningkatan pada masa pandemi. Beberapa spot favorit sering dikunjungi dan nyaris tidak pernah sepi. Puluhan orang berjejer rapi di tepi sungai, lengkap dengan menggunakan masker, buff, bahkan berbalut sarung 

(Laporan M.Azami Ramadhan- Jawa Pos)




Roikan kaget melihat deretan pemancing yang duduk di sisi Kali Jagir Utara. Sebab, saat itu Surabaya tengah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pertama. Sekitar akhir April lalu.

Dia mengira imbauan pemerintah untuk social distancing kala itu juga berimbas kepada pemancing. Ternyata dugaannya salah. "Tak kiro pada diam di rumah. Ternyata mereka sedang social fishing distancing", ungkap pria kelahiran Lamongan tersebut, lantas terbahak.

Pemandangan itu hampir terjadi setiap sore selama PSBB pertama hingga ketiga berlangsung di Kota Pahlawan. Bahkan, pada PSBB jilid dua, banyak pemancing yang berdatangan dan memenuhi tiap sisi sungai yang juga disebut Kali Londo itu.

"Wes Mas, ndang mancingo kono," katanya menirukan perkataan istrinya yang menyuruh Roikan pergi memancing. Menurut dia, hampir semua sebagian pemancing senang ketika mendengar suara aliran sungai.

Roikan mengatakan, mayoritas pemancing yang datang sudah melengkapi dirinya dengan alat pelindung diri (APD) yang khas bagi pemancing. Ada yang memakai masker, buff, sarung yang berbagai menutup bagian wajah, udeng, dan lain sebagainya.

Bapak dua anak itu mengungkapkan, aktivitas memancing di Surabaya pada pandemi COVID-19 benar-benar menggeliat. Hal itu tidak lepas dari banyaknya kolam pancing yang tutup saat pemberlakukan PSBB di Surabaya Raya. Sungai pun jadi jujukan berikutnya.

Awalnya, aktivitas itu bermula dari percakapan di media sosial Facebook dan grup Whats App. Ada salah satu pemancing yang mempertanyakan apakah memancing diperbolehkan selama PSBB dan pandemi? Sebab, yang mereka cari, kata Roikan, ketenangan dan ingin melepas penat.

"Yang saya amati itu pemancing berbagai mahzab banyak yang merapat ke sungai, Di Jagir sama Gunung Sari, dua itu yang saya tahu," kata pria yang bekerja di Center for Security and Welfare Studies (CSWS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) itu.

Berbagai mahzab, kata dia, termasuk dari pemancing yang menggunakan teknik tertentu. Misalnya, teknik casting menggunakan umpan palsu, teknik spinning dengan umpan hidup, dan teknik casting baitcaster. Bahkan ada yang menjaring.

Dia menambahkan, ada beberapa pemancing yang menggugah ikan hasil tangkapan di Kali Jagir. Salah satunya ikan kakap putih. Alhasil, tangkapan ikan kakap putih itu membuat pemancing lainnya tergiur. Mereka pun datang dan menempati spot andalan untuk kembali merasakan sensasi saat ikan memakan umpan.

Menurut pria yang sejak kecil mengenal joran dan line atau senar pancing 0.01 milimeter itu, memancing sudah menjadi aktivitas yang dapat membuang kejenuhan di rumah selama PSBB. Bahkan menjadi mood booster alias meningkatkan motivasi. Terlebih, lanjut Roikan, memancing pada masa PSBB juga merupakan wujud ketahanan pangan.

"Sebagian yang mancing itu ada yang dirumahkan dari pekerjaannya. Ada juga yang dagangannya lagi sepi. Jadi kalau dapat ikan ya untuk konsumsi di rumah," tuturnya setelah melempar joran biru sepanjang 300 sentimeter.

Memancing di tepian sungai sekaligus menjadi ajang bersosialisasi dengan warga yang punya hobi serupa. Mereka tetap menjaga jarak. Jarak 1-2 meter tidak menghalangi para pemancing untuk tetap bercengkrama.

Selama pandemi yang ramai adalah toko pemancingan di berbagai tempat di seluruh Surabaya. Banyak yang beli alat dan perangkat pancing yang sesuai dengan karakteristik sungai. Selain toko pancing, kata dia, forum jual beli alat pancing selama pandemi ramai.

Bahkan, menurut informasi yang diterima, ada pemancing yang benar-benar stop total. Pemancing yang sudah puluhan tahun memilih menjual salah satu set alat pancingnya. "Itu waktu PSBB lo, kasian sih tapi memang lagi BU, butuh uang" ungkap pria yang gemar memancing micro fishing itu.

Selama pandemi COVID-19, ikan yang didapat di Kali Jagir sangat beragam. Namun, pada musim kemarau ini dia selalu mencari ikan wader pari atau Rasbora agryrotaenia. Sebab, wader pari selalu ada di musim kemarau dan sesuai dengan karakteristik air kecoklatan saat sore. Selain wader, ada cukil atos atau kakap putih atau barramundi.

Nah, kondisi air yang stabil dengan warna tidak lagi cokelat, menurut Roikan, membuat kakap putih bisa meluncur bebas sampai perkotaan. Khususnya di beberapa sungai di Surabaya, termasuk Kali Londo. Ikan itu menjadi buruan pemancing yang ingin merasakan sensasi memancing ikan predator.

"Untuk ikan-ikan kecil itu saya pakai joran tegek orca 300 sentimeter. Line-nya juga nggak panjang, kailnya juga kecil, pakai ulat,"katanya. "Kalau ada yang dapat kakap, saya langsung ganti senjata. Lumayan kan bisa buat sahur dan buka puasa waktu itu," tambah pria yang memiliki gelar S-2 antropologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Di Kali Jagir, kebersamaan antar pemancing memiliki nilai yang berbeda. Tidak ada pemancing yang merasa dominan Semua saling  menghargai meski teknik dan pirantinya berbeda.

Bahkan, kata dia, jika mendapat tangkapan lebih, mereka tidak segan menawarkan ikannya pada pemancing lain. Cuma-cuma. Saat terjadi tumpang tindih antartali, masing-masing pemancing bahu-membahu dan saling mengalah untuk melepaskan.

"Segala ego seperti dialirkan di sungai itu," ucapnya sembari memandang sungai. Menurut dia, aktivitas memancing dan pintu air Jagir merupakan representasi keadilan spasial sebagai hak untuk menggunakan serta memanfaatkan ruang publik. Hak warga kota untuk memanfaatkan ruang publik tanpa merugikan pihak tertentu. (*/c15/ady)


Repon dan tanggapan datang dari kawan netizen. Dimulai pada pagi hari Cak Juri, sobat pemancing yang berprofesi jualan Soto Ayam di Wiyung mengabarkan berita tentang pemancing dan pandemi dari grup Whats App yang menyebut sebagai mancing sehat. Ada pula kawan seorang Guru berprestasi dari tanah Swarnabhumi yang mengatakan "sekalian imun kuat, pulang ke rumah bisa makan ikan. Istri senang uang belanja gak berkurang". Ada komentar dari Pak Guru Ipul yang membuat program ketahanan pangan pada siswa dengan membuat olahan hasil pancingan siswanya di daerah Jaya Makmur Katingan yang mengajak memancing di daerahnya. Tentu sangat senang hati jika bisa memancing di Kalimantan dengan ikan yang super besar. []




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mancing dan Pandemi COVID-19"

Post a Comment