“17 Oktober, 1986. Dominique, di sinilah perjalananku berakhir. Para pemandu meninggalkanku di kaki celah Kalotac. Aku terdampar di pucaknya, sendirian. Aku tidak bisa keluar dari sini. Kudaku tidak mau berjalan lagi. Hawanya dingin beku. Aku berbaring di dalam kantong tidurku dan aku menunggu. Kuharap buku notes ini dan foto-fotoku akan sampai padamu. Aku memikirkan Ibuku-sampaikan padanya-dan dirimu” (Sang fotografer hal 224)
Kutipan kalimat di atas adalah tulisan dari Didier Lefevre ketika menjalani masa-masa sulit di Afganistan yang saya ambil dari sebuah novel grafis berjudul Sang Fotografer. Kecintaan pada fotografi dan jurnalistik membuat ia berambisi untuk dapat pergi ke berbagai tempat di seluruh penjuru dunia. Sebagai juru kamera berita yang bertugas di medan perang adalah sebuah profesi yang memerlukan keberanian dan profesionalitas tinggi. Tingkat resiko yang tinggi menjadikan menjadi wartawan foto perang kurang diminati oleh orang-orang yang menekuni bidang jurnalistik. Didier Lefevre adalah seorang wartawan sekaligus fotografer sekaligus penutur cerita yang ulung.
In Loving Memory: Dr. Yuyung Abdi (1969-2021)
Sebagai wartawan foto perang bagi Didier tanpa kamera seorang fotografer tidak akan berarti dalam visualisasi suatu obyek, Didier Levefre disuatu kesempatan berkata pada seorang pengawal ekspedisi bahwa ia menembakkan kamera bukan senjata api. Berbekal kamus Inggris-Persia, Didier Lefevre berusaha belajar bahasa Persia untuk percakapan sehari-hari. Adaptasi dilakukan oleh Didier Lefevre dalam menghadapi lingkungan khas Arganistan yang bergunung-gunung salju dan lingkungan budaya yang berbeda, sehingga pemahaman terhadap budaya diterapkan dalam model pakaian, etika pergaulan dengan nama baru Ahmadjan sampai cara buang air ala Afganistan yang tidak boleh berdiri.
Wartawan foto dan fotografi merupakan panggilan jiwa untuk mengabadikan sesuatu menjadi hal bukti atau dokumentasi akan adanya suatu peristiwa. Melalui kamera dapat memberikan rekaman fenomena dan dapat menjadi multiefek setelahnya. Foto dapat memberi dampak pada fotografer maupun obyeknya. Perjuangan berat bagi seorang fotografer untuk mendapatkan momen dan menyajikan kompoisisi, estetika dan narasi dalam satu bingkai gambar yang mengandalkan ketajaman mata dan kelenturan jari.
Yuyung Abdi, wartawan foto fenomenal dari Jawa Pos yang baru saja berpulang memiliki kesamaan dengan Didier Lefevre. Bagi saya keduanya sama-sama peka ketika menunggu momen bagus. Keduanya tetap tegar dan tidak gentar ketika meliput pada lingkungan yang tidak biasa. Bagi Didier Lefevre memotret suatu peristiwa untuk menghasilkan suatu foto yang bagus ia ibaratkan seperti sedang memancing dan merasa ada ikan yang menggigit umpan, ia sampai menahan nafas ketika memencet kamera (Lefevre 2011:73).
Tanpa gentar berada di garis depan ‘area panas’ dari unjuk rasa rusuh sampai lokalisasi yang lusuh. Pewarta foto yang melihat celah kehidupan dari sisi lain kawasan rawan. Fotografi tidak hanya aspek pemenuhan syarat kelayakan sebuah foto agar dianggap naik cetak. Namun perpaduan antara tempat dan orang menjadi foto berita celah kehidupan yang bisa merefleksikan fenomena sosial.
Doktor Fotografer Jurnalistik
Tidak hanya kemampuan teknis yang mumpuni sesuai standar fotografi. Fotojurnalistik memerlukan adaptasi dan ketahanan pada lingkungan yang baru. Bahkan tidak biasa. Yuyung Abdi adalah sosok pembelajar yang baik. Tidak pelit ilmu. Rela berbagi kepada khalayak dalam ilmu dan karya. Kemampuan narasi visual berbuah pada dua mahakarya dari fotografer yang bergelar doktoral ini. Buku Sex for Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia (2007) dan Prostitusi: Kisah 60 Daerah di Indonesia (2019) merupakan bentuk bukti Yuyung Abdi telah berproses reaktif mengumpulkan informasi kolektif. Mengutip pendapat Foster (1992) bahwa “nominating certain local practices as definitive of local identity and reactive process of collective self-identification”. Lewat narasi visual prostitusi tidak hanya bicara tempat dan ruang namun sebuah proses kontruksi dari aspek sosial politiknya. Sebuah kompleksitas yang melebihi urusan syahwat dan selangkangan semata.
Visualitas seorang fotografer ditentukan oleh kepekaan dan kemampuan pemaknaan berbagai momen yang ada, terkait fakta sosial foto di atas menunjukan privasi dalam pengambilan keputusan menyangkut aktivitas ekonomi walaupun dalam keadaan yang serba terbatas. Visualitas Yuyung Abdi adalah penghayatan dan totalitas pada fenomenologi foto.
Visualitas seorang wartawan foto adalah kemampuan untuk mendokumentasikan suatu peristiwa sampai menjadi sebuah memori yang monumental, tidak bisa dilupakan dan menggugah. Wartawan foto khusus untuk daerah perang mempunyai kemampuan bukan hanya teknis memotret, namun dengan kameranya harus mampu menyuarakan misi perdamaian, anti kekerasan dalam netralitas. Kamera bagi wartawan foto adalah senjata yang setiap saat harus dibawa seperti halnya tentara dengan senapannya. Dari mata membidik obyek, jari menekan tuts, kamera memotret sampai menghasilkan berlembar-lembar foto sama dengan ketika tentara menembakkan senapannya pada sasaran. Keduanya dapat menciptakan kematian, fotografi dan senapan membuat obyek menjadi tidak bernyawa. Memberi luka dan memberi kenangan. Senapan andalan bagi Yuyung Abdi adalah Canon EOS 1D. Selamat jalan Mas Doktor.
0 Response to "Kamera dan Realita: Visualitas Perwarta Foto antara Afganistan dan Gang Dolly (Mengenang Doktor Yuyung Abdi)"
Post a Comment