We: Sinema Musikalisasi Drama Kehidupan Keluarga

Ada yang bengong di bandara tapi bukan Cinta yang melepas Rangga 

Yang bengong di bandara kawasan Angkasa Pura I Airports cabang Sulawesi ini adalah seorang bapak yang galau hebat karena ditinggal kuliah oleh anaknya. Semua akan tiba masanya. Demi masa, demi masa depan yang lebih cerah agar tidak hanya menjadi ASN tapi lebih, mungkin itu harapannya. 

We adalah film pendek yang tayang di Youtube. Seperti halnya film pendek dari Jogja berjudul Tilik yang diproduksi oleh Ravacana Film (2018). Durasi yang pendek memberi tantangan untuk menghadirkan cerita yang baik, lugas dan mengena. Film We tidak hanya sekadar menghibur. Ada kesan kelam nan mendalam sejak awal pembukaan film yang sederhana. Goresan dua huruf bergandengan: W dan E berwarna putih dalam latar belakang hitam. 

Semua Berawal dari Hari Pengumuman Masuk PTN 
(Courtesy of: Riuh Record 2021) 

Bermula dari hari yang mendebarkan sebagai hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Adin si anak semata wayang keluarga ASN sederhana menantikan kedatangan bapak. Lebih tepatnya menunggu laptop setelah bapak pulang kantor. Rasa penasaran semakin terasa. Ibu spontan keluar dengan membawa secangkir kopi, biar bapak bisa melihat pengumuman kelulusan anaknya sambil ngopi yang telah menjadi rutinitas hariannya. Seakan menjadi minuman wajib sang bapak. Bapak pecandu kopi, bahkan malam hari pun sempat ngopi dan santai depan rumah sambil menghisap rokok. Hanya kopi dan rokok tanpa kegiatan lain hobi lazim kekinian seperti nggantang burung kicau semacam love bird atau memancing. Sosok bapak yang diperankan oleh Teuku Rifnu Wikana adalah seorang abdi negara yang sederhana yang setia pada rutinitas, kopi, rokok dan cinta keluarga.

“Kenapa tidak dipencet?” tanya bapak dan ada ketakutan sekaligus penasaran. Akhirnya dengan rasa mantap teriring ucapan Basmallah tombol enter dibuka beramai-ramai. Dan hasilnya Adin diterima di kampus idamannya. Dari sinilah kegembiraan sekaligus drama kehidupan dimulai. Kegembiraan Adin ketika mengabarkan bahwa dirinya diterima diwarnai dengan muka tegang dari bapak. Ada keraguan untuk melepas anak gadis semata wayangnya. Istilahnya kalau dalam kultur Jawa mempunyai anak gadis itu laksana encik-encik pucuke eri (berdiri di atas sebuah duri). 

Karena Cinta Pertama Bapak adalah Putri dan Kopinya 

Tak salah memang. Karena anak gadis adalah kekasih pertama bagi seorang bapak. Ekspresi bapak terlihat gelisah karena selepas Adin berangkat kuliah akan ada sepi yang mendera. Rumah yang biasanya diwarnai suara anak gadisnya mendadak hening dalam semua doa dan pengharapan agar Adin dapat menjadi anak yang dibanggakan. 

Kekuatan film ini terletak juga pada musiknya. Saya menyebutnya sebagai musikalisasi drama kehidupan dalam lirik yang ditulis oleh Juang Manyala & Satriani Mallibu dan dinyanyikan secara penuh penghayatan oleh Cholil Mahmud. Adegan kegelisahan dari balik kesedihan bapak terus berlanjut, dari berangkat tidur, menanti Adin yang pulang malam selepas nongkrong hingga adegan haru di bandara. 

Momen anak gadis membuatkan kopi untuk bapak menjadi daya tarik tersendiri. Perempuan sebagai ahli belakang atau bagian dapur pada masa lalu kini mengikuti perubahan jaman dengan berangkat keluar rumah merangkai masa depan. Hari ini perempuan muda bukan untuk dibatasi tapi biarkan mereka melintas batas demi mencari jatidiri. Jadi merelakan anak gadis meniti dan menata masa depan adalah jalan utama dengan berangkat kuliah 

Doa dan harap yang berbuah kebaperan sepanjang lagu mendalam yang mendominasi film pendek ini. Pelepasan Adin sampai bapak menangis sesenggukan sendiri sembari menyetir mobil.  

