Pancasila di era milenial akan
membawa bangsa kita bergerak kemana? Benarkah masyarakat yang pro-Pancasila
semakin menurun. Buku ini terbit dari keprihatinan Lingkaran Survei Indonesia
(LSI) Denny JA berdasarkan survei analisis pro-Pancasila. Terdapat data yang
mencengangkan, tahun 2005 masyarakat yang pro-Pancasila sebesar 85,2 %, namun
pada tahun 2018 turun menjadi 75,3 %. Menyikapi hal tersebut Denny JA menulis
esai yang berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?” yang
beredar luas di dunia maya.
Merujuk pada hasil survei yang
dilakukan oleh LSI di 34 Provinsi pada 28 Juni – 5 Juli 2018 dengan jumlah
sampel sebanyak 1.200 orang terdapat tiga faktor penurunan pro-Pancasila.
Faktor ekonomi dengan tingginya kesenjangan, paham alternatif yang semakin
digaungkan secara masif dan sosialisasi yang tidak terasa sampai segala aspek
kehidupan masyarakat.
Fenomena global yang terjadi
sebagaimana tulisan Denny JA bahwa banyak negara berlabel Islam tidak berhasil
mencapai peringkat teratas dalam mempraktikkan nilai yang Islami. Buku ini berisi
kumpulan tulisan dari 21 pakar multidisiplin ilmu dan minat kajian yang
dieditori dengan sangat sistematis oleh Dr. Satrio Arismunandar.
Terdapat beragam sudut pandang
tentang wacana NKRI, syariah dan ruang publik yang manusia dari analisis
tekstual, aspek historis –tentang perdebatan sengit saat penetapan sila
pertama-, dinamika politik, kontekstual, hukum hingga etnografis –bagaimana
pergeseran pandangan pada liyan di Bali usai digulirkan wisata syariah- . Seruan
NKRI bersyariah diwujudkan dengan NKRI beragama, mencintai ulama, pribumis
sebagai tuan rumah dan berketuhanan yang Maha Esa.
Editor: Satrio Arismunandar
Penerbit: Cerah Budaya Indonesia
Tahun: 2019
Tebal: 180
Peresensi Buku: Roikan
Peresensi Buku: Roikan
Tentunya dengan berbagai latar
belakang keilmuan para merujuk pada satu generasasi bahwa NKRI bersyariah
adalah sebuah wacana tanpa langkah strategis yang jelas. Sebagai jargon
menyuburkan populisme Islam sebagaimana pandangan Airlangga Pribadi Kusman
(hal.7) yang secara sosiologi politik dalam menganalisisnya membutuhkan wawasan
imajinasi sosiologis yang lebih mendalam yang disesuaikan dengan dinamika pasca
tumbangnya rezim Orde Baru. Terdapat persoalan besar selain fanatisme agama
yaitu masih belum inklusif dan demokratiknya corak kekuasaan.
Perjuangan politik Islam dari
gagasan mendirikan negara Islam hingga populisme Islam tidak akan pernah
berujung. Seiring dinamika perpolitikan di tanah air akan selalu
bermetamorfosis dan tersimpan rapi dalam memori kolektif kelompok Islam
Politik. Dari Piagam Jakarta berubah
menjadi NKRI bersyariah, oleh AE Priyono dikatakan sebagai NKRI bersyariah
adalah Piagam Jakarta dalam Praksis Wahabis. Untuk Indonesia yang berdasar
Pancasila akan menghadapi banyak
tantangan sebagaimana disampaikan Abdul M. Ghazali akan selalu berakhir dengan
kesia-siaan (hal.75). Dalam tulisannya yang berjudul “Genealogi Indonesia”
Komaruddin Hidayat menyoroti fenomena terjadi penonjolan semangat beragama yang
diekspresikan dalam simbol pakaian dan jamaah-jamaah pengajian, serta ormas
yang mengusung simbol dan sentimen agama. NKRI bersyariah hanya perjuangan yang
membuang energi bahkan berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa (hal.87).
