Ekspedisi Gowes Pantura Duo Kebo 2002

 Lamongan, 29 Maret 2002 

Minggu pagi, 29 September 2002, pukul 04:50WIB aku bangun lebih awal dari siklus tidur biasanya. Ada janji dengan Bashori yang telah mengadakan kesepakatan untuk bersepeda ria menuju Tanjung Kodok di daerah Paciran. Persiapan sudah kulakukan jauh hari sebelum pelaksanaan. Sampai pada malam minggunya semua sudah dicek dengan rapi, namun kondisi keuanganku saja yang masih terlihat belum stabil. 



Malam minggu aku minum sedikit jamu super bikinan bar kampong kulon (tempat pemuda desa biasa cangkruk kadang-kadang minum juga di sini mulai dari tuak ampe arak jowo) dan pulang untuk istirahat pada pukul 00:00WIB. Dengan berjalan gontai setengah sadar bukan karena mabuk tapi karena bangun tidur lebih awal aku menuju rumah Bashori. Dan kami sepakat untuk berangkat pada pukul 05:30WIB. Setelah sarapan nasi anget feat dua potong tempe goreng. Usut punya usut hari itu aku hanya mengantongi uang 11 ribu buat ngeluyur seharian. 

Pukul 05:31WIB kami mulai berangkat lalu mampir dulu ke warung Cak Wujud buat beli kue bakpia kacang ijo dua potong. Dengan santai dan berprinsip biar lambat asal selamat, pelan tapi pasti kami menuju ke jalan aspalan. Jalan aspal adalah wilayah pertigaan tepatnya di daerah pasar ikan Keputran desa Dinoyo. Kalau ke selatan menuju jalan raya Surabaya – Bojonegoro, sedangkan kalau menuju keselatan akan sampai ke jalur pantura salah satu akses menuju Paciran. 

Di tengah perjalanan tiba-tiba rantai sepeda Bashori lepas. Rencana awal rute yang kami lalui adalah bukan via Semlaran atau Pucuk, melainkan akses pantura via Karangbinangun – Dukun Gresik yang belum pernah kami lalui. (kesasar yo balik mulih ). Udara pagi yang masih segar membuat badanku lebih bugar dalam mengayuh pedal sepeda bututku yang sudah masuk gudang selama 3 tahun. Kami lewat rumah salah satu guru kesayangan anak-anak IPS Smada yakni Bu Wid. Kalau saja beliau lagi ada di luar rumahnya pasti aku mampir. Yang membuatku heran di pagi itu adalah walaupun matahari sudah tinggi namun banyak nyamuk-nyamuk yang masih berterbangan di sepanjang jalan yang kami lalui. Seiring dengan berjalannya waktu udara semakin panas tapi untung aku memakai baju yang berwarna terang, berlapis kaos strit di dalamnya yang cukup baik buat nyerap keringat. 

Akhirnya kami tiba di Bengawan Solo, area perbatasan antara Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Gresik. Rasa capek campur setengah puas, setelah menempuh perjalanan yang masih terus berlanjut, perut belum seberapa kelaparan. Tak terhitung sudah berapa kali rantai sepeda Bashori los. Mengingat Bengawan Solo tergolong sungai yang luas dan besar maka untuk menuju ke seberang membutuhkan jasa getek, yakni pelayanan seperti kapal ferry namun dalam skala yang mini. Dengan membayar cukup Rp 500; akhirnya sampai juga di seberang artinya sampai di silayah Dukun Kabupaten Gresik. Sebenarnya saat itu sudah dibangun jembatan yang suatu hari bisa mempermudah akses dari Karangbinangun menuju Dukun, namun saat itu jembatan masih nampak tiang pancangnya saja.


Pukul 06:50 WIB hari masih pagi, saat itu banyak kami temui anak-anak sekolah yang mau berangkat menuju ke tempat belajar, minggupun tetap belajar, maklum di daerah sana banyak terdapat madrasah. Yang menarik adalah seragam khususnya siswa putri, baju atas berupa hem dan jilbab putih sementara bawahannya berupa jarik bermotif batik parang. Rombongan twin kerbau terus melaju ke utara, kadang-kadang bingung kalau bertemu perempatan atau pertigaan, maklum baru pertama kali lewat daerah sana. Tapi yang penting terus lurus ke utara, maju terus pantang mundur. Untung ada salah satu ruas jalan yang dipasang peta sehingga aku jadi semakin percaya diri dan tidak kuatir nyasar. Medan yang kami lalui semakin sulit, sebab memasuki daerah berbukit-bukit, dengan bermodal tenaga dari sego lauk tempe dan semangat menggebu kami terus melaju. 

Namun ditengah perjalanan rasa bimbang muncul kembali, apakah benar jalan yang sedang kulalui menuju Pantura. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil inisiatif dengan bertanya pada pemilik sebuah warung kopi, sekalian istirahat buat beli doping es Xtra Joss. Pemilik warung kopi tersebut terdiri dari seorang ibu dengan anak perempuannya (Bu Mboten pados mantu toh?). kemudian kami melanjutkan perjalanan hingga sampai pada kawasan ujung aspal daerah dukun, artinya sampai sudah di jalur Dendles alias jalur Pantura. Kami menikmati perjalanan kali ini tetapi tidak berani bersepeda secara bersebelahan, sebab konon jalur pantura rawan kecelakaan disamping kendaraan yang lalu lalang besar-besar dan melaju cepat. Selama perjalanan tepatnya di daerah Wadeng aku sempat dikejutkan oleh kerumunan orang yang berjubel. Kalau dilihat dari jauh sepertinya ada kecelakaan, sebuah bis mini hijau jurusan Surabaya – Brondong terbalik setelah menabrak sebuah pohon. Semoga tidak ada korban jiwa, karena kondisinya lumayan parah, kaca depan pecah. Medan yang paling susah dilalui yakni tanjakan di daerah hutan jati yang jika dibandingkan dengan jembatan daerah made hamper lima kali lipatnya. 

