"Pokoknya dataran kalau diatas 600 mdpl sudah kategori gunung"
(Mak Legend 2020)
Inilah satu jenis hobi yang punya penggemar khusus: mendaki gunung. Tas besar, sepatu bergrip khusus, tenda doom, nasting, kompor lapangan dan tali prusik menjadi item khas para penyuka rimba raya. Pokoknya barang serba gunung dan aktivitas luar rumah. Dulu masih rimba banyak macan, sekarang cukup sebutan hutan lindung bahkan hutan kebun saja. Sejak 2001 saat duduk di kelas II SMA saya teracuni hobi yang membuat kaki dan dengkul pegal tapi tak kapok nanjak lagi ini. Saat itu gunung pertama yang saya dari adalah Gunung Welirang via jalur Tretes.
Simak juga: Pendakian Perdana Gunung Welirang 2001
Setelah itu semakin larut gunung dan rimba. naik Gunung Penanggungan hampir setiap minggu. Gunung Arjuno hingga Gunung Argopuro pada 2008. Semua bikin nagih dan ingin kembali lagi.
Pendaki Kartunal |
Kini entah daya beli remaja yang meningkat atau alat pendakian yang kian beragam. Semua bisa jadi pendaki gunung atau minimal berkemah di akhir pekan di hutan. Menelisik Pendaki Gunung Awal 2000-an. Gunung sempat 'sepi' dari para pendaki dan mulai ramai lagi sejak ada film 5 cm. Film kaya anak bangsa yang disatu sisi mengenalkan persahatan para pendaki. Di sisi lain membuat naik gunung menjadi kebiasaan baru seiring berkembangnya media sosial dunia digital. Demi konten dan postingan yang penting naik gunung. Esensi naik gunung sendiri mengalami pergeseran. Dari olahraga mencari jati diri menjadi olahdiri untuk lebih eksis dalam dunia maya. Itu pendapat saya pribadi. Pokoknya naik gunung itu mengasyikan dan dapat membuat diri lebih bisa beradaptasi dengan segala keadaan. Apalagi sekarang ada fenomena Tektok. Pendakian gunung yang langsung pulang pergi sesampai puncak.
Berikut beberapa pengalaman seru saya selama naik gunung:
1. Jadi Ayam dan eksperimen arus listrik alam
"Uwis isuk....Wis Isuk"
Teriakan lantang disertai kepakan sayap seperti ayam berkokok. Ini sering saya lakukan ketika membangunkan teman satu tenda bahkan satu camp ketika pagi menjelang.Tujuannya supaya memberi tanda kalau hari sudah pagi dan mengalihkan dinginnya hawa pegunungan yang menusuk tulang. Dingin, pagi dan embun menjadi kenangan yang tidak bisa terlupakan. Kadang terasa tidak nyaman tapi memberikan kenikmatan tersendiri apalagi yang tinggal di lingkungan dengan iklim yang panas.
Pada pendakian perdana tahun 2001 menjadi pendakian ternekad saya demi melihat secara langsung puncak.
" Saya nekad ke puncak. Dalam perjalanan hujan deras turun. Wow seram, tapi yang penting puncak.. Hujan pun bertambah deras dan anak-anak bersembunyi di gua kecil sebelum kita berfoto ria. Derita membawa kebahagiaan saat puncak sudah ada di depan mata, saya jalan super cepat mendahului yang lain. Maut nyaris menjemput saat jalan kepuncak hujan-hujan, tak sengaja batu yang kuinjak licin hingga nyaris saya jatuh kejurang yang ada di sebelah kiri…slamet-slamet!
