Pendakian Perdana Gunung Arjuno Tahun 2001 (Cerita Tim Nekat Berempat Penakluk Tiga Puncak)

"Mari berjalan dengan setapak demi setapak karena Gusti Pengeran
dengan hati yang bertakwa ditemani reaksi organ tubuh kita untuk tawakal
pasti kita menemukan jalan untuk mencapai tujuan kita"
(Mas Drajat Gunung Lawu: 2020)  


Puncak Ogal Agul Arjuno 3.3339 mdpl (2001) 

Menceritakan pengalaman mendaki 20 tahun silam itu tidak mudah. Menelusuri ingatan secara detail untuk menemukan momen yang unik yang layak untuk diungkapkan kembali. Mendaki gunung jaman segitu diidentikan dengan anggota Pecinta Alam. Padahal belum tentu anak yang suka mendaki adalah anggota PA atau ekstrakulikuler pecinta alam. Identik berkostum hujau menggunakan scraft di leher, berbandana dan mengetahui ilmu gunung hutan secara utuh..walau itu tidak semua. Jaman dulu belum ada 'mbah' google yang bisa ditanyai apapun. Tapi dengan banyak bergaul dengan anak PA setidaknya kita dapat menambah wawasan selain jaringan lintas gunung. Baiklah kita kembali pada cerita sedikit nostalgia tentang pendakian perdana saya menuju Puncak Ogal Agil Gunung Arjuno. 


Kala itu kalender  tahun 2001. Saya lupa tanggal dan bulan pastinya, yang jelas berkaitan dengan situasi politik di era kepemimpinan Presiden Gus Dur. Selepas mendaki gunung demi gunung. Ada tantangan menarik dari teman-teman SMA N 2 Lamongan saat itu. Pendakian 3 puncak. Triple Summit: Pawitra-Weliran-Arjuno. Semangat tinggi dari jiwa para kawula muda dengan darah yang masih mendidih. Saya sendiri mengiyakan ajakan anak-anak ini karena penasaran dan ingin pengalaman menuju Puncak Arjuno. Setelah 'tertantang' melihatnya ketika muncak Welirang untuk yang pertama kali dan itulah saya baru sadar bawah mendaki itu bikin nagih. Lagi dan lagi. 

Tim belasan orang. Lintas kelas tapi masih satu SMA. Ada dua cewek yang ikut saat itu: Nisa dan Evi, kalau nama terakhir sudah tinggi jam terbangnya dalam urusan gunung, panjat dan rimba. Karena ada libur panjang pada kegiatan kakak kelas, waktu kami untuk hikking relatif panjang. Pendakian etape pertama adalah Gunung Penanggungan. Kami semua sampai di puncak dan masih punya stamina lebih untuk menuju gunung berikutnya. 

Pendakian etape kedua adalah menuju Tretes untuk berjalan bersama menuju Puncak Welirang dan Arjuno. Pada perjalanan menuju Pos Tompul (nama pos pendakian Welirang Arjuno via Tretes kala itu) ada beberapa kawan yang mulai sambat lelah. Tak ayal pada malam perdana di gunung yang mempunyai banyak jalur pendakian ini terjadi perbedaan pendapat ala Rengasdengklok. Ada yang ingin terus dan ada yang ingin pulang. Perdebatan seru di Pos 2: Kokopan. Pagi harinya tim kami mrotol di Kokopan. 

Lahirnya Tim Nekat Berempat 
"Ayo Rek..sing jek nduwe logistik lebih tak bawa yo" kata saya. Sambil melirik sebuah jam tangan karet hitam yang dikenakan salah satu kawan yang akan turun. 
"Jam tanganmu apik...aku pinjam ya...tak balikin ketika nanti sudah turun" secepat itu sebuah tangan digital melingkar di pergelangan tangan saya. 

Tas telah terisi dan logistik beberapa telah dipindah. Pagi itu hanya ada tim kecil 'nekat berempat' : saya, Teguh (yang sekarang jadi Polisi), Eko Keplek (aktivis NU di Lamongan) dan Evi Demangan (sekarang jadi Ibu Guru SD yang teladan). Teguh adalah pemuda dari kawasan Waduk Gondang Sugio Lamongan yang saya racuni untuk mendaki dan hasilnya dia ketagihan. Pengalaman kala itu adalah perdana dia menuju Weliran dan Arjuno (maafkan saya juga yang telah mengenalkan padamu rokok dan mimik jahat/miras).

