Ekspedisi Gunung Penanggungan: Sebuah Pengalaman Pertama

"iki loh gunung cilik tapi mekithik


Pendaki: Roikan (18 Tahun, Pelajar) , Candra Mentok (17 Tahun, Pelajar) 
Jalur: Tamiajeng- Pos Bayangan - Puncak Pawitra

Alkisah, hari ini tanggal 25 Maret 2001 sekolah mengadakan studi banding ke SMU 3 Malang dengan panitia Kevin. Mumpung ada kesempatan keluar kota gratisan, aku manfaatin buat naik gunung Penanggungan untuk yang pertama kalinya bersama Candra Menthok. Selain ingin melihat secara langsung puncak penanggungan yang konon indah banget, apalagi setelah melihat sendiri waktu naik Welirang tempo hari. Kebetulan moment studi banding bertepatan dengan peringatan Satu Suro, jadi manfaatin moment sakral bagi orang Jawa tersebut dengan naik gunung. Sore itu, setelah mengadakan pentas dengan judul Armageddon alias jaman wis akhir vs Dialog karya Teater Air SMU 3 Malang.

Rombongan Smudala bersiap-siap pulang pada pukul 17:00WIB. Sore itu aku sudah memisahkan diri dari mobil anak-anak Teater Citra dan bergabung dengan mobil yang ditumpangi Menthok. Ijin dari sekolah sudah diberikan dan mobil Mas Nofik sudah menanti berarti pendakian siap dilaksanakan. Perjalanan kali ini sungguh membawa penderitaan, karena mobil yang aku naiki tidak mencerminkan kenyamanan dan ketentraman. Perutku yang kosong baru saja buat mentas meletup-letup bagaikan digoyang orang satu kampung. Nyaliku untuk mendaki buat yang kedua kali saat itu, sempat menciut karena badanku meriang, kapala pening, keringat dingin dan mual ampe nyaris muntah. Selain itu, penderitaan bertambah karena dengan hanya personel pendakian yang berjumlah Cuma dua orang (Pendakian Duet ). Rencana awal kita naik berempat tapi Joni Bendhot dan Robert tidak jadi ikut. Nyali dan tenagaku pulih kembali setelah mobil melewati tapi tidak mampir di rumah bu Elis dan ada gorengan yakni tempe goreng yang lumayan buat ngisi perut sementara.


Pendakian Pendana Puncak Pawitra (2001)

Petang itu pukul 19:00WIB mobil berhenti di sekitar terminal Pandaan, dan kami berdua harus meninggalkan rombongan, tapi untunglah hujan deras yang sejak pukul 17:00WIB mengguyur malam selama perjalanan telah berhenti. Kami berdua langsung ngemper di depan took dan bertemu dengan rombongan dari Surabaya yang telah sampai dari puncak welirang. Beberapa lama kemudian dari kejauhan nampak mobil angkot angkutan yang memang khusus menuju Tamiajeng. BaseCamp I sekaligus start kalau kita akan naik ke puncak Penanggungan. Di dalam mobil itu terdapat rombongan kecil karena terdiri dari tiga orang, satu cewek dan dua cowok. Setelah kenalan dan mereka adalah:
 • Mbak Tumilah – Darmo Surabaya
 • Ageng Wahyudi Jalan Raya Taman 21 A (Depan Pabrik Baja) Sidoarjo
 • Hadi Purnomo Bungur Utara no. 54 B Waru

Pukul 20:00WIB kami berdua sampai di Tamiajeng (sebuah desa yang mempunyai bangunan balai desa yang cukup besar dibandingkan dengan balai desaku dan termasuk dalam wilayah Trawas). Kami duduk sejenak di pelataran balai desa, dan dari sini sejauh mata memandang puncak penanggungan terlihat sangat anggun, walau begitu untuk mencapai sana siperlukan waktu sekitar 8 jam perjalanan mendaki gunung, susuri lembah .

Persiapan untuk pendakian malam kubenahi dengan seksama, walaupun dengan pengetahuan tentang navigasi yang kosongan, tapi aku berusaha mempersiapkan segalanya termasuk mental. Maklum seumur hidup baru dua kali ini naik gunung setelah Welirang dan kali ini adalah pendakian dengan jalan malam yang pertama ku tempuh. Di depan mushola di dekat balai desa Tamiajeng aku mengambil air pegunungan alami via selang, untuk bekal selama di gunung. Konon ini merupakan satu-satunya sumber air bagi para pendaki waktu itu, karena penanggungan adalah gunung yang tidak mempunyai mata air. Selain itu, aku juga membeli energen Sereal dua bungkus, kersek merah, rokok 76, total semuanya habis Rp 5000;. Sebelum melangkah lebih jauh, supaya tidak ngantuk kami ngopi di warungnya Mak Tik. Ternyata kebetulan di warung itu, Mbak Tumilah dan rombongan kecilnya (dua orang keponakan) lagi minum susu di warung itu..(Idih gedhe-gedhe kok nyusu).

