Pandemi COVID-19 dan Transformasi Sosial

If there is a light you can’t alwalys see
And there is a world we can’t always be
If there is a dark within and without
And there is a light, don’t let it go out
(Song For Someone – U2)

Pandemi ini menjadi catatan wabah penyakit terburuk yang melanda umat manusia. Masa kegelapan akibat penularan wabah penyakit yang serius di seluruh dunia. Sejarah mencatat pada tahun 1720 terjadi The Great Plague Marseille atau lebih dikenal dengan Black Death, tahun 1820 merebak wabah Kolera, tahun 1920 Spanish Flu yang menewaskan setidaknya 20 juta jiwa dan tahun 2020 dunia dilanda COVID-19 yang banyak mengubah tatanan kehidupan era milenial. 

Gang Lucu di Ngunut Tulungagung (dokpri)

COVID-19 pertama kali muncul Wuhan, ibukota Provinsi Hubei, Tiongkok, pada Desember 2019. Virus Corona dikenal secara ilmiah dengan sebutan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini menyebabkan batuk, flu, demam dan gangguan pernapasan akut parah (SARS-Cov-2) yang menyebabkan kematian. Virus ini menyebar pertama kali dari pasar di Wuhan pada Huanan Seafood Market. Sebuah pasar besar yang menjual binatang hidup –untuk santapan- dan hasil perikanan. Pasar ini terletak di distrik Jiangshan.  Tidak hanya menjual ikan dan ayam, namun menjual kelalawar sebagai hidangan ekstrim. Dari hewan ini diduga virus ini menyebar sampai mengguncang seluruh dunia. 

Kasus COVID-19 di Indonesia mulai merebak sejak awal Maret 2020. COVID-19 tidak lagi disebut wabah biasa, tapi pandemi karena cakupan sebarannya yang mendunia. Sejak Maret 2020 menyebar ke 28 negara dan wilayah dan menginfeksi 34.000 orang dengan kematian tercatat 700 kasus. Terbukti infeksi virus ini tidak memandang negara, status sosial dan kondisi fisik. Dalam waktu singkat telah merambah hampir di seluruh wilayah di dunia. Siapapun bisa kena tanpa terkecuali. Bahkan tenaga medis bertumbangan terinfeksi virus yang menyerang saluran pernafasan ini. 

COVID-19 menjadi pandemi 2020 yang menimbulkan ketidakpastian, cemas, rasa was- was dan ketakutan. Kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kampus diliburkan. Berganti menjadi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara vitual. Pemerintah menormalisasi televisi nasional (TVRI) sebagai sarana pembelajaran jarak jauh. Seminar dan kegiatan perkuliahan dilakukan melalui webinar. Aktivitas di pusat perkantoran mendadak lengang. Diterapkan bekerja dari rumah-Work From Home (WFH). Atas pakai kemeja sementara bagian bawah menggunakan celana pendek tidak ada yang tahu. Bermunculan istilah baru dengan nama kaum rebahan yang banyak beraktivitas di kamar bahkan ‘membusuk’ di rumah. Lebih baik di rumah itu prinsip selamatnya walaupun perekonomian mulai goyah. 

Hilangnya Hand Sanitizer di Ruang H 
Maret 2020 masih terekam kuat dalam ingatan saya apa yang terjadi. Ketika mulai menjadi pemberitaan di luar negeri, banyak dari kita yang mengadapi awal pandemi dengan santuy. Bahkan kelas pejabat mengatakan kita secara kuliner mempunyai tingkat kekebalan lebih karena rajin konsumsi kunyit, jahe dan rempah lainnya. Ternyata awal Maret berita masuk dan merebaknya pandemi sampai ke tanah air. Santuy berubah menjadi sedikit kepanikan. Sejak pertengahan April saya sering mendatangi RSUD dr. Soetomo di Surabaya. Menjaga dan mendampingi ibunda yang sedang menjalani operasi untuk pengangkatan tumor di pipi. Suasana rumah sakit pun sedikit berubah.      