Kritik metodologis survey
disampaikan oleh E. Fernando M. Manullang karena masih dianggap kurang relevan
secara kontekstual. Ia lantas memberikan penekanan pada perlunya negara belajar
dari pengalaman Gereja Katolik. Mengalami dinamika dari kekuatan yang terorganisasi
hingga masa Abad Pertengahan lantas tercerai berai. Konflik politik ditengarai
sebagai faktor utama bukan semata-mata alasan teologis (hal.19). Belajar dari
hal itulah perlunya kesadaran bahwa Pancasila adalah pedoman yang memadai untuk
memajukan ruang publik yang manusiawi yang terikat oleh faktor sejarah dan
kurang etis jika dipertanyakan kembali.
Saya sangat mengapresiasi tulisan
I Gede Joni Suhartawan yang berjudul Risiko “Berbaju Agama” di Ruang Publik
yang Majemuk. Melalui pengamatan dan pengalaman selama tinggal di Bali penulis
melihat dinamika jaman dan dinamika makna kerukunan. Telah terjadi perubahan
kehidupan dan persepsi masyarakat Bali akan makna keberagaman dengan
saudara-saudara jaba (hal.125).
Masyarakat Bali sejak tahun 70-an yang semula rukun mulai terusik sejak
tahun 2015 ketika terjadi pelarangan mengucapkan selamat hari raya kepada umat
beragama lain. Hal ini diperparah sejak digagas “Wisata Syariah di Bali” yang
berimbas panjang dan menimbulkan konflik laten. Ada penjual makanan yang
memberikan label “muslim plus 100% halal” versus “100% haram” sampai rencana
pembongkaran mushola ‘Pura Langgar’. NKRI bersyariah yang dipilih sebagai ruang
publik sesungguhnya mengajak minoritas berpura-pura mesra, padahal di sana ada
hati yang luka (hal.129).
NKRI adalah hasil perjuangan
bersama seluruh komponen bangsa dan karenanya semua menjadi milik semua kalangan.
Sehingga perlunya menghindari politisasi agama dalam keberagaman di Indonesia
oleh Nurul H. Maarif diperlukan penyelenggaraan negara yang subtansial, bukan
mengedepankan simbol-simbol formal agama (hal.29). Menyambung tentang aspek
simbolis, Al Chaidar menulis Islam Simbolik dan Islam Substantif: Problema
Nilai Islamasitas dalam politik Indonesia yang
membahas tentang simbol esoterisme dan mengupas habis Habib Rizieq
Shihab. HBS yang berseloroh tentang wacana NKRI Bersyariah yang hanya sebatas
ide demagog yang utopis, tidak dapat mewujudkan Islam sebagaia agama profetif
(hal.33). Perlunya perubahan pola pikir umat agar tidak larut dalam populisme
Islam yang cenderung tidak punya ide original tentang negara nomokrasi Islam.
Para pengusung NKRI bersyariah
oleh Dina Y. Sulaeman dalam pembahasan tentang politik global mengglorifikasi
ISIS dengan iming-iming penegakan syariah, menegakan khilafah dan melawan
segala kezholiman. Tiga watak dasar yang menjadi ancaman bagi kehidupan
berbangsa dan paradoks dengan idealitas NKRI adalah takfirisme, ekstremisme,
dan kegagalan berpikir metodologis (hal.100).
Terkait makna ruang publik
sebagai nilai kolektif Islam memiliki substansi nilai bersifat universal,
menembus sekat ruang dan waktu. Kastorius Sinaga menganggap gagasan NKRI
bersyariah adalah pendekatan totalitarian yang bertujuan melakukan penyeragaman
di atas simbol agama (hal.67). Gagasan ini mengandung potensi konflik yang
bersifat hegemonik di atas prinsip zero sum game. Tidak salah jika ada anggapan
yang mengatakan “jangan mensuriahkan Indonesia, jangan mengkosovokan
Indonesia”.
Kita adalah NKRI Pancasila
Pancasila adalah ‘jalan ketiga’
sebagaimana pemaparan Trisno S. Sutanto bahwa sebenarnya telah menawarkan cara
lain dalam melihat hubungan negara dengan agama yang selalu penuh tantangan dan
menimbulkan masalah. Pancasila menjadi penengah yang mengakomodasi, menghargai
dan menjamin segala keanekaragaman khususnya keyakinan religi (hal.38). NKRI
bersyariah merupakan sisa rentetan konflik ideologi pada awal pembentukan
negara hingga terjadi wacana pembahasan kembali Piagam Jakarta dalam proses
amandemen UUD 1945. NU dan Muhammadiyah memasang badan menolak gagasan
pembahasan Piagam Jakarta oleh Rumadi Ahmad dinyatakan bahwa negara Indonesia
sebenarnya sudah syar’i meski tanpa label “Syariah” (hal.46).
Buktinya syariat Islam memang
tidak tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim di tanah air. Husain
Heriyanto membuat analogi tentang “Tempe berkacang kedelai”, NKRI bersyariah
tidak menambah makna apa-apa karena Islam, yang didalamnya mengandung makna
Syariah, telah terintegrasi dengan NKRI (hal.110). Dari aspek privat, publik
sampai kehidupan berbangsa bernegara. Adian Husaini memberikan bukti bahwa
tugas Kementerian Agama masih relevan, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
menjadi panduan perbankan syariah di Indonesia. Demikian pula dalam
Undang-Undang terdapat beberapa hal bersifat syariah seperti UU Zakat, UU Haji,
UU Wakaf dan UU Perkawinan (hal. 52).
Lantas apalagi yang mau dituntut
umat Islam? Secara gamblang Asvi Wardam Adam membebarkan sejumlah fakta dominasi
umat Islam di tanah air. Islam menjadi latar belakang sejumlah pejabat teras
sejumlah institusi, adanya Kementerian Agama, kebebasan menunaikan ibadah,
masjid bebas menggunakan pengeras suara, bulan puasa dengan segala
pembatasannya, sampai persoalan perbankan. Umat Islam di Indonesia adalah umat
yang paling beruntung (hal.63).
Buku ini juga menghadirkan
pandangan para pakar hukum terkait relevansi dan efektifitas Perda Syariah yang
oleh Azyumardi Azra, CBE dikatakan sebagai potensi amalgamasi Islam ke dalam
negara dan kekuasaan politik (hal.132), namun di sisi lain negara dituntut
untuk selalu netral. Syariah pada dasarnya hanya bisa dijalankan secara
sukarela oleh para penganutnya. Yusril Ihza Mahendra menyatakan yang terpenting
dari substansi syariah itu tertuang ke dalam kaidah-kaidah hukum positif yang
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat (hal.144).
Secara proses yuridis
konstitusional terdapat kelompok yang tetap bersikeras untuk mewujudkan NKRI
bersyariah dalam tataran apapun, jika tidak di ranah pusat akan diterapkan di
tingkat daerah (hal.154). Inilah yang disampaikan oleh Nursyahbani
Katjasungkana yang secara langsung
terlibat dalam proses amandemen ketika menjadi anggota MPR periode 1999-2004. Lebih
lanjut formalisasi syariah Islam di daerah dikatakan Ahmad Gaus AF dalam
tulisan berjudul “Para Distopian Negara Syariah” sebagai pragmatisme kekuasaan
untuk meningkatkan legitimasi keagamaan di mata publik (hal.175).
Khusus untuk Aceh sebagaimana disampaikan oleh Satya Arinanto adalah sebuah
pengecualian. Satya Ariyanto fokus membahas tentang UU Nomor 11 Tahun 2006
tentang pemerintahan Aceh (hal.148). Hal ini terkait dengan ketentuan
pemberlakuan syariah dalam arti hukum Islam yang dikemukakan dan dilaksanakan
secara tegas dari hukum syariah sampai Mahkamah Syariah. Namun belum semua
prinsip syariah dapat diterapkan di tanah air karena kebhinekaan dalam
kesetaraan.
NKRI bersyariah adalah gagasan
semu yang tidak mempunyai operasionalisasi yang jelas, namun dapat menjadi
ancaman bagi kemajukan warganegara sampai NKRI. Budhy Munawar-Rachman
merekomendasikan pentingnya berketuhanan yang berkebudayaan dengan berpegang
teguh pada nilai ketuhanan sekaligus nilai kebangsaan (hal.123).
NKRI Pancasila merupakan perilaku
manusia Indonesia yang selaras dengan nilai yang disaripatikan dari perilaku
pendiri bangsa atas nilai Ketuhahan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan
Keadilan. NKRI berpancasila menawarkan ruang publik yang tidak hanya manusiawi,
namun inklusif dan sangat menghargai segala keberagaman di negara sebesar dan
sekompleks Indonesia.
0 Response to "NKRI Bersyariah sebagai Jargon Politik Populisme Islam yang Tak Berujung "
Post a Comment