Biar tidak masuk angina karena senin juga masih sekolah, aku persiapan stamina dengan beli antangin. Pukul 20:55WIB rombongan koalisi karena ada kloter tambahan, mulai meninggalkan warung Mak Tik untuk memulai perjalanan menuju puncak. Perjalanan di awali melewati pemukiman penduduk yang malan itu kelihatan masih ramai. Dinginnya hawa pegunungan kucoba usir dengan menghisap rokok 76 sejak dari minum kopi tadi. Sunyi senyap keadaan hutan sekitar perkampungan, kemudian kami sampai masuk areal hutan dan kebun yang gelap gulita yang tadinya jalannya beraspal kini mulai berkerikil alias jalan makadam. Setelah melalui jalan berkerikil kami masuk area lereng gunung, dengan medan yang naik turun dan gelap banget..ih serem…berdoa memang diperlukan dalam segala aktivitas, termasuk mendaki, itulah yang kami lakukan biar selamat pulang pergi lancar tanpa halangan. Mengingat tatakrama orang jawa kalau masuk ke rumah orang jika tidak salam, bisa bahaya banget.

Perjalanan terus berlanjut dan tuh benar kan medan gunung ini makin lama makin susah, maklum jalanan basah habis hujan, banyak kubangan di sana sini. Kubangan yang bertebaran membuat kami sering terperosok alias kecepret. Untung saat itu aku pakai sandal japit, kalau pakai sepatu pasti kaki basah di dalam sepatu. Kami terus berjalan lurus ke depan dan berusaha tidak menengok kanan atau kiri karena banyak pohon randu, konon randu adalah sarang yang representative sekali buat para makhluk halus. Selama perjalanan jika menengok ke belakang, terlihat lampu kota-kota yang gemerlap. Sebuah pengalaman yang mengesankan untuk pendakian malam yang pertama. Dan kalau kepala menengada ke atas puncak Penanggungan seperti da menunggu, padahal perjalanan masih panjang. Di tengah perjalanan kami berhenti di depan tenda lengkap dengan bonus api unggun punya rombongan asal Surabaya, ku manfaatkan saat itu untuk istirahat sejenak, minum air dan cari napas. Perjalanan lanjut lagi dan medan yang kami lalui sekarang mulai berubah menjadi tanjakan yang licin nan bercabang dengan bebatuan yang minim. Musibah memang tidak pernah ada pemberitahuan, malam itu karena keasyikan menikmati perjalanan di jalur aliran air yang di kanan kiri banyak rumput sejenis alang-alang, tak terasa ada ulat gunung alias ulat seret yang nimbrung di betisku. Spontan kakiku terasa panas dan gatal, tapi untunglah ada rombongan Pramuka yang memberi reason jadi penderitaan sedikit berkurang. Betis panas campur gatal tidak kuhiraukan yang penting puncak, dan entah sudah berapa jam kami berjalan tidak ada yang tahu kecuali Mas Ageng karena dia membawa jam sendiri. Hingga dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara anak-anak manusia, berarti Basecamp alias puncak bayangan sudah dekat. Suasana puncak bayangan malam itu sangat ramai, sampai kami kesulitan mencari tempat untuk mendirikan tenda. Sejauh mata memandang padang rumput itu berjajar tenda-tenda yang tidak beraturan. Mungkin saat itu karena ada libur panjang sampai senin jadi banyak yang memanfaatkan untuk piknik di Penanggungan.