Tahun 2001 adalah saat dengkul kami masih orisinal. Ibarat mesin masih super optimal. Punggungan gunung kita lalu sambil berjalan setengah lari. Walau tanpa membawa keril karena saat itu tas itu menjadi barang yang super mewah. Kami menggunakan tas daypack biasa. Tidak lupa tenda...awalnya kami bawa tenda doom, ketika tim semakin kecil ada yang merelakan tenda doom kami bawa. Sleeping bag, tidak ada., hanya mengandalkan sarung ala orang Bromo. Dengan peralatan yang minimal kita bisa secepat kilat sampai di Pos Pondokan. Ini juga menjadi pengalaman perdana saya masuk dan tidur dalam tenda doom

"Guh...awakmu gak pingin nang Welirang tah?...tak anter ke Puncak" kata saya kepada Teguh. Ia mengiyakan dan siang itu kami berjalan menuju ke Puncak Welirang dengan mengandalkan ingatan pada  jalur di pendakian sebelumnya. Begitu senang Teguh di atas Puncak Wellirang. Kami foto-foto tanpa ada acara ngopi-ngopi. Welirang menjadi gunung pertama saya yang sepulang turun langsung putus cinta di pendopo Alun-alun Kota Lamongan. Kami langsung balik agar tidak terlalu kemalaman untuk summit attack dini hari. 

Sesampai di Pos Pondokan, sudah ada Eko dan Evi yang masak sesuatu. Kami makan minum secukupnya sambil mencari tahu siapa saja rombongan yang akan menuju puncak Arjuno dini hari. Rupanya tenda sebelah adalah sekawanan rombongan pendaki senior (umur mereka lebih tua dari kami tim nekat berempat) dari Bojonegoro. Kami menggabungkan diri untuk bersama rombongan mereka menuju Puncak Ogal Agil. Selepas masak dan makan kami langsung tertidur, mendinginkan 'mesin' yang sudah melintasi Penanggungan (Tamiajeng - Puncak - Tamiajeng), Tompul-Pet Bocor-Kokopan-Pondokan - Puncak Welirang (khusus saya dan Teguh). Tentu fisik sangat terkuras dan kami tidur dengan lelap. Walau dingin menggigil, terkalahkan oleh tubuh yang super capek. 

"Hei...Lamongan ayo budhal !!!" suara lantang dari tenda sebelah. Jam tangan menunjukan pukul 00:00 WIB. Tengah wengi kita akan berangkat muncak. Dingin tentu saja, jaket seadanya dan bersarung tangan saya keluar tenda. Pendaki saat itu belum banyak mengenal jeket gunung yang keren: windbreak apalagi waterproof adalah istilah terbatas. Kami briefing sejenak, cek ricek logistik yang diperlukan. Dan kami berangkat berjalan beriringan. Kami (Evi tidak ikut bergabung summit attack dan memilih menunggu di Pos Pondokan) berada di bagian tengah rombongan, dini hari berjalan berbaris rapi mengikuti jalan setapak. Kalau sambil jalan, dingin pegunungan tidak terlalu terasa.Tapi kalau sekali berhenti...brrrrrr...wadem

Nyasar di Lembah Kidang - Alas Lali Jiwo
Beberapa jam berjalan menyusuri jalan setapak dengan rindang pohon pinus di sekitarnya, saya mulai merasakan ada hal yang tidak biasa. Dini hari berjalan beriringan tapi mirip berjalan melingkar. Sesekali saya melihat ke angkasa, aneka bintang terlihat dengan pemandangan yang luar biasa. Itu cara penghiburan diri. Karena merasa rombongan Bojonegoro lebih berpengalaman saya nurut saja dan mengikuti kemana mereka melangkah walau dalam pikiran ada sesuatu yang janggal. Serasa ada yang memberitahu kalau kita tersasar atau malah disasarin. 

"Mas dalane gak keliru tah?" kata saya pada salah satu rombongan Bojonegoro. Mereka terus melangkah dan saya merasa kami terus jalan berputar-putar. Hingga pada satu titik, setelah sekian lama berjalan, salah satu anggota rombongan sadar kalau selama itu hanya berjalan berputar-putar. Kami berkumpul pada satu tempat, seperti perempatan jalur setapak. Beberapa kawan rombongan menyatakan keputusasaan. Saya berupaya tegar (ada satu percabangan jalan setapak yang saya yakini sebagai jalan menuju ke puncak tapi tak berani ngomong) bahkan berjalan iseng menaiki sebuah batang pinus yang masih tumbang. Kami menunggu beberapa lama di area itu, sementara satu orang rombongan Bojonegoro berjalan mencari jalan keluar. 

Lembah Kidang (Sumber: Muflih Expedition)

"Lah iki dalane" kata salah satu rombongan Bojonegoro. Menunjuk satu jalan setapak yang mengarah ke dataran lebih tinggi. "Kan dalan itu sudah saya tunjukan semalam" gerutu saya dalam hati, tapi karena kalau dengan senior saya cuma mengikuti rombongan yang telah lebih berpengalaman. Setelah kembali ke 'jalan yang benar' kami antusias menuju puncak. Jalur semakin menanjak, jalan 4WD sesekali tangan dan kaki kompak berkoordinasi melewati tanjakan demi tanjakan. Ada batu besar di kanan kiri dan suhu semakin dingin. Kalau berhenti pasti menggigil. Tidak lama kemudian dari ufuk timur temaram cahaya matahari semakin nampak. Wah alamat kesiangan ini. Kami mempercepat langkah. 

Bertemu Orang Lelaku
"Tenang nak kulo nggeh menungso koyo sampean" kata seseorang yang tiba-tiba muncul dari sebuah cekungan batu. Saya sempat terkaget (tapi saat itu tidak auto misuh seperti sekarang). Ternyata sosok yang mengejutkan dalam kegelapan itu adalah seorang bapak yang sedang lelaku. Tidak menggunakan jaket gunung, hanya baju lengan panjang dan mengenakan sebuah kain jarik sebagai selimut. Kata beliau Puncak tidak jauh lagi. Saya antusias dan mencoba berjalan lebih cepat. Berlari di tanjakan..hasilnya ngos-ngosan. Matahari pagi sudah mulai terlihat dan kami masih melewati medan dengan struktur batuan dan tutupan vegetasi khas puncak. Tapi puncak masih jauh. Karena ketinggalan momen matahari terbit akhirnya kami berjalan dengan santai. Sing penting nyampe. Ada salah satu area yang seperti pemakaman umum. Ada kuburan orang-orang yang meninggal di puncak. Saya mengambil sepucuk daun dan bunga di sekitarnya seraya memanjatkan doa. Setelah itu jalur relatif landai dan ada beberapa edelweis tumbuh di beberapa sisi tebing dan jurang. 

Simak Juga: 

Akhirnya kami sampai di Puncak Ogal Agil. Puncak tertinggi dari Gunung Arjuno. Rasa lelah dan hampir putus asa setelah kesasar di Lembah Kidang telah sirna. Sujud Syukur kami haturkan. Menikmati puncak dengan duduk santai, foto-foto dan melihat pemandangan sekitar. Termasuk pemandangan Gunung Semeru yang telihat gagah di sebelah timur sana. Semoga suatu hari bisa mendaki ke sana. Selepas puas di puncak kami berjalan turun menuju Pos 3 Pondokan kembali. 

Siang itu kami tiba di Pos Pondokan. Makan dan bersiap untuk balik pulang. Tepat menjelang tengah hari kami melakukan perjalanan patas lintas pos. Pondokan  menuju Pos Tompul. Perjalanan turun yang gas pol. Beban di punggung sudah mulai berkurang, bertambah beban di dengkul yang harus menahan badan sekaligus menjaga keseimbangan. Kala itu kami memakai sandal japit. Saya sampai habis tiga pasang sandal japit baru untuk pendakian tiga puncak kali ini. Sore hari kami sudah melewati jalur antara Kokopan menuju Pet Bocor hingga menjelang petang kami mendekati sebuah pohon besar. Ada satu pengamalam yang tidak bakal terlupa petang itu. Saya ditakuti 'anu' di tengah jalur menuju Pos Pet Bocor. Ada sesosok menyerupai hewan, entah anjing atau kera besar yang jelas dia berjalan di depan saya. Masuk semak dan mencoba saya ikuti. Mata kami saling memandang, dan tak lama setelah itu makhluk itu mengeluarkan cahaya dari matanya. Merasa ada yang janggal saya segera bergegas berjalan turun. Malah setelah lari, dalam kegelapan kami mengikuti jalur makadam. Hingga seorang bapak memberi saya sebungkus nasi. Lumayan makan gratis dan setelah itu langsung masuk menuju angkutan umum, berupa colt dengan tujuan Terminal Pandaan. Dalam mobil saya masih belum bisa melupakan sorot mata bercahaya itu ....sampai tulisan ini dibuat. Sebuah pengalaman mistik yang mengajarkan kita untuk tidak kepo berlebihan dalam hutan. 

Puncak Idaman (sumber: Muflih Expedition)



Teguh Si Manusia Batu
Setelah sampai di Terminal Pandaan, kami berbelanja sejenak. Teguh membeli sebuah benda multiguna yang membuatnya makin di sayang Ibu: sebuah cobek batu. Kami mempercepat kunjungan ke Pasar sekitar itu agar tidak semakin kemalaman. Ada satu bus yang mengantar kami menuju Surabaya. Sampai di Terminal Osowilangun diatas pukul 21:30 WIB. Bus trayek barat sudah tak terlihat, terminal tampak lengang. 

"Waduh gak ono bus...ayo masang tendo nang kono gawe istirahat"  kata saya sambil menujuk sebuah tanah kosong di dekat tangga tempat pemberangkatan bus. Setelah memastikan bertanya pada petugas bahwa bus sudah habis saya bersiap membangun tenda. Tak lama setelah itu, Wuussss sebuah bus melaju dan berhenti depan kami.

"Goro - Goro..Bojonegoro.....Terakhir !!" teriak dari salah satu awak bus. Karena yakin itu bis yang bisa mengantar kami pulang. Secepat kilat, tenda kita bongkar dan berlari masuk bus. Sementara Teguh masih fokus memegang cobeknya agar tidak becah. Bahkan dalam bus menuju ke barat dia tertidur sambil memangku cobek. 

"Lamongan...Ndapur..ndapur Persiapan" suara seru yang saya dengar dari balik kesadaran yang telah terkantuk-kantuk. Spontan saya membangunkan ketiga teman dan kami langsung bersiap turun. Tengah malam kami tiba di depan Stasiun Lamongan. Pulang ke rumah tidak mungkin, karena angkutan pedesaan baru muncul di pagi hari. Akhirnya kami sepakat untuk singgah sejenak di rumah Evi. 

Sesampai di daerah Demangan, depan rumah Evi suasana tampak sepi. Karena tubuh yang telah remuk redam pasca melalui tiga puncak kami para cowok bahu membahu membangun tenda. Tenda doom berdiri di bawah pohon mangga di halaman rumah Evi. Saya langsung tidur, begitu juga Eko dan Teguh (tetap tertidur bersama cobek barunya). Pagi itu kami terbangun dan ada suara gaduh dekat tenda. Rupanya akvitas orang dari Pasar Kidul. Ada yang parkir di depan rumah Evi, entah pedagang atau bapack-bapack yang sedang mengantar istri belanja. 

"Lha iyo arek-arek iki..wis gedhe main kemah-kemahan ngarep omahe wong
(Lah iya anak-anak ini..sudah besar tapi masih bermain tenda di depan rumah orang)
 celoteh salah seorang bapak ketika saya keluar dari tenda doom. Saya cuma tersenyum nyengir. Beliau tidak tahu kalau kita habis menempuh diklat hutan rimba melintas tiga puncak. Menjelaskan juga percuma. Akhirnya pagi itu kami sarapan di rumah Evi dan berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing. Sampai rumah...tentu saja saya kena omelan orang tua yang sedari awal 'kurang' rela anak bontotnyanya menjadi pendaki gunung. Salam Lestari. 
Puncak Ogal Agil terlihat dari kantor


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendakian Perdana Gunung Arjuno Tahun 2001 (Cerita Tim Nekat Berempat Penakluk Tiga Puncak) "

Post a Comment