Pencurian hand sanitizer di bangsal ruang bedah H menghebohkan seluruh bangsal kamar lantai dua. Sejak ada anjuran sering menggunakan sabun cuci tangan hand sanitizer menjadi barang yang banyak dicari. Bahkan di curi seperti halnya yang saya lihat di rumah sakit. Biasanya dapat kita jumpai di setiap sudut ruangan dan ranjang pasien. Sejak insiden itu pihak rumah sakit mengamankan hand sanitizer yang masih tersisa. Hanya bisa ditemukan di pos ruang jaga perawat dan penjaga ruangan. Ketika berita COVID-19 semakin gencar pihak rumah sakit melakukan berbagai upaya pencegahan. Mulai pembatasan jenguk pasien hingga kewajiban bermasker dan rajin cuci tangan. Harga masker hijau yang semula biasa mendadak menjadi luar biasa. Banyak diburu orang hingga terjadi banyak kelangkaan. Catatan depan apotek: Masker dan Hand Sanitizer Habis. Selepas itu disusul dengan langkanya APD untuk tenaga medis hingga tidak sedikit yang menggunakan jas hujan sebagai pakaian untuk berdinas menangani pasien. 

Pandemi dan kepanikan warga
COVID-19 menjadikan kerumunan menjadi semakin berkurang. Imbauan social distancing atau menjaga jarak interaksi sosial yang hanya mengandalkan kesadaran masyarakat tanpa kontrol ketat dari petugas terkait tidaklah efektif menghambat penyebaran virus. Saya masih melihat beberapa kawasan tepi kali di Kota Surabaya masih ramai oleh pemancing. Ini berpotensi dan mengkuatirkan pada meningkatnya jumlah pasien yang positif dan meninggal dunia setiap harinya dalam angka yang tidak sedikit. Saya sendiri suka mancing dan menjadikan mancing sebagai sarana hiburan. Jalanan sepi tapi tepi sungai masih ramai. Ada jarak yang terentang dan hanya saling memandang dari sepasang mata yang penasaran ekspresi dari balik masker atau penutup seadannya. 

Negara hadir dalam pandemi. Parlemen baik di pusat maupun daerah telah mengerahkan segenap kapasitasnya untuk mendukung secara kritis semua kebijakan yang dapat menghentikan penyebaran dan resiko penularan wabah Covid-19. Bahkan beberapa kawasan menerapkan karantina secara mandiri untuk wilayahnya. Portal di pasang di gerbang gang atau dusun. Termasuk warkop di sekitar kos saya di Rungkut Surabaya terlockdown. Tidak ada aktivitas orang main ngopi, bergosip dan main bareng (mabar). Suatu hari warkop dekat pasar yang membandel tetap buka. Menghiraukan anjuran pemerintah. Aparat gabungan melakukan penertiban. Kursi, meja beserta para pengunjungnya diangkut petugas. Properti diamankan, manusianya harus menjalani serangkaian pemeriksaan fisik. Jika terbukti positif, tindakan karantina siap menanti. Pasca kejadian itu wilayah sekitar kos berlaku jam malam. Kendaraan mulai lengang bahkan sepi ketika tengah malam menjelang. Hanya sedikit lalu lalang orang yang masih ingin berjuang agar dapur tetap mengepul. 

Dampak Sosial Ekonomi Corona
COVID-19 sudah menjadi pandemi dan hal ini telah membuat orang-orang miskin dan mereka yang berada dalam kelompok yang kurang beruntung secara sosial menjadi lebih sulit untuk melanjutkan kehidupannya dengan layak. Di banyak tempat, orang harus menghadapi dilema moral dalam memilih antara pergi bekerja untuk menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau tinggal di rumah untuk melindungi kesehatan mereka dan keluarga mereka. Paparan berkelanjutan terhadap risiko kesehatan yang dihadapi oleh pekerja penting, yang sering di antara yang paling rendah bayarannya (buruh harian) dan kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan penhasilan tetap. Ada kawan kos yang bekerja di salah satu pabrik di kawasan Rungkut Industri. Sejak pandemi otomatis harus pulang kampung belum bisa kembali bekerja di Surabaya. Para PKL terbatas ruang gerak dan jam operasinya. Beberapa perkampungan memasang portal sehingga gerobak dagangan hanya sampai di ujung gang. 

Seruan di rumah saja bukan anjuran tanpa sebab. Minimal mengurangi dampak dan penyebaran virus. Itulah mengapa untuk kita kerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah. Beberapa Masjid meminimalisir kerumunan, meniadakan sholat berjamaah dan sholat Jumat. Demikian pula Gereja berlaku kebaktian via live streaming. Mendadak orang tua menjadi guru pelajaran di rumah masing-masing. Berusaha tulus ikhlas mengajar walaupun tidak sedikit yang sambil menahan emosi. Tugas sekolah dan kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan memanfaatkan media daring. Para siswa yang ketika aktif sekolah ingin libur, ketika pandemi mereka justru merindukan suasana belajar di kelas. Belajar dengan orang tua tidak seperti ketika belajar dalam kelas bersama teman-teman bermain. Anak-anak juga mengalami kejenuhan karena turut dirumahkan. 

Seluruh dunia menghadapi COVID-19 dengan beragam sikap, tanggapan dan tindakan. Ada yang cepat tanggap langsung menerapkan kebijakan lockdown sampai karantina sosial. Tapi masih ada yang nyinyir dan menganggap pagebluk sebagai ajang mencari panggung politik. Politisi selayaknya mempunyai sikap mengayomi dan menghargai kehidupan bersama, bukan malah memperkeruh suasana dan menambah ketakutan. Sikap dan pandangannya adalah sebagai panutan banyak pihak. Jika biasanya nyinyir harus menahan diri demi ketenangan dan ketentraman bersama agar masyarakat tetap tabah, sehat dan optimis.  

Pandemi ini disikapi sebagai cobaan iman bagi umat. Petuah kepasrahan akan kematian menjadi landasan sikapnya yang santuy menghadapi marabahaya. Bahkan kelakar tentang sosok Dajjal di balik wabah ini juga muncul. Sebenarnya wacana agamis akan virus ini sudah merebak di medsos, dan netizen juga sudah menunjukkan aneka reaksi. Pendekatan agama memunculkan logika lain dalam menyikapi pandemi ini selain logika sains dan medis. Agama dapat memunculkan sentimen keagamaan yang berlandaskan kebersamaan. Jika diolah dengan baik dapat memunculkan sikap tegar, sabar dan berusaha bersama melewati masa pandemi. Karena masih ada orang yang ngeyel. Menganggap COVID-19 adalah 'tentara' yang dikirim dari langit karena manusia penuh dosa dan noda. Tentunya pandangan seperti itu bukan menenangkan justru memperkeruh suasana. 

Belajar dari Film Contagion
Lewat dunia perfilman ada sinema yang menayangkan cerita tentang wabah. Terlepas dari ramalan, proyeksi atau visi penglihatan anak indogo, kita patut memetik pelajaran bagaimana kepedulian sosial menjadi strategi mengatasi persebaran pandemi. Tidak melakukan aksi borong bahan makanan apalagi alat kesehatan. Tidak menyebarkan berita yang nirdata dan tetap berserah pada Sang Pencipta. Selalu gembira, karena hati yang gembira adalah imun yang baik. 

Film Contagion diluncurkan pada tahun 2011 dengan sutradara Annie Welles dan Steven Soderbergh. Film yang tayang jauh hari sebelum pandemi COVID-19 ini dibintangi oleh aktor papan atas. Pemain: Bryan Cranston, Chin Han, Elliott Gould, Gwyneth Paltrow, Jennifer Ehle, Jude Law, Kate Winslet, Laurence Fishburne, Marion Cotillard, dan Matt Damon. Film ini bercerita tentang perjalanan lintas negara. Dimulai saat seorang wanita bernama Beth Emhoff kembali dari perjalanan bisnisnya di Hong Kong. Flu menyebar cepat dari kereta. Orang berpegangan pada besi dan material yang sama. Mulanya Beth berpikir bahwa dia mengalami jet lag dan demam. Namun dua hari kemudian setelah dirawat di UGD, dia meninggal tanpa sebab yang jelas. Setelah itu banyak bermunculan kasus meninggal dilaporkan karena virus. Virus itu pun mulai menyebar. Dokter di Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat dan Organisasi Kesehatan Dunia berusaha memecahkan kasus tersebut. Mereka harus cepat karena virus ini terus bermutasi. Kepanikan atas sebuah wabah merupakan hal lumrah. Tinggal bagaimana cara kerja media dalam mengungkap kebenaran.

Apresiasi terdalam dalam film ini ada pada tokoh Alan Krumwiede yang diperankan oleh Jude Law, selaku blogger yang membawa berita dan fakta nyata tentang wabah hingga sampai menjadi buruan pemerintah karena dituduh sebagai penghasut. Kalau hari ini dikenal sebagai penyebar kabar hoax. Akhirnya blogger Alan dilepas dengan jaminan harus menyebarkan informasi yang akurat kepada ribuan pembaca tulisannya. Itulah perlunya adanya counter wacana di tengah kepercayaan masyarakat pada wacana yang belum jelas kebenaran dan dianggap sebagai fakta. 

Dalam setiap kesusahan pasti ada pihak yang menambah situasi menjadi tidak lagi menyenangkan. Bisa berasal dari pihak yang mempunyai kekuasaan hingga masyarakat yang kurang tenang bahkan cenderung bebal. Sama dengan kasus COVID-19 kali ini, banyak sosialisasi telah dilakukan namun orang ngeyelan selalu ada. Tak mengenakan masker saat keluar rumah dianggap biasa, enggan melakukan pembatasan sosial dan menganggap semua sudah takdir. Hal seperti ini tidak akan selesai jika tidak ada pembuktian. Jika belum mengalami sendiri. Sebagai seorang blogger film Contagion memberi inspirasi bagaimana kiprah nyata penulis –hari ini dikenal sebagai influencer, setara para pemilik kanal di youtube- menggunakan situsnya untuk bersuara. Berperan tanpa harus menggunakan APD tapi memberikan cerita, saran, opini dan berbagai wacana lainnya untuk para warganet. Pandemi bukan untuk dibuat panik tapi dihadapi dengan pengetahuan dan penanganan yang memadai. Semuanya dimulai dari rumah dan diri sendiri. 

Himbauan social distancing atau menjaga jarak interaksi sosial yang hanya mengandalkan kesadaran masyarakat tanpa kontrol ketat dari petugas terkait tidaklah efektif menghambat penyebaran virus. Terbukti dengan meningkatnya jumlah pasien yang positif dan meninggal dunia setiap harinya dalam angka yang tidak sedikit. Semua harus menjaga jarak, minimal 1,5 meter. Hindari kerumunan dan usahakan selalu rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Tidak lebay menggunakan hand sanitizer karena dapat menyebabkan iritasi pada kulit khususnya yang berbahan dasar kimia yang panas di telapak tangan.  Secara psikis ketakutan berlebihan justru menimbulkan kecemasan, rasa was-was dan selalu mengedepankan emosi daripada logika. 

Pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan pergerakan yang dikenal dengan sebutan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), untuk wilayah dengan tingkat tinggi kematian tinggi (zona merah). Jakarta, Solo, Jogja, Surabaya dan Malang merupakan contoh kawasan menerapkan kebijakan ini. Tujuannya agar dapat menekan penyebaran virus dan mengurangi tingkat kematian. PSBB mengharuskan semua warga untuk tetap bekerja di rumah dan tinggal di rumah, tidak melakukan pergerakan dan perjalanan. PSBB menjadi salah satu cara untuk mengamankan dan menyelamatkan penduduk dari pandemi Covid-19. Seberapa efektifkah kebijakan ini? Kurva peningkatan pasien positif terus menanjak dari hari kehari. Pandemi yang diperkirakan selesai pada awal bulan puasa tidak sesuai dengan harapan. Inilah salah satu indikator mentalitas masyarakat Indonesia menurut Prof. Koentjaraningrat. Mentalitas yang dapat menghambat pembangunan dalam bentuk kurang disiplin. Disiplin itu indah hanya sebatas slogan.  

Apa yang berubah? 
Pandemi COVID-19 membawa banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Tidak hanya ekonomi yang terseok-seok. Interaksi antar manusia mengalami perubahan. Budaya hormat kepada orang tua yang sebelum pandemi pada masyarakat Jawa mencium tangan (salim) berubah menjadi salam namaste. Upaya mengurangi kontak fisik agar virus yang berasal dari dalam tubuh ini tidak menyebar melalui cairan mulut. 

Bidang politik mendapat ujian melalui pandemi ini. Bagaimana komunikasi antara pemimpin dengan rakyat, koordinasi antar lembaga menjadi indikator bagaimana pemerintah bersikap dalam menghadapi COVID-19. Pandemi ini juga menimbulkan perubahan perilaku masyarakat. Pola hidup sehat semakin diterapkan. Konsumsi buah khususnya jambu biji dan buah yang mengandung Vitamin C semakin tinggi. Otomatis ada apresiasi untuk buah lokal. Pada pagi hari sekitar sebelum pukul 10:00 banyak kita jumpai orang berjemur mencari sinar UV dari matahari pagi yang dianggap meningkatkan kekebalan tubuh.

 Pola sehat menghindari kuman dan bahaya diare dengan budaya cuci tangan. Jika sebelumnya anjuran ini diperhatikan oleh beberapa orang saja. Saat ini antara waspada dan ‘phobia’ masyarakat lebih rajin mencuci tangan. Termasuk sarana cuci tangan yang disediakan di ruang publik. Saya masih ingat cerita kawan tentang bagaimana dokter di kawasan Indonesia Timur yang menggandeng orang WHO untuk mengurangi wabah diare. Ketika masyarakat daerah zona merah diberi sosialisasi dan anjuran untuk tidak melakukan kegiatan Mandi Cuci Kakus (MCK) di sungai sekitar kampung tidak digubris. Lewat pendekatan kultural seorang dokter kemudian mempelajari pola perilaku masyarakat. Hingga pada momen yang tepat melakukan sosialisasi dalam bentuk anjuran untuk selalu menggunakan sabun ketika mandi dan mencuci peralatan dapur. Wabah diare dianggap oleh masyarakat sebagai kutukan. Oleh Sang Dokter diberi pengertian jika sabun dapat menghindarkan kutukan dan pengaruh buruk dari roh jahat yang ingin menghukum warga desa. Sejak sosialisasi itu warga menjadi rajin menggunakan sabun dan angka pasien diare menurun tajam. 

Kehidupan dalam unit terkecil masyarakat dalam bentuk keluarga juga mengalami perubahan semasa pandemi. Semakin dekat dengan keluarga karena orang lebih banyak berkegiatan di dalam rumah. Orang tua menjadi guru dadakan untuk mendampingi putra putrinya belajar di rumah. Tidak ada lagi kegiatan antar jemput ke sekolah. Interaksi antara orang tua dengan sekolah dilakukan secara daring. Lebaran tanpa mudik menjadi fenomena masa pandemi. Pembatasan angkutan dan pelarangan transportasi umum uang didukung oleh himbauan tunda mudik menjadi lebaran paling sentimental. Lebaran tanpa bertemu langsung dengan keluarga besar. Semua dilakukan secara daring. Beruntung kita hidup di masa digital segala komunikasi dan akses informasi bisa berpindah dengan cepat. 

 Lebaran 2020 Jalur COVID-19 Tunda Mudik (Ilustrasi oleh Roikan)

Optimis Hadapi Pandemi dan Menuju New Normal
Rajin dan disiplin cuci tangan, maskeran, jaga pola hidup sehat dan jauhi kerumunan adalah kunci mencegah Corona. Coronavirus disease (COVID-19) menjadi permasalahan, isu, wabah global yang menjadi perhatian dunia. Berbagai upaya telah diusahakan untuk mencegah dan menekan persebaran virus Covid-19 dari meliburkan anak sekolah, membatasi jam kerja dan mobilitas warga hingga upaya bekerja dari rumah. Beberapa daerah menerapkan karantina wilayah secara mandiri yang diakomodir oleh warga setempat. Data terbaru dari UNESCO total lebih dari 850 juta siswa di dunia tidak bisa belajar di sekolah termasuk guru bimbel seperti saya. Lupa cara menulis dan memegang spidol tiga warna. Kelas berhenti total sejam pandemi melanda sampai pada batas waktu yang tidak ditentukan. Dan saya masih berupaya optimis. Tetap tabah dan mengembangkan diri menyongsong perubahan. 

Yang penting saat ini kita membatasi diri untuk keluar rumah dan melakukan upaya pencegahan seperti empat langkah yaitu: Cuci tangan dengan sabun dan air sedikitnya selama 40 detik atau dengan hand sanitizer berbasis alcohol 70% selama 20 detik jika air dan sabun tidak tersedia;  Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang belum dicuci; Gunakan masker jika sedang sakit atau bepergian keluar rumah; dan  Tutup mulut dan hidung jika sedang batuk dan bersin. Tetap tenang dan tidak panik adalah koentji.  Semoga ‘ujian  nasional’ dalam bentuk pagebluk COVID-19 ini segera berakhir. Mari jadikan masa pandemi ini sebagai masa berbenah untuk menghadapi era baru. Pola kerja baru, budaya guyup secara lebih manusiawi dan semakin optimis dalam menjalani hidup. Akhirnya saya rindu berkumpul, ngopi bareng dan melihat urat nadi kota yang berdetak kencang sebagaimana biasanya walaupun mungkin setelah ini banyak berubah. []

*Artikel ini diikutkan dalam lomba Esai: Nulis dari Rumah yang diadakan Kemenparekraf

Selamat bagi yang lolos 





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pandemi COVID-19 dan Transformasi Sosial"

Post a Comment