Setelah pencarian yang nyaris membuat putus asa, akhirnya kami berlima sepakat untuk mendirikan tenda di kawasan agak ke atas, di belakang tenda anak-anak PA Malang yang lucu-lucu. Usai mendirikan tenda kubuka jas hujan buat tempat duduk anak-anak yang ingin istirahat di luar tenda. Namun pada kenyataannya, tenda hanya buat penampungan sementara barang-barang dan tempat bernaung kalau tiba-tiba turun hujan. Sambil menyalakan rokok 76 kupandang jauh ke depan tampak gunung Welirang beserta kroni-kroninya yang berdiri dengan gagahnya. Sementara itu, satu satunya cewek dalam tim yakni Mbak Tum, sedang duduk sendiri dan dia memintaku untuk duduk di sebelahnya. Menthok, Mas Ageng dan Mas Hadi tengah bekerja keras menyiapkan perapian buat masak dan anget-angetan, kami berdua malah ngobrol tentang banyak hal. Akhirnya mumpung ada psikolog dadakan yang menurutku lumayan hebat dengan pemikiran yang dewasa, kumanfaatkan untuk curhat terkait masalah aku habis putus sama Dian Sakura selepas pendakian ke Welirang. Kunikmati hawa dingin pegunungan waktu itu dengan alunan musik dari acara elegi pagi radio (radio portable model HP) Wijaya FM yang kebetulan saat itu banyak memutar lagu-lagu yang melankolis. Usut punya usut ternyata Mbak Tum yang nampak masih ABG ternyata sudah berumur 20-an. Wah jamune opo Mbak?. Setelah ngobrol panjang lebar aku bergabung dengan ketiga cowok yang sedang masak Sarimi. Sambil melepas lelah kupandangi puncak Welirang dan lampu-lampu kota, ditemani camilan Pop Corn dan kue gulung bekalnya Menthok.


26 Maret 2001
 Pukul 02:00WIB Sarimi sudah masak dan kami makan bersama-sama, siapa cepat dia kenyang. Sambil diselingi obrolan santai untuk menghalau hawa dingin yang mulai menusuk tulang. Kesepakatan malam itu kami berempat akan ke puncak sementara Menthok akan tetap di Basecamp buat tidur dan menjaga tenda. Pukul 03:40WIB perjalanan lanjut kembali, dengan medan dan suhu yang kian tidak bersahabat kami mulai menyusuri tanjakan demi tanjakan. Penerangan dari senter yang Cuma dua buah sama sama sekarat, jadi kami seperti empat orang yang berjalan terhuyun-huyun dalam rumah saat listrik padam. Perjalanan kami saat itu dipimpin oleh Mas Hadi yang baru pertama kali kesana, jadi di tengah perjalanan kami sempat tersesat. Untung ada rombongan Pramuka Mojokerto yang berjalan tidak jauh di belakang kami yang menunjukkan jalan yang sebenarnya dengan sandi senter. Pengeran Sing Mbales Cak! Medan yang kami lalui semakin sulit dengan kemiringan yang semakin bertambah. Setelah melewati jalan hutan kami menuju jalan penuh cabang berlumpur yang berbatu dan licin.(udah becek ndak ada ojek). Sampailah kami pada jalan berbatu-batu besar di depan mata dengan sudut kemiringan yang semakin ekstrim sampai sesekali jalan harus merangkak. Ambisi yang terlampau besar saat itu membuat aku begitu egois untuk lebih cepat jalan biar bisa sampai pucak terlebih dahulu. Kondisi medan semakin ekstrim sehingga perlu kewaspadaan yang lebih karena salah perhitungan sedikit dapat menyebabkan terperosok di bebatuan yang kasar.

Pagi itu matahari mulai menampakkan diri dengan sinar lembayung. Demi menikmati pemandangan matahari terbit untuk yang pertama kali, jalan aku percepat. Hingga nampak dari kejauhan tiga orang berdiri dan ini artinya puncak sudah dekat, aku percepat langkahku sampai setengah berlari, seperti dalam film Band Of Brother ketika Easy Company harus mati-matian menaiki bukit Currahe. Ternyata pandangan mata saat itu agak menipu karena sudah berusaha lebih cepat jarak sebenarnya pada puncak masih lumayan jauh. 
Gunung Penanggungan dilihat dari Basecamp Kokopan Welirang (Foto Muflih's Expedition)