Akhirnya pada pukul 08:30WIB kami sudah sampai di daerah Tanjung Kodok, namun betapa terkejutnya saat kulihat tasku ternyata bolong tapi untung saja isinya tidak keluar. Mungkin karena kelebihan muatan, padahal hanya berisi dua botol aqua kecil dengan air segar dari kendi, biscuit dan dua kue. Lega rasanya bisa sampai ketempat tujuan dengan tepat pada target, padahal sebelumnya kami sempat ragu tentang kemampuan dan kesanggupan kami apakah bisa sampai di tanjung kodok. Setelah sejenak melepas lelah sambil menikmati pemandangan pantai utara jawa lengkap dengan muda mudi yang sedang pacaran di pantai, aku memutuskan untuk lebih dekat lagi pada pantai. Dasar manusia setengah kalap banyu, begitu melihat air hatiku tergerak untuk nyemplung dan berenang di laut. Begitu masuk air, rasanya seger banget berenang di pantai di temani sinar matahari, padahal saat itu kakiku terluka akibat sepak bola liga desa di lapangan tambak yang kering. Beberapa saat berenang kakiku tersentuh karang-karang yang tajam dan berbahaya kalau sampai tersentuh atau kejepit. Setelah puas berenang di sekitar kodoknya Tanjung kodok, aku pindah ke bagian barat pantai, karena di sana bagian bawah pantai berupa pasir laut yang nyaman buat diinjak. Kemudian ku mandi di toilet umum buat ganti baju sekalian bilas, namun sialan saat itu kaos stritku ketinggalan dan setelah kucari lagi sudah tidak ada rimbanya. Kukeringkan badan di bawah terik matahari seperti bule-bule kalau lagi rekreasi di pantai, mumpung masih ada waktu santai aku buat sketsa di sekitar tanjung kodok mengingat ada beberapa bagian yang dibangun maupun diperbarui. 

Setelah puas di Tanjung kodok kami memutuskan untuk pulang dan di tengah perjalanan waktu naik tangga aku bertemu dengan anak-anak SMUDA Lamongan yakni Arif, pacarnya Anjar dan kawan-kawan. Perjalanan pulang dimulai pada tengah hari, namun sebelumnya kami mampir lagi di gua Maharani maklum, Bashori belum pernah berkunjung ke situ. Aku bertemu lagi dengan teman SMA yang lain, kali ini Iffah dengan cowoknya di depan pintu masuk gua. Setelah berbasa basi sejenak, aku menanyakan waktu, sebab jam tanganku mati gara-gara kemasukan air laut. Saat itu Pukul 11:00WIB, ini berarti kami akan berangkat balik ke Bontengah ketika sedang panas-panasnya udara di Lamongan. 

Santai namun pasti sampai pulang sepeda terus kukayuh, untunglah saat itu persediaan air minumku masih mencukupi, sebab udara panas sekali, jadi sekali-kali kami berhenti untuk minum dan makan biskuit. Agar tidak jenuh dan suasana menjadi lebih semarak, aku terapkan jurus ampuh Qosim yakni menyapa cewek lewat di kanan kiri jalan dengan catatan cewek tersebut sedang memperhatikan kami. Sapaan Hai…dengan tangan da da da da ternyata cukup efektif, dua mangsa kami dapatkan. Kembali di jalan Pantura perjuangan terus berlangsung terutama saat lewat hutan jati yang berkelok-kelok dengan tanjakan super dupernya. Sampai sepedaku tidak bisa melaju dengan pasti tepat di tengah tanjakan, setengah maju setengah mundur, maklum bagian bawah operannya seharusnya diganti. Ketika kami melintas di depan warung tempat aku beli X tra Joss ketika berangkat, pemilik warung menyuruh kami untuk mampir tapi kami terus saja. 

Pukul 13:30WIB kami tiba di Bengawan Solo dan anehnya jam tanganku yang sebelumnya mati setelah menyeberangi Bengawan Solo dengan getek tiba-tiba berfungsi kembali. Jadi kalau ada yang punya tangan rusak mungkin dapat hidup lagi setelah di bawa ke Bengawan Solo .Akhirnya pukul 15:00 WIB kami sudah sampai rumah dengan sehat dan selamat. Tanpa istirahat aku langsung menuju lapangan tambak desa sebelah kuburan dan bermain bola melawan Dusun Delok meskipun kalah 1-0. keesokan harinya kulitku makin hitam dan ada gangguan teknis pencernaan yakni diare. #

Setelah ekspedisi ini tepatnya 12 Oktober 2002. Saya melakukan sepadaan solo. Lamongan-Padusan Pacet Mojokerto. Tepat malam harinya ada Tragedi Bom Bali I dan seminggu setelah itu terjadi Banjir Bandang yang melulu lantakan Pacet Padusan, TKP tepat di tanah datar saya numpang istirahat di tenda anak-anak kampung dengan memarkir sepeda di dekat batu besar. 

Subscribe to receive free email updates: