Spirit Inklusivitas Lingkungan dalam Berkurban

Awal Agustus 2019 saya berkesempatan mendampingi sebuah acara yang diselenggarakan oleh Bakesbangpol Jatim terkait toleransi. Pada sesi tanya jawab salah satu peserta mengungkapkan permasalahannya dalam forum. Seorang mahasiswi menceritakan ketika berupaya melakukan pengabdian pada masyarakat dengan membuat pendampingan dan bimbingan belajar pada anak-anak di salah satu kampung nelayan. Pengorbanan waktu, pikiran dan tenaganya tidak mendapat apresiasi yang setimpal. Alih-alih penghargaan justru beragam tuduhan dari beberapa warga yang mengganggapnya sebagai gerakan kristenisasi. Mengingat dia berbeda suku dan keyakinan, kehadirannya dalam komunitas nelayan tersebut dianggap sebagai pihak asing yang membawa kepentingan tertentu. Inilah sekelumit realitas tentang sikap intoleran di tanah air. Perasaan teralienansi/derprivasi dan pengingkaran atau penentangan hak-hak kewarganegaraan kelompok lain yang tidak disukai masih menjadi perilaku sebagian masyarakat yang kurang paham tentang esensi dari toleransi.  Konsep toleransi yang dimaknai sebatas hormat menghormati antar pemeluk agama yang nirketerbukaan dan keberimbangan.

Kambing Kurban dan Surat Wasiat (dokpri)


Isu agama masih menjadi sesuatu yang relevan untuk digunakan sebagai sebuah manuver. Atas nama sebuah kepentingan baik politik maupun ekonomi. Intoleransi beragama menjadi salah satu potensi dari terjadinya bencana sosial. Merujuk pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Alam, Non alam dan Sosial). Bencana sosial merupakan sebuah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Agama dan konflik menjadi dua hal yang saling berkelindan. Agama dapat menjadi sebuah konflik jika terdapat sikap fanatis dan pemahaman yang sempit, lemah dan terbatas. Sebaliknya konflik menggunakan isu agama menjadi semakin besar karena sentimen keagamaan atas nama dogma yang cenderung eksklusif.

Kita selayaknya harus bersyukur menjadi manusia yang dilahirkan di Indonesia. Keberagaman di Indonesia adalah bukti kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Hal ini dapat menjadi nilai tambah menjadi manusia yang hidup dalam lingkungan yang beragam. Kebanggaan yang tak ternilai dengan apapun bukan menjadi sumber konflik karena perbedaan pandangan dan keyakinan. Sebagaimana kasus mahasiswi yang ingin mengabdi pada komunitas pesisir di atas, belum lagi serenteten praktik intoleransi mulai penolakan pendirian tempat ibadah hingga penghalangan pelaksanaan peribadatan.

Toleransi tidak hanya sekadar saling menghormati tanpa mencampuradukan urusan keyakinan. Toleransi adalah semangat terbuka dan berbagi sebagai pengejawantahan penghargaan atas segala perbedaan. Sunan Kudus telah mengajarkan pentingnya menjaga keharmonisan dengan mencari alternatif berkurban pada lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu dengan menyembelih kerbau. Tokoh agama pada masa lampau banyak memberikan keteladanan bagaimana membangun toleransi dalam inklusivitas yang kontekstual.

Hari raya kurban 1440 H saya membaca beberapa kabar menyejukan tentang toleransi. Saat Umat Islam melaksanakan shalat Idul Adha pihak Gereja mengubah jadwal Ibadah Minggu bahkan ada yang meniadakan Ibadah Minggu. Ada pula saling berbagi dari lahan sampai hewan kurban. Jalan dan lahan adalah ruang publik yang dapat digunakan sebagai indikator pemenuhan sikap dan tindakan yang mengakomodasi pemenuhan hak-hak warga. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Harvey (2008) bahwa masyarakat kota mempunyai hak atas kota (right to the city). Dalam penerapannya tetap harus memperhatikan kepentingan pihak lain sebagai bentuk toleransi dalam penggunakan ruang publik untuk kepentingan bersama. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan kesadaran publik akan pentingnya senantiasa menjaga harmoni dan melepaskan ego sektoral.

Alam sebagai ruang hidup manusia sepatutnya perlu mendapat perhatian. Senantiasa menjaga keharmonisan dengan alam sekitar diupayakan dalam Idul Adha tahun ini. Ada pula Imbauan pembagian daging kurban tanpa plastik. Sebuah gerakan toleransi terhadap alam sekitar dengan pembagian daging menggunakan wadah selain kantong plastik. Ayaman bambu (kreneng/brojong), wadah bambu (besek) sampai daun jati yang serba alamiah dan tentunya ramah lingkungan. Tidak kuatir menimbulkan sampah plastik yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu penyumbang sampah di bumi bahkan beberapa waktu lalu menjadi negara yang turut dikirim sampah dari negara maju. Inilah bentuk toleransi antara manusia dengan alam sekitar termasuk menambah pundi rupiah dari para pengrajin bambu.

Dua aspek utama dalam mewujudkan lingkungan yang inklusif adalah terbuka dengan sikap menerima cara pandang orang lain dan fleksibel dengan tidak mengedepankan ego dan saling menghargai. Toleransi dengan tidak mencampuradukan keyakinan dan kepercayaan agama masing-masing. Toleransi sejatinya adalah semangat menghagai tanpa ditunggangi oleh kepentingan tertentu yang bersifat politis, namun murni atas dasar hati nurani dan etis. Semua saling merangkul dalam sebuah harmoni yang memanusiakan manusia. Itulah esensi dasar dari berkurban yang tidak hanya sekadar sebatas ritual keagamaan dan peringatan hari besar.

Semoga momen toleransi pada Idul Adha tahun ini diiringi dengan keberlanjutan dan keberimbangan. Tidak hanya dari yang dianggap minoritas ke mayoritas, namun sebaliknya dari kelompok yang mempunyai akses lebih terhadap kelompok lain yang masih mengalami segala keterbatasan. Amin.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Spirit Inklusivitas Lingkungan dalam Berkurban"

Post a Comment