 Welcome dhateng Puncak Penanggungan
Setelah melewati perjuangan cukup keras akhirnya sampai juga di puncak, dengan diawali sapaan akrab dari pendaki asal Gresik yang bilang “Selamat dating di Puncak Mas”. Segala lelah terbayar oleh pemandangan di sekitar puncak menurutku eksotis banget. Di sebelah selatan nampak jajaran Gunung Welirang beserta komplotannya yagn berjajar dengan indah sementara di bagian bawah nampak rumah-rumah penduduk yang kecil-kecil. Sebelah utara terlihat kawah mati yang banyak ditumbuhi rerumputan mirip alang-alang yang membuat gunung ini terlihat ijo kekuning-kuningan jika dilihat dari jauh. Sejauh mata memandang ke arah timur nampak matahari yang mulai beranjak naik dan ada laut beserta sungai juga. Kata anak-anak sungai yang berkelok-kelok itu adalah sungai porong. Ada juga pemandangan yang tidak kalah eksotisnya yakni gunung semeru dengan puncak mahamerunya yang membuatku makin ketagihan buat naik gunung lagi dan lagi. Secara perlahan namun pasti, matahari naik makin tinggi, sehingga udara yang pada mulanya dingin sekarang mulai hangat, terlihat semua orang menikmati suasana saat itu. Ada yang ketawa ketiwi, ngobrol sampai ada yang hanya duduk merenung di ujung jalan. Aku manfaatin moment itu dengan foto-foto, mula-mula Mas Hadi kemudian Mas Ageng dan aku mencari gaya yang tidak biasa yakni seperti iklan ekstra jos dengan background sunrise nan lumayan. Setelah itu giliran Mbak Tumilah yang di foto. Kemudian dengan pertolongan orang-orang disekitar buat motret kami berempat dijepret juga, dengan background jajaran gunung Welirang. Saat itu rasa laparku agak reda setelah makan coklat pemberian dari Mbak Tumilah. Konon menurut saran teman, kalau naik Penanggungan tidak afdol kalau tidak keliling kawah. Bersama Mas Ageng, aku mengelilingi kawah dan ketika sampai di bukit gajah sejah mata memandang ke bawah nampak hamparan awan. Di sekitar kawah tersebut jika kita telusuri lebih jauh, terdapat beberapa makam, yakni makam orang yang dulu mencoba untuk menanam bunga edelweis di Penanggungan.


Panorama Puncak dari Puncak



Dunia memang selebar tali kolor, beberapa saat setelah keliling kawah terjadi percakapan seru antara Mas Ageng, Mas Hadi dengan rombongan teman lamanya dan banyak dari mereka yang punya rencana untuk turun gunung pukul 10:00WIB padahal itu terlalu kesiangan so pasti panas. Di bawah pemancar Penanggungan FM aku berkenalan dengan mereka sekaligus pamitan. Kembali ke pangkalan semula tampak Mbak Tumilah sedang tertidur pulas mungkin karena terlalu kecapean. Karena ndak enak sama Menthok yang menunggu di basecamp aku berpamitan untuk turun lebih dulu bergabung dengan rombongan asal Bungah Gresik. Tak lupa aku ambil batu dari puncak Penanggungan buat kenang-kenangan. Perjalanan menurun dengan medan yang curam, cukup menegangkan dan aku sampai mendekati hutan kembali ini artinya base camp sudah dekat. Di tengah perjalanan sayup-sayup terdengar suara dari Menthok sampai pada akhirnya aku dapat melihatnya sedang memakai baju hijau kebesarannya alias kostum Smudapala. Terlintas dalam pikiranku saat itu kalau Menthok lagi berkenalan dengan seorang cewek yang cakep, sehingga aku berusaha untuk mempercepat jalanku, tak peduli kabut tebal mulai menggelayuti langit sekitar. Dalam perjalanan turun, musibah baru aja terjadi, kali ini menimpa anggota Pramuka asal Mojokerto. Seorang remaja laki-laki tergelincir di medan curam sekitar 10 meter, tak sampai luka berat namun kelihatannya anak itu sangat shock. Sesampai di basecamp kulepas lelah sejenak dengan bersantai ria bersama Menthok, sambil cuci mata melihat anak-anak PA Malang yang cakep-cakep. Pukul 08:30WIB kami memutuskan untuk turun sebelum dibakar oleh teriknya matahari, sebelum berangkat aku diingetin sama anak tenda sebelah kalau sedang diadakan program bersih gunung. Memang sih melihat keadaan gunung Penanggungan sekarang dengan yang dulu jauh berbeda. Sekarang lebih banyak sampah dan penebangan liar.

Perjalanan turun walau agak menakutkan karena salah sedikit saja bisa keblundhung, namun karena saat itu ada rombongan cowok dan cewek yang juga turun, maka suasana menjadi lebih santai dan cair. Sampah-sampah yang kutemui selama perjalanan aku masukin ke dalam plastic bekas pop corn, sampai ada yang ngeledekku dengan Pasukan Kuning Gunung Penanggungan hingga sesampainya di area ladang, panitia bersih gunung membagikan stiker yang kemudian aku temple di pintu masuk secretariat Smadapala keesokan harinya. Pukul 11:00WIB kami tiba kembali di balai desa Tamiajeng. Setelah beristirahat sejenak langsung Pulang ke rumah via Terminal Pandaan – Osowilangun – Lamongan. By The Way Penanggungan memang Gunung cilik tapi Mekithik.#

Tulisan ini asli jaman alay SMA dulu tanpa saduran.


Hari ini bisa naik via Candi Jolotundo (Foto Tahun 2007) 

Subscribe to receive free email updates: