Menelisik Politik Transportasi Ibukota dan Membangun Kultur Bertransportasi

Transportasi menjadi salah satu permasalahan khas di kota besar. Kemacetan, kepadatan, lalu lintas yang semrawut sampai aneka moda transportasi yang saling bersaing dalam satu arena yaitu jalan raya. Kemacetan ditengarai  karena menjamurnya kendaraan pribadi di kota besar.  Ada dua pertanyaan terkait kajian transportasi publik, yaitu mengapa masyarakat kota cenderung menggunakan kendaraan pribadi?  bagaimana kiprah pemerintah dalam hal ini Kemenhub selaku pemegang otoritas penyedia transportasi umum?. 
Sumber: Benny Rachmadi, kartu pos Jakartoon,2004

Sistem transportasi tidak hanya permasalahan perpindahan orang dan barang, namun terdapat keterkaitan dengan sistem ekonomi, sosial, politik dan budaya. UU No. 14 Tahun 1992 Pasal 3 menyebutkan bahwa “Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien”. Postingan ini berupaya membedah dinamika transportasi dengan kajian Ilmu Politik melalui sebuah buku berbasis kepakaran. Dalam buku ini, penulis berupaya menjelaskan pembangunan tatanan baru transportasi di Jakarta berdasarkan penelitian lapangan dengan analisis yang komprehensif. Angkutan umum yang terpercaya merupakan konsekuensi harus diupayakan pemerintah dan operator demi mewujudkan lalu lintas yang nyaman. Sudahkah pemerintah menyediakan semua kebutuhan akan transportasi kepada masyarakat?.

                               
Penulis        : S. Aminah 
Penerbit      : Airlangga University Press
Cetakan      : 2016
Tebal          : 186 + xi 
ISBN          : 978-602-0820-82-8

Buku ini terdiri dari tiga puluh lima pembahasan yang terbagi ke dalam lima bagian yang secara sistematik mengangkat transportasi sampai rekomendasi pembangunan transportasi di perkotaan. Bagian pertama membahas tentang problema permbangunan transportasi publik di perkotaan, terdiri atas empat pembahasan dari perbandingan kondisi antar kota, peran negara, sekilas tentang faktor dan politik ekonomi pembangunan BRT-Transjakarta. Bagian kedua membahas lebih dalam tentang politik ekonomi pembangunan dan penataan transportasi publik. Pada bagian ini ditekankan pada penjelasan konseptual tentang pendekatan politik ekonomi, kuasa negara dalam dan interelasi antara negara-pasar-masyarakat. Kolaborasi negara dan pasar dibahas secara khusus pada bagian ketiga, sinergi keduanya dalam membangun aksesibilitas masyarakat kota. Pada bagian ini berisi pembahasan makna jalan dan berbagai dinamika yang terkait pembangunan transportasi publik. Transportasi sebagaia bagian mobilitas masyarakat dibahas secara mendalam pada bagian empat dengan fokus pada aspek regulasi transportasi publik-privat. Bagian terakhir merupakan refleksi pemikiran penulis yang berisi dinamika internal dan rasional pembangunan transportasi publik cepat massal dan rekayasa sosial yang dilakukan dalam mengubah perilaku bertransportasi masyarakat. 

Kerumitan Transportasi Kota 
Kota besar sebagai pusat aktivitas pemerintahan dan perekonomian mempunyai daya tarik yang luar biasa bagi siapa saja untuk didatangi, ditinggali dalam mencari penghidupan yang lebih baik. Beragamnya lapangan pekerjaan, sarana pendidikan dan hiburan yang memadai dan gaji yang tinggi menjadi semacam ‘magnets of hope’  untuk datang ke kota yang diidentik dengan mobilitas manusia yang tinggi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari masalah transportasi sebagai kebutuhan dasar setiap orang terutama masyarakat perkotaan. Sebagai contoh, Kota Surabaya dan Ibukota Jakarta, lalu lintas yang padat menjadi pemandangan sehari-hari. Harga tanah dan properti yang mahal di area pusat kota, menjadikan sebagian warga memilih bertempat tinggal di pinggiran kota. Tidak heran pada jam berangkat ke tempat beraktivitas dan jam pulang dari tempat aktivitas kepadatan lalu lintas dapat berimbas pada kemacetan.  

Lantas bagaimana dengan pemerintah yang mempunyai otoritas menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik?. Dalam buku ini penulis mengungkapkan sebuah  premis bahwa negara merupakan arena berlangsungnya relasi kuasa antar kekuatan pemerintah, pasar, dan masyarakat. Terdapat interelasi yang terindikasi dari tataran konstestasi dan kolaborasi dalam penyelenggaraan kebijakan transportasi (hal.18). Pemerintah telah berupaya menyediakan transportasi publik untuk mendukung mobilitas warga, misalnya dengan angkot, bus kota, sampai kereta komuter. Namun yang terjadi masih terdapat keluhan dan kekurangnyamanan dalam pelayanan angkutan umum sehingga lebih dipilih penggunaan kendaraan pribadi. Masalah transpotasi publik memiliki kerumitan tersendiri yang setara dengan mengurai kemacetan lalu lintas perkotaan. Terdapat kerumitan dalam relasi kuasa antara stakeholder terkait. Rumitnya pembangunan transportasi publik juga dipengaruhi oleh kondisi demografi, mobilitas dan daya beli masyarakat kota (hal.3). Jumlah penduduk kota yang terus bertambah terutama dari para pendatang dan cenderung tinggal di kawasan pinggiran berkontribusi pada kepadatan lalu lintas. Belum lagi terjadi peningkatan daya beli masyarakat pada kendaraan pribadi baik mobil maupun sepeda motor. 

Sebagai ilustasi, Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia memiliki angka kelahiran dan angka imigran masuk yang tinggi. Berdasarkan data yang dilansir dari laporan Dinas Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya menerangkan bahwa jumlah penduduk datang ke kota Surabaya yang dilaporkan tahun 2015 mencapai 46.654 jiwa. Penduduk Kota Surabaya berdasarkan sensus 2010 berjumlah 2.765.487 Jiwa, sementara proyeksi pertambahan penduduk dari sensus penduduk 2010, pada tahun 2017 diperkirakan mencapai 2.896,6 artinya penduduk kota Surabaya hampir mencapai angka 3 Juta Jiwa dengan luas wilayah 326,36 km2. Artinya terjadi kepadatan penduduk yang tidak ditopang dengan ruang yang ada dan sarana jalan yang memadai menjadikan permasalahan terkait penggunaan ruang dan jalan yang semakin kompleks. Telah terjadi pula ketidakseimbangan antara rasio jumlah penduduk: jumlah kendaraan: sarana jalan. Masalah kemacetan di kota besar terutama Surabaya dan Jakarta disebabkan karena peningkatan mobilitas dalam hal ini mengingkatnya perjalanan individu dan belum terintegrasinya antarmoda untuk melayani kebutuhan transportasi semua penggunanya (hal. 8). 

Pengguna jalan khususnya kendaraan bermotor yang kerap dianggap ugal-ugalan di kota besar, tidak selalu disebabkan karena mental kurang disiplin. Semestinya semua orang yang mengakses jalan turut memiliki tanggung jawab atas kemacetan, polusi dan kesemrawutan.  Merujuk pada Raihana (2007: 139) berdasarkan penelitian di Jogjakarta menyatakan bahwa toleransi antar pengguna jalan pada masyarakat perkotaan berada pada tahap transisi, dari toleran menuju tidak toleran/intoleran pada argumen struktural dan mental.  Indikatornya adalah perilaku di jalan merupakan strategi bertahan terhadap kondisi lalu lintas dan infrastruktur jalan. Hal serupa juga menjadi argumentasi penulis bahwa realitas kepadatan dan kemacetan bukan lagi permasalahan realitas fisik, namun mencerminkan adanya gerakan perlawanan masyarakat terhadap buruknya kondisi dan pelayanan transportasi yang ada (hal.12). Jalanan dapat menjadi media untuk mengungkapkan protes dalam bentuk perlawanan. Oleh karena itu di jalanan tidak hanya orang lalu lalang hilir mudik dan bicara tentang lalu lintas. Jalanan dapat menjadi media untuk penyampaian aspirasi dan protes melalui demonstrasi yang kemudian dikenal sebagai aksi turun ke jalan. Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari pelebaran jalan, rekayasa lalu lintas sampai pengadaan transportasi publik yang terintegrasi menjadi salah satu solusi untuk menyeimbangkan permasalahan ketimpangan rasio yang terjadi dan meredam perlawanan masyarakat sedini mungkin. 

Buku ini berupaya untuk memberikan penjelasan secara naratif dan analitik terkait pembangunan tatanan baru transportasi khususnya di Jakarta. Ruang jalan dan moda transportasi  dan masyarakat menjadi perhatian khusus dalam buku ini. Penulis berupaya untuk mempelajari  kebijakan pembangunan BRT-Transjakarta sebagai suatu model yang merepresentasikan studi interelasi antar institusi. Terdapat tiga faktor (modal, keseimbangan kekuasaan dan struktur ekonomi) yang berkelindan dengan tiga aktor (negara, pasar dan masyarakat) yang saling mempengaruhi dalam pembangunan transportasi massal (hal.52). Pemerintah menggunakan kekuasaan politik untuk mengatur kebijakan, operator swasta memiliki kekuasaan ekonomi dalam bentuk permodalan dan investasi selaku penyedia layanan jasa dan masyarakat sebagai konsumen sekaligus pemegang kontrol atas kebijakan pemerintah dan layanan swasta. Lantas bagaimana prioritas dan posisi pemerintah? Buku ini membahas tentang pemerintah yang lebih berpihak kepada operator sebagai pelaku industri dan terdapat berbagai kebijakan yang dibuat secara parsial dan kurang mengakomodir kepentingan masyarakat. 
Siapa Suruh datang Jakarta (catatan lapangan Desember 2013)

Dinamika Pembangunan Angkutan Publik Jakarta
Penataan transportasi publik-privat tidak hanya permasalahan regulasi yang bersifat yuridis formal. Pendekatan yang relevan untuk melihat bagaimana sinergi antara negara, operator dan masyarakat pengguna transportasi adalah pendekatan politik dan ekonomi. Penulis menggabungkan keduanya menjadi pendekatan politik ekonomi. Pendekatan politik ekonomi menekankan pada aspek tertentu dari kondisi struktural tempat kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik berkontestasi (hal.14). Peran negara mempunyai kontribusi besar dalam pembuatan kebijakan beserta regulasinya. Sinergi negara, pasar dan masyarakat menjadi fokus khusus dalam buku ini, bagaimana sebagai arena berlangsungnya relasi kuasa antar kekuatan pemerintah, pasar dan masyarakat. 

Mengingat tanggung jawab negara adalah membangun dan menyediakan transportasi umum sebagai bagian dari pelayanan publik, maka terjadi hubungan yang saling berkelindan dan negoisatif dengan operator dan penggunanya. Pemerintah berupaya proaktif dalam memberikan pelayanan publik yang baik guna memperbaiki kualitas hidup masyarakat, maka peran yang dilakukan dengan menjalankan operasi kekuasaan dengan memperluas akses kepada masyarakat. 

Relasi kuasa antara negara, pasar dan masyarakat tidak lepas dari karakteristik khas relasi antara pasar dengan masyarakat. Hubungan antara pasar dan masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital yang mempermudah segalanya. Terdapat E-ticketing, fasilitas booking tiket sampai penyediaan transportasi layanan online. Artinya masyarakat mempunyai kekuatan khusus dalam kuasa, kepentingan dan daya tawar yang difasilitasi oleh pasar. Negara harus melihat dengan cermat hal ini agar dapat menerapkan kontrol dan regulasi yang sesuai dengan perkembangan jaman. Penulis melihat dalam beberapa dekade terakhir terkait pesatnya perubahan ekonomi politik merepresentasikan semakin minimalnya peranan negara dan sisi lain menuju pada optimalnya peranan pengusaha dan investor (hal. 29). Kebijakan yang minimal, pasar yang optimal menjadi dasar efektifitas relasi diantara ketiga stakeholder. Negara mempunyai hak untuk melakukan intervensi dalam rangka penyeimbangan pasar, namun pasar memerlukan ruang agar tidak terlalu terkekang oleh kontrol negara.  Kuasa yang dimiliki negara menentukan interelasinya dengan pasar dan masyarakat (hal. 25). Diperlakukan relasi yang sinergis dan dialektis agar masyarakat luas dapat terlayani dengan baik.  

Makna Jalan dan Jalan Raya sebagai Sumber Daya
Jalanan dimaknai secara politis oleh negara, dan dimaknai ekonomis oleh pasar demikian pula sebaliknya. Terjadi perberdaan dalam pemaknaan atas ruang jalan dari pemerintah, masyarakat dan industri otomotif karena didasarkan pada kepentingan masing-masing (hal. 57). Penelitian tentang makna jalan berdasarkan penelitian Laksono (et. al, 2000) bahwa jalan raya tidak hanya sebatas sarana umum untuk perpindahan semata, namun dapat merefleksikan kontestasi ekonomi, pencitraan, perlawanan dan gerakan sosial. Aksi turun ke jalan dalam demokrasi mahasiswa pada bulan Mei 1998 memanfaatkan jalan raya sebagai bagian dari arena kekuasaan, artinya terdapat pemaknaan baru mengenai kekuasaan dan aktivitas politik pada jalan raya. 

Penulis menangkap makna jalan tidak hanya sekadar bangunan fisik belaka, namun sebagai arena pertarungan dan pertukaran peran antar berbagai kepentingan. Kebijakan transportasi dirumuskan melalui serangkaian proses politik di lembaga legislatif. Negara dan pasar dalam memberikan akses dan layanan publik kerap bertukar peran, sehingga fungsi normatifnya berubah mengikuti peran yang dijalankan (hal. 40). Bagi penulis jalan raya dipandang sebagai sumber daya yang menjadi sarana kontestasi kepentingan antaraktor. Negara ingin mewujudkan kehidupan lalu lintas yang baik dan tertib, di sisi lain operator berupaya menawarkan pelayanan terprima untuk moda transportasi yang menjadi pilihan utama masyarakat. 

Problema pembangunan transportasi publik di perkotaan ditengarai karena kurangnya dukungan masyarakat terutama kecenderungan menggunakan kendaraan pribadi daripada memanfaatkan transportasi publik yang sudah ada. Hal ini menjadi salah satu indikator ketimpangan dalam sistem transportasi. Penulis menganggap bahwa ketimpangan ini disebabkan kesenjangan peranan yang tidak bisa dijalankan pemerintah dalam membuat regulasi ruang jalan untuk lalu lintas kendaraan dan ketidakmampuan pemerintah menjadi mesin penyeimbang dari peran kekuatan industri otomotif dengan kebutuhan masyarakat.  

Membangun Akses dan Mengubah Perilaku Bertransportasi
Keberadaan transportasi dalam suatu kota menjadi elemen penting dalam tata kota. Salah satu bagian dari sistem kota pintar (smart city system) adalah smart mobility (Kumar, 2017: 67-68). Kota yang baik dan masuk dalam kategori kota pintar jika mempunyai jalanan yang lancar, manajemen yang efektif pada pengaturan rambu, jalan dan trotoar, mempunyai pilihan moda transportasi yang berimbang, mempunyai sistem transportasi massal (MRT) seperti monorail, mempunyai sistem transportasi yang integratif (terminal, bandara dan stasiun yang saling terhubung). Konsep kota pintar juga bersifat demokratis, pemerintah tidak dapat memberi batasan secara semena-mena terhadap terhadap kebutuhan perpindahan individu dan masyarakat. Termasuk kebutuhan masyarakat akan kendaraan pribadi yang dirasa lebih memberikan kenyamanan dan keamanan (hal. 58). Ketika transportasi massal yang integratif terwujud dan terlaksana dengan optimal dipastikan masyarakat akan meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi untuk rutinitas sehari-sehari.

Pertumbuhan kendaraan pribadi lambat laun menimbulkan kesenjangan dalam aksesibilitas dalam transportasi yang bersifat vertikal semakin besar (hal.80). Sisi baiknya masyarakat mempunyai banyak pilihan moda transportasi, namun segmentasi pasar dan pengguna berdasarkan kelas sosial turut memperparah kesenjangan yang terjadi. Isu ketidaksepadanan turut mencuat dalam kebijakan transportasi dalam lingkup sosial budaya, ekonomi dan politik yang berakibat pada permasalahan khas perkotaan seperti kemacetan, kemiskinan dan ketimpangan sosial. Pemerintah berusaha memberikan jalan tengah dengan merancang program pembangunan BRT-Transjakarta sebagai solusi atas kesemrawutan lalu lintas kota. Kebijakan ini secara tidak langsung juga mengabaikan keberadaan angkutan umum dan kendaraan pribadi. Jalan raya yang sempit, semakin dipersempit dengan pembangunan jalur khusus busway.  

Penulis melihat bahwa pembangunan sistem transportasi berkelanjutan, seperti BRT di Jakarta diharapkan dapat memenuhi dimensi transportasi berkelanjutan sebagai salah satu elemen sistem kota pintar yang berpihak pada pemenuhan kebutuhan kelompok masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah. Pembangunan BRT dalam hal ini Transjakarta ditentukan oleh tiga faktor utama diantaranya: modal, dukungan masyarakat dan struktur ekonomi. Pertimbangan dari segmentasi pengguna otomobil yang pada perkembangannya menjadi barang mewah dan masuk ke dalam konsumsi kelas atas. Penggunaan angkutan massal menjadi pilihan logis jika dikaitkan dengan pola konsumsi dari para penglaju yang tinggal di kota besar. Relasi kontestatif dan kolaboratif sebagai bagian esensial dari buku ini terletak dari saling berkelindan dan sinergisnya antara tiga faktor dan tiga aktor. Modal finansial, dukungan masyarakat dan struktur ekonomi turut berpengaruh terhadap sepak terjang negara, pasar dan masyarakat. 

Keinginan pemerintah untuk mewujudkan transportasi massal yang terpadu dan berkelanjutan, dalam pengembangan BRT-Transjakarta menghadapi berbagai kendala. Sikap pro-kontra dari aktor transportasi dan masyarakat, benturan kepentingan antar aktor yang ditengarai disebabkan karena lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah. Elite politik yang memegang kewenangan turut larut dalam tarik ulur berbagai kepentingan. Tidak menjadi penengah justru ikut terperosok dalam kompetisi dan konstestasi antaraktor transportasi. Pemerintah dalam hal subsidi menjadi pemegang tunggal pasar, sebagai pihak yang mendominasi. 
Nggir Ra Minggir Tabrak 

Keberadaan BRT-Transjakarta merepresentasikan suatu kebijakan yang implementatif dalam mengakomodasi kepentingan aktor transportasi dan pengguna angkutan umum. Meskipun dalam hal koordinasi masih relatif kurang dan terjadi perubahan kelembagaan, namun proyek ini mengindikasikan keseriusan pemerintah dalam menata transportasi dan turut mengubah perilaku bertransportasi masyarakat. Menurut penulis implementasi BRT-Transjakarta merupakan kebijakan politis dengan tujuan mengurangi kemacetan dan delegitimasi penggunaan kendaraan pribadi (hal.104). Sikap kurang disiplin, main serobot, dan budaya tertib masyarakat mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan keberadaan BRT-Transjakarta dengan penerapan jeda waktu kedatangan dan keberangkatan mempunyai dampak pada perilaku penggunanya. 

Kritik 
Pembahasan buku ini yang lebih memfokuskan pada BRT-Transjakarta sedikit banyak meninggalkan situasi aktual dengan hadirnya transportasi berbasis online. Penulis kurang membahas keberadaan transportasi online yang sedang menjamur di kota besar. Ojek/paratransit sepeda motor (Gojek, Uber, Grab) sampai taksi online. Keberadaan moda transportasi online menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam pengaturan regulasi dan munculnya potensi konflik.  Merujuk pada kasus protes dan pemogokan angkutan umum (angkot) dan ojek di Kota Malang sejak masuknya paratransit berbasis online yang dianggap perebut penumpang.  Transportasi moda baru ini menjadi alternatif pilihan ketika keberadaan moda transportasi umum kurang bisa diandalkan. Kemacetan jalanan, kurang fleksibelnya waktu dan akses mencapai tujuan serta efisiensi waktu menjadi faktor penyebab mengapa beberapa orang memilih menggunakan transportasi berbasis online. Penulis lebih membahas bagaimana tergesernya angkutan umum dan dilema awak transportasi non BRT-Transjakarta. Padahal saat ini era internet sudah merambah angkutan umum tidak hanya era digitalisasi massal dalam bentuk e-ticketing. Namun melalui segenggam ponsel pintar masyarakat bisa memilih dengan mudah dan cepat transportasi dalam kota dalam bentuk ojek atau taksi online. Tanpa perlu mengantri tiket dan berebut tempat di halte bus BRT-Transjakarta untuk lebih dahulu masuk ke dalam bustrans.

Penulis berupaya menganalisis tentang pengembangan aksesibilitas masyarakat khususnya masyarakat perkotaan melalui sinergi yang terbentuk antara negara dan pasar. Aspek pasar penulis tujukan untuk operator penyedia dan pelaksana transportasi umum dalam hal ini pihak  swasta dan investor.  Pasar semestinya juga merujuk pada pengguna transportasi umum  dalam hal ini masyarakat selaku konsumen dan mempunyai daya tawar dalam kekuasaan ekonomi dari bawah ke atas (bottom up). Penulis lebih menekankan pada pendekatan politik ekonomi dalam interelasi negara dan pasar yang dalam penyediaan transportasi hanya bersifat sistem kontrak atau lelang proyek. Sistem pasar hanya terjadi pada awal, untuk seterusnya ada konsumen selaku pengguna harian transportasi umum.
Santuy dalam MRT (dokpri)

Secara sistematis buku ini menyajikan pokok bahasan dengan sub bahasannya yang tertata baik dan fokus. Jika dibayangkan sebagai bidang geometris setiap bagian secara kolaboratif membentuk sebuah segitiga dengan ujung  pembangunan transportasi publik cepat massal dan rekayasa sosial yang dilakukan dalam mengubah perilaku bertransportasi masyarakat. Namun disayangkan pada bagian terakhir kurang memberikan rekomendasi yang formulatif. Pembangunan transportasi umum dan rekayasa sosial yang penulis sajikan hanya terpaut pada masyarakat Jakarta. Belum tentu sesuai dengan kondisi sosial masyarakat kota lain. Era otonomi daerah tidak lagi masa Jakartasentris namun setiap daerah diberi ruang untuk menggerakan dan menggembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan karakter dan kondisi geografis, ekonomi, sosial budaya dan politik di masing-masing daerah. 
Melalui pendalaman pada fenomena pembangunan BRT-Transjakarta penulis telah memberikan suatu model untuk mempelajari interelasi negara, pasar dan masyarakat secara komprehensif. Buku ini dapat menjadi bahan acuan dalam pengembangan kehidupan masyarakat perkotaan dari perspektif transportasi tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat. Dengan transportasi yang baik diharapkan dapat berimbas pada peningkatan taraf hidup dengan memperhatikan inklusi sosial, pengembangan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan. 

Referensi: 
Kumar, Vinod. T.M dan Dahiya, Bharat. 2017. “Smart Economy in Smart Cities”, dalam Kumar, Vinod. T.M (Eds). 2017. Smart Economy in Smart Cities. International Collaborative Research: Ottawa, St. Louis, Stuttgart, Bologna, Cape Town, Nairobi, Dakar, Lagos, New Delhi, Varanasi, Vijayawada, Kozhikode, Hong Kong. Springer Nature Singapore. hal: 52-152. 

Laksono, PM. Dkk. 2000. Permainan Tafsir, Politik Makna di jalan pada Penghujung  Orde Baru , Yogyakarta: Insist-Jerat Budaya. 

Rodwin, Llyord (1981). Cities and City Planning, New York: Springer  Science and Business Media. 

Raihana, Hani. 2007. Negara Di Persimpangan Jalan Kampusku, Yogyakarta: Kanisius. 

Kota Surabaya Dalam Angka Tahun 2016 diterbitkan BPS Kota Surabaya. 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menelisik Politik Transportasi Ibukota dan Membangun Kultur Bertransportasi"

Post a Comment