Moral Belajar dan Belajar Moral dalam Keberagaman

Education is not preparation for life; Education is Life itself” -John Dewey

Kegiatan belajar mengajar merupakan proses kunci dalam keberlangsungan suatu proses pendidikan. Pengajaran dan transfer materi antara guru dengan peserta didik berlangsung dalam kelas telah menjadi sesuatu yang telah baku. Namun tidakkah kita menyadari bahwa tidak semua siswa dapat menerima seutuhnya metode pengajaran seperti ini. Esensi kelas seharusnya meliputi pengajaran materi dan pendidikan karakter dalam semangat transfer nilai. Tidak sekadar nilai dalam buku catatan hasil belajar, tapi penilaian dari lingkungan sosial terkait perilaku seorang peserta didik.

Berkibarlah Benderaku..Tunjukan pada dunia bahwa sebenarnya kita mampu (dokpri)
Iklim belajar yang baik memerlukan inovasi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sekolah alam dan kunjungan kelas dapat menjadi solusi mengatasi tumbuhnya sikap malas karena terlalu jenuh seharian di dalam kelas. Karena kelas butuh variasi. Permasalahan yang terjadi saat ini dalam sistem pendidikan berlangsung secara kompleks. Pertama, anggapan bahwa kegiatan belajar mengajar hanyalah rutinitas belaka. Pembentukan karakter dan budi pekerti juga dipengaruhi oleh apa yang didapatkan seorang anak dari luar lingkungan keluarga. Kedua, kelas diangggap kurang menyenangkan bahkan cenderung membosankan. Motivasi anak hanya untuk mendulang nilai terbaik dan melupakan esensi pedidikan yang sejatinya dalah mencerahkan. Ketiga, terlalu mengedepankan motif ekonomi dan kurang inovasi. Perubahan era digital membawa konsekuensi perlunya standarisasi pendidikan ala generasi milenial untuk mencetak generasi penerus bangsa yang kreatif dan kompetitif. Keempat, kurikulum yang terlalu sering berganti tanpa kajian yang mendalam. Hal ini menimbulkan kebingungan tersendiri bagi peserta didik, termasuk tenaga pendidik.

Pendidikan dan Keberagaman
Keberagaman di Indonesia menghadapi kendala dalam bentuk praktik egosektoral yang didasari pada politik identitas. Dunia pendidikan tidak luput dari permasalahan serupa dalam bentuk segmentasi sekolah antara negeri dengan swasta dan berbasis agama dan identitas lainnya. Secara tidak langsung hal ini menumbuhkan karakter yang ekslusif yang didukung oleh praktek pengajaran dan kurikulum di dalam sekolah. Tidak adanya standar baku sistem pengajaran untuk memberlakukan keberagaman menjadikan sekolah hanya berpacu menghasilkan siswa yang berprestasi di atas kertas dan berorientasi pada juara pada berbagai perlombaan. Aspek moralitas seakan hanya menjadi formalitas semata, mengingat praktik kekerasan dan perundungan masih marak dalam kalangan pelajar.

Sir Ken Robinson dan Lou Aronica dalam bukunya You, Your Child and School (2018) menyatakan secara global pendidikan bertumpu pada tolok ukur baku seperti disiplin STEM (science, technology, engineering and mathematics), ujian dan kompetisi, academicism, serta keragaman dan pilihan. Tentu saja tolok ukur tersebut harus memperhatikan kondisi sosiokultural dari suatu masyarakat. Jika dijadikan standar baku tanpa melihat aspek kontekstual dikuatirkan dapat menghasilkan generasi penerus yang ‘rapuh’. Pola belajar yang dapat menjadi pemasung kreatifitas seorang anak. Untuk itu aspek seni dan kemanusiaan perlu ditekankan sebagai disiplin SHTEAM (science, humanities, technology, engineering, art and mathematics). Moralitas yang baik tidak hanya dari aspek agama, namun seni dan kemanusiaan sebagai ekspresi kultural nurani juga harus diperhatikan.

Sekolah perlu menggalakan pendidikan karakter dan moral dengan memperhatikan relasi adaptif pada perkembangan jaman yang sejalan dengan perkembangan mental anak didik. Perilaku agresif dapat dicegah sedini mungkin dengan melihat karakter, kondisi psikologis dan lingkungan sosial. Sistem pengajaran di sekolah hendaknya selalu mengedepankan pengembangan pola pikir peserta didik untuk selalu melihat keberagaman sebagai sebuah anugerah yang harus senantiasa dihargai.

Literasi Moralitas dan Moral Literatif
Jika kita melakukan perbandingan dengan dunia pendidikan pada masa lalu, terdapat perbedaan yang menonjol dalam moral pendidikan. Teguran dan hukuman dari guru oleh generasi masa lampau ditanggapi oleh siswa dan orang tua sebagai bentuk tindakan kelas yang mendidik. Apapun hukuman yang didapat dari kesalahannya siswa tetap menaruh hormat kepada guru. Degradasi moral pendidikan terjadi pada hari ini, saat sebagian siswa yang menganggap guru bukan lagi orang tua kedua di sekolah. Kasus pengaduan siswa kepada guru sampai berujung jalur kepolisian semakin marak.

Bagaimana mengembangkan moral belajar tanpa mengesampingkan belajar moral? Pertama, mengembangkan iklim belajar yang menyenangkan dengan menekankan pada kreatifitas, interaktif dan inisiatif. Penataan ruang yang lebih ‘nyaman’ bukan sekadar kelas berpendingin udara belaka. Guru tidak hanya selaku tenaga pendidik yang melaksanakan kewajiban untuk mengajar tapi berperan sebagai orang rumah kedua setelah keluarga dan sobat karib kedua setelah teman sepermainan. Belajar yang menyenangkan dapat meningkatkan daya serap dan pemahaman materi dari peserta didik. Kedua, menggalakan kelompok belajar dan diintensifkan belajar kerkomunitas sejak pendidikan dasar. Belajar berkomunitas meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial tanpa melihat perbedaan latar belakang. Ini dapat menjadi salah satu implementasi pendidikan berbasis multikultural yang menghargai keberagaman.

Ketiga, perlunya variasi dalam kegiatan belajar mengajar. Pemanfaatan ruang publik untuk pendukung pembelajaran dapat diintensifkan. Ruang publik pada hakekatnya menjadi media pertukaran informasi dan pandangan terhadap perhatian/isu tertentu yang merepresentasikan struktur dan interaksi sosial. Pemanfaatan ruang publik sebagai alternatif pendidikan luar kelas telah diterapkan dibeberapa tempat. Surabaya mempunyai Gedung Balai pemuda dan beberapa taman yang dimanfaatkan beberapa pelajar untuk berkegiatan seni. Melalui dukungan pemerintah provinsi, di Jakarta dikembangkan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai tempat bermain dan belajar. Secara rutin diadakan kegiatan belajar dan praktek terkait pelestarian budaya Betawi. Ruang publik dan kebudayaan diharapkan dapat memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaraman hayati dan memperkuat ekosistem dalam ranah tata ruang dan ekspresi serta pengetahuan. Dari sisi moralitas, Komunitas Tanpa Batas (KTB) Kota Bandung dapat menjadi contoh. Komunitas yang sejak 2017 membangkitkan semangat dan pendampingan belajar terhadap anak putus sekolah dan para anak jalanan. Sejak dini peserta didik perlu diajarkan bersikap peduli dan menghargai segala perbedaan sebagai bagian dari harmoni.

Keempat, pentingnya dukungan dari berbagai pihak terhadap pemajuan kebudayaan melalui pendidikan. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan tapi transfer sistem nilai terkait dengan kearifan lokal. Sebagai pengetahuan asli dalam masyarakat yang berasal dari nilai adiluhung bangsa kearifan lokal melalui dapat membangun karakter anak yang berbudi pekerti dan mempunyai pengendalian diri yang baik. Untuk itu perlunya dukungan penuh tidak hanya secara kelembagan tapi melalui komunitas dan personal.

Memasuki tahun ajaran baru 2019 perlu penyeimbangan antara belajar mengejar nilai melalui disiplin dan kerja keras dengan tidak mengesampingkan nilai moralitas. Perlu gerakan kolaboratif yang melibatkan sekolah tanpa melupakan lupakan peran orang tua. Menggalakan kembali forum pertemuan orang tua dengan guru dapat menjadi media untuk memantau perkembangan dan situasi pembelajaran. Diharapkan sebagai tindakan preventif untuk mencegah berbagai permasalahan yang menjadi potret pendidikan di tanah air seperti perundungan, kekerasan dan diskriminasi di sekolah.  


*Tulisan ini disampaikan sebagai bahan pemaparan dalam kegiatan Implementasi Modul Penyelenggaraan Toleransi Bermasyarakat bagi Pelajar yang diselenggarakan Bakesbangpol Prov Jatim pada 29-30 Juli 2019 di Surabaya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Moral Belajar dan Belajar Moral dalam Keberagaman"

Post a Comment