Budaya Literasi Keluarga Milenial

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang berpengaruh pada pembentukan karakter anak karena di dalamnya terikat oleh ikatan emosi dalam pertalian darah yang kuat. Keluarga merepresentasikan tanggung jawab ekonomi dan sosial. Fenomena yang dekat menjauh dan yang jauh mendekat terjadi dalam lingkup keluarga di era dunia maya. Lunturnya kebiasaan makan malam bersama dalam satu meja berganti dengan konsentrasi pada layar ponsel pintar masing-masing.
Malinowski dan Moana 
Kedekatan dalam keluarga mengalami perubahan yang signifikan. Era agraris bentuk keluarga besar masih dianggap ideal dalam masyarakat. Lain dengan era industri keluarga kecil menjadi solusi utama dalam dinamika zaman yang menuntut kecakapan dan profesionalitas tinggi yang mencerminkan kemandirian. Relasi antaranggota keluarga menjadi kunci utama keutuhan dan keharmonisan sebuah keluarga.

KH Anwar Zahid, seorang dai kondang dari Bojonegoro, Jawa Timur dalam salah satu ceramahnya menyoroti penggunaan gawai yang kurang terkontrol dalam keluarga, bahkan menyebut sebagai setan gepeng. Betapa pengaruh penggunaan gawai dalam lingkungan keluarga membuat jarak antaranggota keluarga. Kondisi ini cukup memprihatinkan dan membahayakan proses tumbuh kembang anak.


Sifat egois dan susah dikontrol menjadi hal yang biasa kita temukan pada anak yang kecanduan gawai. Krisis yang dihadapi oleh keluarga milenial adalah konsumsi media dan akses anak-anak kepada konten negatif, seperti kekerasan sampai pornografi. Media yang dikonsumsi keluarga menjadi salah satu faktor masuknya pengaruh dan nilai dari luar termasuk pengaruh buruk.


Pentingnya prioritas penggunaan media digital menjadi agenda penting pada keluarga milenial. Era digital perlu diimbangi dengan penerapan nilai budaya, menjunjung tinggi etika keadaban. Salah satu cara yang dianggap relevan dengan perubahan zaman tanpa meninggalkan kepribadian bangsa adalah memulai mengembangkan semangat literasi dari lingkungan keluarga. Pengenalan sastra Nusantara dan bacaan yang inspiratif dapat mengubah pola pikir dan perilaku anak. 

Kemajuan teknologi harus dimanfaatkan untuk penguatan kapasitas wawasan dan pendidikan dalam keluarga tanpa melupakan budaya adiluhung bangsa. Perpustakaan dalam rumah sebagai langkah strategis dalam pengembangan Budaya Literasi Keluarga (BuLiKe). Ketika sarana dan prasarana sudah siap tinggal langkah aksi dalam bentuk tindakan nyata menumbuhkan kesadaran pentingnya banyak membaca.


Peran orangtua dalam budaya membaca sangat dibutuhkan dalam semangat literasi keluarga. Ketika orangtua malas, anak akan turut serta. Keteladanan dan pendekatan partisipatoris perlu digalakkan dalam setiap keluarga. Agar ada keinginan untuk memegang buku perlu stimulus dan brain storming dalam bentuk ungkapan malu ketika kurang membaca.


Bagaimana membangun literasi keluarga milenial di era digital seperti sekarang ini? Pertama, menumbuhkan kesadaran arti pentingnya banyak membaca dalam keluarga. Keluarga yang pintar adalah keluarga yang cakap secara literasi. Semua membutuhkan proses dengan fase yang melewati tahap-tahap tertentu secara sistematis dan terencana. Langkah awal penyusunan ide dan rencana aksi dengan melibatkan semua anggota keluarga.


Kedua, pemerintah melalui Kemendikbud dalam mengembangkan minat baca dan literasi masyarakat telah menginisiasi berbagai program dan langkah strategis. Tidak ada salahnya setiap keluarga mendukung upaya pemerintah tersebut sebab semua bertujuan untuk mewujudkan keluarga hebat. Salah satu gerakan literasi yang memanfaatkan waktu berkumpul bersama keluarga adalah pemberlakuan jam baca dalam rumah.


Literasi yang kuat dan disiplin dalam keluarga dilakukan dengan gerakan 1820. Gerakan literatif yang digagas oleh Kemendikbud ini mengajak masyarakat mengurangi pemakaian gawai pada pukul 18:00 sampai 20:00 WIB. Waktu kebersamaan dalam rumah diintensifkan untuk berbagi bersama keluarga dalam bentuk bermain dan belajar bersama.


Ketiga, alokasi dana untuk pendukung literasi. Keuangan keluarga perlu disisihkan beberapa rupiah untuk pengadaan sarana dan prasarana literasi. Dilakukan secara bertahap agar tidak menghabiskan anggaran terlalu besar dan masih dapat menabung untuk keperluan yang lain. Membuat desain rak buku yang menarik dan mudah dijangkau oleh anak-anak dapat menjadi cara membangkitkan minat baca di rumah.


Keempat, liburan ke toko buku. Tempat rekreasi yang biasa dikunjungi keluarga saat libur umumnya menawarkan atraksi alam maupun buatan dan cenderung berbiaya tinggi. Tiket masuk maupun akomodasi selama berlibur. Salah satu alternatif dalam liburan yang mencerdaskan adalah berkunjung ke toko buku saat hari libur. Bisa untuk buku baru maupun buku bekas. Perlunya membuat daftar buku yang akan dibeli agar keuangan selalu terkendali.


Berkunjung ke toko buku bersama keluarga selain mengenalkan kepada anak-anak pada bacaan yang baik, juga dapat mendukung keberlangsungan toko tertentu. Mengingat saat ini ada beberapa toko buku yang beralih fungsi bahkan gulung tikar karena sepinya pengunjung dan pembeli.


Kelima, mengingat keluarga memiliki peran penting dalam menghidupkan budaya literasi, maka BuLiKe perlu dioptimalkan sejak dini. Pasangan baru yang memulai keluarga kecil perlu memahami pentingnya budaya literasi dalam tumbuh kembang anak. Kecerdasan dan kreativitas berasal dari wawasan dan gagasan yang ditentukan pula dari interaksi dalam rumah. 

Pengembangan pola asuh literatif bukan hanya mengenalkan kemampuan baca tulis hitung (calistung) pada anak --ketika belum masanya justru dapat membahayakan mental anak di kemudian hari. Mulalilah dari anak mencintai buku yang sesuai dengan usia dan minat. Keluarga adalah ujung tombak pembentukan sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif. Budaya literasi perlu dimulai dari sini.



Artikel ini telah dimuat di Kolom Detik.com pada 22 Juni 2019 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Budaya Literasi Keluarga Milenial "

Post a Comment