Pasca pengumuman hasil
rekapitulasi pemilu 2019 suhu politik di tanah air semakin memanas. Puncaknya
sejak tanggal 21 Mei malam terjadi kericuhan dan berlanjut pada 22 Mei 2019 di
kawasan sekitar kantor Bawaslu Jakarta. Masyarakat memantau segala kejadian
aktual melalui pemberitaan di media baik televisi maupun portal media daring.
Dunia maya semakin gaduh dengan perkembangan kericuhan di Jakarta yang update setiap saat.
Masyarakat pengguna internet atau
lebih dikenal dengan netizen khususnya pengguna media sosial dan grup Whatsapp.
Pasca kericuhan, gelombang massa mulai berdatangan sebagai bagian aksi 22 Mei di
depan kantor Bawaslu. Pemerintah bergerak cepat terkait dengan melakukan
pembatasan akses media sosial sejak tanggal 22 Mei. Hal ini dilakukan untuk
mencegah suasana yang semakin gaduh dan meredam perluasan berita yang tidak
sesuai fakta di dunia maya. Kericuhan netizen dapat bertambah dengan peredaran
video aksi kekerasan demonstran di Jakarta, video korban kerusuhan demo, video
pergerakan massa menuju ke Jakarta dan Video lama atau terindikasi hoax yang diberi narasi baru dengan
beragam ujaran kebencian.
![]() |
Mancing, Angkat dan Cekrek |
Sejak siang hingga malam netizen
mengalami satu Keresahan dengan tajuk yang sama “Netizen panik medsos dibikin
lelet”. Ada yang menggunakan VPN agar masih dapat mengakses media sosial yang
dibungkam sementara seperti Whatsapp, Facebook dan Instragram. Langkah
pemerintah ini dianggap tepat sebagai upaya meredam perluasan berita hoax dan provokatif.
Seberapa masifnya penggunaan media
sosial di tanah air? Pada awal tahun 2018 dari total populasi Indonesia
sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta atau
setara 49 persen (tekno.kompas.com, 2018). Media sosial dan internet telah
menjadi bagian hidup dari setengah rakyat Indonesia dan menjadi ruang publik
siber. Media sosial membantu masyarakat dalam berjejaring melintasi dimensi
ruang. Pertemanan yang tercerai berai dapat dipersatukan, bisa mengamati
kegiatan orang lain dan membuat kelompok kecil melalui grup berjejaring daring
via Facebook dan Whatsapp.
Media sosial merupakan tempat sirkulasi
informasi dan ide generasi milenial. Pengguna media sosial mempunyai dua pola
komunitasi, produsen informasi dan konsumen sekaligus distributor. Masyarakat
menggunakan pola komunikasi 10 to 90 dalam bermedia sosial. Hanya 10 persen
masyarakat yang memproduksi informasi, sedangkan 90 persen cenderung
mendistribusikannya (kominfo.go.id, 2018). Sedemikian bebas orang bisa
mengakses informasi dan bebas berbicara sehingga mengesampingkan nurani dan
perasaan pihak lain. Bahkan di beberapa komentar portal media online kerap
muncul kata “Biasakan membaca sebelum komen” atau “kepada tukang paido dan nyinyir, waktu dan tempat
dipersilahkan”.
Pembatasan akses media sosial
tanggal 22 Mei yang dilakukan oleh pemerintah dapat dijadikan bahan renungan
sekaligus pembelajaran perlunya bijak menjadi netizen. Terdapat tiga dimensi
utama dalam menyoroti kebijakan tanggap pemerintah ditengah situasi yang
dinilai meresahkan banyak pihak yaitu dimensi struktural, dimensi interaksi dan
dimensi representatif (Peter Dahlgren, 2005).
Pemerintah melalui Kementerian
Komunikasi dan Informatika menyampaikan konformasi terkait pembatasan media
sosial yang bersifat sementara dan
bertahap. Langkah ini dalam dimensi struktural termasuk bagian kontrol
pemerintah dan prosedural. Bentuk rules
governing access, mencegah kegaduhan netizen semakin menyebar. Dalam
dimensi interaksi, netizen sebagai pihak yang aktif dunia maya dapat
menyebarkan informasi secara cepat. Ketika mendapat kiriman berita yang
meresahkan sudah selayaknya netizen bersifat bijak dan dewasa. Sudah tepat
ketika muncul himbuan dengan tidak share
atau stop di anda atau langsung delete.
Kegaduhan netizen pada tanggal 22
Mei memberikan gambaran bagaimana kondisi pengguna media sosial di tanah air.
Tanpa klarifikasi dengan berita yang valid dan faktual, langsung share dan forward serta asal posting menjadi perilaku umum sebagian pengguna
media sosial. Penggunaan media sosial secara bijak merepresentasikan bagaimana
kedewasaan netizen di sebuah negara.
Ada empat langkah strategis untuk
menjadi netizen yang baik. Pertama, media
sosial untuk peningkatan produktivitas. Media sosial pada dasarnya bukan
sebagai media curhat atau pamer. Tapi dapat menjadi sarana untuk menambah
wawasan, jejaring dan pengembangan usaha untuk kesejahteraan.
Kedua, pilah dan pilih grup yang kita ikuti. Media sosial seperti
ruang tanpa batas yang dapat menampung semua kepentingan. Termasuk proses
aktualisasi diri dalam kelompok atau grup daring sebagai implementasi perluasan
jaringan dan kemudahan akses berjejaring yang memperkaya modal sosial (social capital) seorang netizen.
Ketiga, tidak asal posting, saring dan sharing. Kontrol diri merupakan kunci utama menjadi netizen yang
baik. Apa yang kita kirimkan dalam hitungan detik dapat dilihat oleh banyak
orang dan hal itu dapat mencerminkan tingkat kedewasaan dan kecerdasan seorang
netizen.
Keempat, menjadi pribadi yang mawas diri dan netizen yang cerdas.
Kecerdasan dan perilaku yang baik berasal dari pola pikir. Pola pikir bersumber
pula pada literasi. Itulah pentingnya banyak membaca buku yang baik, mendidik
dan inspiratif.
Semoga di bulan yang suci ini
kita tidak hanya puasa secara lahir hanya menahan lapar dan dahaga, namun dapat
menahan diri untuk tidak posting, share dan
forward di media sosial secara
sembarangan. Nafsu menjadi netizen yang haus like, subscribe dan comment dapat
dibelenggu asal kita kontrol dan bijak.
*Artikel ini pernah dimuat dalam Rublik Opini Harian Bhirawa pada dengan judul yang sama .
0 Response to "Ketika Akses Media Sosial Dibatasi"
Post a Comment