Belajar Legowo dan Toleransi dari Pemancing Kali Jagir

Tahun 2019 menjadi tahun politik dengan penyelenggaraan pesta demokrasi dalam pemilihan umum (pemilu) serentak. Beberapa waktu sebelumnya bangsa mengadapi polarisasi masyarakat menjelang pemilihan presiden. Kompetisi putra terbaik sebagai pemimpin negara yang membawa konsekuensi dalam dinamika pergaulan antar anak bangsa. Retaknya hubungan sosial karena merasa berbeda kubu. Tidak sedikit keluarga yang menjadi ‘terpecah’ dan perang dingin hanya karena perbedaan pilihan politik antara kubu 01 dengan 02. Sementara pemilihan legislatif yang seharusnya menjadi satu rangkaian dalam pesta demokrasi seakan tenggelam karena terabaikan oleh kontestasi pilpres. Segregasi dalam masyarakat semakin menjadi-jadi.



Kamis malam (27/9) Mahkamah Konstitusi (MK) menuntaskan sengketa pilpres dengan menolak segala tuntutan dari paslon 02 dan kemenangan di tangan paslon 01. Selayaknya sudah menjadi kemenangan seluruh rakyat. Dua kubu mesti bersatu. Pesta demokrasi telah usai dengan segala dinamika kompetisinya keputusan MK adalah keputusan final yang tidak dapat diganggu gugat. Segala keputusan perlu diterima dengan lapang dada dan legowo.

Segregasi vs Kohesi Sosial
Kohesi sosial merupakan salah satu elemen pokok untuk mencegah potensi perpecahan dalam masyarakat.  Kohesi menangani segregasi. Artinya kohesi sosial menjadi indikator bagi keharmonisan suatu kelompok. Kohesi sosial menitikberatkan pada ranah psikologi sosial sebagai sebuah persepsi komunal atas perasaan bersama yang didasarkan pada saling percaya. Selepas pilpres bangsa perlu mengembalikan kepercayaannya bukan hanya kepercayaan diri namun kepercayaan sosial.

Sikap percaya berasal dari sifat saling menghargai dan toleransi. Istilah “toleransi” berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang berarti membiarkan mereka yang berpikiran lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Merujuk pada Pasal 2 ayat 2 Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan, yaitu, ”setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan (favoritisme) yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama,” seperti tidak mau menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap kelompok lain berdasarkan perbedaan.

Prinsip Sama Sama Tahu

Selama tinggal di Kota Pahlawan terhitung sejak Agustus 2003 saya merasakan sendiri bagaimana toleransi yang didasari jiwa egaliter. Misalnya pada bulan Puasa saat di daerah lain dikabarkan terjadi sweeping untuk warung makan yang buka pada siang hari, di Surabaya tidak ada perbedaan yang mencolok pada bulan puasa. Rata-rata warung tetap buka seperti biasa, pedagang kaki lima berjualan di jalanan tanpa ada yang mengusik. Prinsip arek Surabaya dalam toleransi adalah Sama Sama Tahu (SST). Sebagaimana hasil temuan Setara Institute pada akhir tahun 2018, menyatakan bahwa Surabaya masuk nomor 10 dalam kota paling toleran di Indonesia dengan nilai 5,823. Indeks Kota Toleran (IKT) pada tahun 2018 terdiri dari Singkawang, Salatiga, Pematang Siantar, Manado, Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, Binjai, dan Surabaya.

Sejak tiga tahun terakhir saya menekuni hobi memancing. Memancing liar di sungai kota Surabaya (wild urban fishing). Salah satu tempat memancing favorit warga kota Surabaya adalah kali Jagir. Kali Jagir merupakan salah satu sungai besar yang melintasi wilayah Kota Surabaya dengan bangunan pintu air yang bersejarah.  Berdasarkan pengamatan di lapangan bangunan Pintu Air Jagir telah masuk kedalam bangunan cagar budaya sesuai Surat Keputusan (SK) Walikota Surabaya Nomor 188.45/004/402.1.04/1998 dengan nomor urut 54.

Sisi sebelah timur Pintu Air Jagir menjadi tempat favorit para pemancing. Walaupun Pemkot telah memasang rambu beraktivitas di sekitar bantaran sungai termasuk larangan memancing. Hal ini tidak menyurutkan niat dan menghalangi aktivitas warga untuk memainkan piranti penangkap ikan. Setiap saat kita bisa menemukan orang memancing kawasan yang pernah menjadi bantaran penuh bangunan liar ini. Pengalaman saya ketika memancing di sini dengan penuh kesadaran antar pemancing saling berbagi tempat. Tidak ada pemancing yang merasa dominan. Semua saling menghargai walaupun berbeda teknik dan piranti memancingnya. Bahkan jika ada yang mendapat tangkapan lebih tidak segan untuk menawarkan ikannya pada pemancing lain untuk dibawa pulang secara cuma-cuma. Saat terjadi tumpang tindih antar tali, masing-masing pemancing bahu membahu dan saling mengalah untuk melepaskan. Segala ego seperti dialirkan  di sungai yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda ini.

Aktivitas memancing dan Pintu Air Jagir merupakan representasi keadilan spasial sebagai hak untuk menggunakan dan memanfaatkan ruang publik sebagaimana konsep Soja (2010) terkait right to the city. Hak warga kota untuk memanfaatkan ruang publik tanpa merugikan pihak lain. Jika melihat keharmonisan dalam keberagaman pemancing kota Surabaya. Alangkah indahnya jika kehidupan masyarakat yang terpolarisasi semenjak Pilpres 2019 dapat bersatu padu kembali. Mengesampingkan segala ego,harga diri dan fanatis semu demi keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara lima tahun ke depan. 

Tulisan ini tayang juga di Opini Harian Bhirawa pada 2 Juli 2019


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Belajar Legowo dan Toleransi dari Pemancing Kali Jagir"

Post a Comment