...temukan semua, arah
dan sgala mimpi
yang kau harap cemerlang, kilau

Bapak menjadi super baper karena rindu kebersamaan dan adukan kopi sang anak. Keluarga itu bicara kesatuan bukan sekadar kesempurnaan. Akhirnya untuk menyatukan diri dalam komunikasi lintas batas ruang dan waktu digunakanlah teknologi komunikasi. Telepon yang ‘menganggu’ untuk melepas rindu. Terlihat bapak malu-malu sementara ibu yang pasang badan. Yang penting bisa mendengar suara Adin itu sudah kegembiraan yang hakiki. 

Sebuah film pendek berdurasi 12 menit dan 30 detik terbaik menurut saya kedua setelah film El Meler (2004) yang diperankan oleh Adul. El Meler menghadirkan film pendek sarat humor, gangster pistol air yang saling bersaing layaknya Narcos: Mexico (2018) dalam suasana serasa nonton Godfather (1972) ala komedi. Film pendek  We dengan sutradara Aco Tenriyagelli (2021) menghadirkan satu kesatuan antara naskah cerita yang menyayat hati para bapak muda khusunya, dipadu dengan musik dengan lirik yang nyambung dengan cerita dan didukung oleh pemeran bapak yang sangat menjiwai. Unsur dramanya kental dengan dipadu musik yang representatif. We merupakan gambaran pada kita tentang bagaimana suka duka orang tua dalam membesarkan anak. Terutama anak tunggal. Ibarat burung, ada masa harus keluar dari sarang, untuk terbang lebih jauh. Film pendek tapi membawa kegalauan yang panjang tanpa banyak dialog tapi mendalam dengan kemampuan akting Teuku Rifnu Wikana yang luar biasa.  Saya sempat terbawa baper dengan aktor ini ketika menjadi tokoh pemuda desa kaya songong nan oportunis dalam film Sang Penari (2011) yang ‘menjual’ srintil ketika menjadi tahanan kepada seorang lelaki hidung belang. Namun perasaan dongkol itu hilang ketika Teuku Rifnu menjadi tokoh bapak yang baik.

Film pendek We bisa dikatakan sebagai drama rasa film keluarga dan film keluarga yang penuh drama. Keunggulan dari film ini adalah akting Teuku Rifnu Wikana sebagai bapak sangat mempesona dan menggambarkan personal sosok bapak yang sempurna dengan segala kegalauannya. Tak lupa musik dalam pengiring film pendek ini membawa kebimbangan tersendiri. Antara penggemar akting bapak atau sebagai penggemar lagu khas Efek Rumah Kaca (ERK). Ada persembahan lagu dari Juang Manyala yang menghadirkan Cholil Mahmud dan Gardika Gigih. Perpaduan lagu lirik yang mendalam untuk berupaya rela ikhlas melepas dengan bahasa tubuh bapak yang harmonis. Dijamin mengaduk-aduk emosi kita terlebih sebagai bapak yang mempunyai anak putri.  

Ada yang sedikit mengganjal dalam hati. Sebagai figur anak SMA saya melihat Rachel Amanda sebagai Adin masih kurang masih kurang dalam pendalaman karakter. Atau memang bawaan? Yang jelas unsur kekanak-kanakan ala manjanya remaja putri masih belum terlihat. Peran ibu nampak signifikan pada scene terakhir saat Bapak iseng ingin menelpon Adin tapi tidak berani mengutarakan satu kata pun. Itulah sebuah implementasi dari rasa sayang dan rindu ala kaum bapak-bapak. 

Tahun 2021 menjadi masa penuh cobaan bagi insan perfilman tanah air. Sejak adanya Pandemi Coviid-19 yang masuk sejak tahun 2020 industri dan produksi perfilman mengalami kelesuan. Film pendek atau dokumenter menjadi salah satu media bagian sineas untuk senantiasa berkreasi termasuk memanfaatkan media sosial yang ada termasuk penggunaan layanan streaming berbayar yang marak sejak munculnya para kaum rebahan akibat badai pandemi yang melanda dunia. Akhir kata maju terus sineas Indonesia. Salam Sehat. 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "We: Sinema Musikalisasi Drama Kehidupan Keluarga "

Post a Comment