Sesampainya di puncak dengan kedatangan lebih dahulu daripada teman-teman, saya sampai kaget banget baru melihat puncak gunung untuk yang pertama kali. Ternyata puncak gunung jika dilihat dari dekat, menyerupai jalan kapur (pedelan) depan dusunku. Hujan bertambah deras dan petir bersahutan di puncak. Serem juga. Pengalaman paling mengesankan adalah waktu petir menyambar, beberapa saat kemudian rambut anak-anak yang tanpa penutup ikut njeprak seperti Dragon Ball. Karena di puncak yang paling rendah kami ingin ke puncak Welirang tertinggi meskipun hujan dan angin. Maju terus merdeka (Roikan, 2001)"
2. Penghayatan Gembel Gunung
Outfil pendaki amatiran saat itu: celana training olah raga bawahan seragam sekolah. senter panjang dengan baterai sak gaban, radio senter, nasting kalau tidak ada ya bawa salah satu rantang emak, wajan kecil, spiritus, tisu, potongan kaleng, mie, sarden (sesekali), tas tentara kala pendidikan dan sandal japit dua biji (satu buat naik dan satu buat turun).
Pada masa itu pendakian kurang memperhatikan standar keselamatan masuk rimba dan nanjak ke puncak. Peralatan seadanya yang penting berangkat. Hingga julukan gembel gunung menjadi stigma yang umum untuk para pendaki asal nanjak. Celana jeans, tenda sarmuka, sandal japit, tas apa adanya, tas plastik sampah sebagai sleeping bag dan kompor menggunakan potongan kaleng. Pokok masa itu masa rekoso bagi para pendaki. Harga peralatan outdoor tidak terjangkau bagi kami. Berbeda dengan hari ini banyak pilihan merk dengan ragam rupa dan harga.
3. Pendakian Tiap Minggu dan Nazar Bersih Puncak
Ingin jadi tentara sebenarnya bukan cita-cita dasar saya. Entah kenapa terinspirasi ada salah satu anggota keluarga besar yang jadi serdadu laut akhirnya ada keinginan untuk menjadi tentara. Karena obsesi itu naik gunung Penanggungan menjadi menu hampir tiap minggu. Latihan fisik mutlak diperlukan untuk masuk pendidikan militer. Naik gunung menjadi satu pelatihan untuk meningkatkan ketahanan fisik dan ketabahan mental. Naik pundak Pawitra lewat jalur Tamiajeng hampir saya lakukan seminggu sekali. Setiap sabtu siang naik bus dari pangkalan Lamongan Indah. Berlanjut ke Pandaan dan menaiki colt menuju Balai Desa Tamiajeng Trawas. Makan rawon di Mak Ti dan mengisi segala logistik dari toko sekaligus warung itu. Dulu jika menuju Pawitra jalan kaki dari depan Balai Desa Tamiajeng. Langsung menuju puncak bayangan. 3-4 jam berjalan santai. Sesampai puncak bayangan istirahat dan pukul 03:00 dini hari melakukan perjalanan menuju puncak. Dari puncak istirahat langsung balik menuju desa dan balik kampung.
Pernah ketika SMA saya pernah punya janji. Jika bisa menduduki rangking 5 besar pada saat penerimaan raport maka akan naik gunung untuk bersih gunung sendiri di puncak Penanggungan. Ternyata saat penerima buku rapot nilai saya masuk dalam jajaran rangking 5 besar. Akhirnya pelaksanaan nadzar harus dilakukan. Awalnya akan berangkat sendiri. Ada dua orag kawan yang tidak tega dan akhirnya turut serta. Mengantar sampai puncak bayangan. Setelah itu di siang hari saya berjalan sendiri menuju puncak. Memungut sampah yang terlihat sampai berkeliling sekitaran puncak Pawitra memungut sampah ke dalam kresek merah besar. Sampai mengantongi 4 kantong lebih dan perlu menggunakan pikulan kayu sampai turun di bawah. Percaya tidak percaya. Saat proses pemungutan sampah dari puncak bayangan-puncak-kawah-puncak bayangan lagi ada sebuah awan yang menaungi saya selama berakitvitas. Seperti awan kinton. Sehingga siang itu saya tidak merasa panas. Mungkin karena niat baik semesta akhirnya mendukung.
4. Jatuh Bangun
Namanya naik gunung pasti jalan nanjak. Jalur landai hanya bonus. Jika tidak hati-hati bisa jatuh. Saya pernah jatuh njungkel berdarah-darah di atas basecamp Gunung Penanggungan. Pertengahan antara Puncak Pawitra dengan Puncak Bayangan. Itu pendakian masa SMA. Kebetulan saat itu menjadi momen pendakian perdana bagi sohib Teguh di Polisi Bombay. Tak ingin pendakian perdananya penuh memori piluh walau telah jatuh dengan luka berdarah dengkul dan siku saya tetap berusaha strong. Agar Teguh tidak kuatir dan trauma. Bahkan saya sempat joget sepanjang jalan. Hingga bertemu dengan sesama pendaki dan diberi obat merah warna hijau. Perihnya minta ampun sampai diberi pil pereda rasa sakit. Sesampai di basecamp puncak bayangan saya jadi pasien beberapa anak PMR yang kebetulan sedang ada kegiatan luar kelas.
Pada tahun 2006 ketika pendakian ke Gunung Argopuro menjadi porter dan ndelosor di turunan atas Cisentor. Bersama Mboys, Reza, Cimenk dan Donni kami berjalan malam dari Cikasur dengan tujuan Cisentor. Pada daratan menuju sungai tanah yang saya injak jebol dan saya jatuh fatal dengan tas berat di punggung. Beruntung salah satu pegangan tas saya lepas dan beban di tas bisa menjadi alat pengerem yang jitu. Tengah malam itu saya langsung shock. Bahkan ketika melewati sungai dengan kondisi kejiwaan yang tergoncang langsung berjalan dalam sungai tanpa melewati 'jembatan' batu yang disusun.
Lembah Cisentor (2006)
Simak juga: Ekspedisi Gunung Argopuro Sigung Bye-Bye!!
Lain lagi dengan pendakian di Gunung Argopuro pada tahun 2008. Teman satu tim Danang yang jatuh dua kali ke lubang air yang selalu terkenang. Bayangkan bukan hanya sekali tapi dua kali jatuh di lubang alami saluran air. Dengan muka tertelungkup. Antara kaget, kasihan dan lucu.
Danang Nyungsep (2008)
"Ketika sampai di sebuah persimpangan, aku memilih jalur kompas yang berada di sebelah kiri sementara yang lain mengambil jalan yang sebelah kanan. Begitu sampai pada titik pertemuan jalan tersebut, tiba-tiba Mboys berteriak menyuruh kami naik kembali. Usut punya usut ternyata Danang jatuh terpelanting mengenaskan dengan kepala di bawah dan salah satu tangan masuk ke dalam saluran air. Aku tak kuasa menahan tawa begitu juga Arif. Sementara Mboys yang berdiri tepat di belakangnya bukannya bergegas menolong, namun segera mengambil kamera untuk mengabadikan momen yang cukup menggelikan saat itu. Perutku sampai sakit karena tidak sanggup menahan tawa akibat ulah Danang yang menggemaskan. Kami istirahat sejenak di tempat itu untuk olah TKP, sementara aku dan Arif tak kuasa untuk melihat muka Danang, begitu melirik mukanya saja langsung ingin tertawa lepas. Peristiwa jatuhnya Danang terulang untuk yang kedua kalinya dengan lokasi yang berbeda. Kalau kejatuhan Danang yang pertama karena terpeleset, sedangkan untuk kecelakaan yang kedua diakibatkan karena ia menginjak akar kecil dan akar tersebut tiba-tiba putus sehingga ia terpelanting. Mboys mencari akar yang telah membuat Danang celaka, setelah menemukan akar tersebut Mboys langsung berkata ”nakal banget sih!” (Sumber: Catatan ekspedisi Gunung Argopuro 2008)
5. Pengalaman Tersesat Sesaat
Namanya juga gunung. Ada hutan belantara ataupun savana yang indah. Pernah ketika berkemah di puncak bayangan sempat tersesat sesaat. Sore surup saat itu saya mencari kayu untuk api unggun. Tiba-tiba seperti kehilangan orientasi arah. Kekanan ada tebing kekiri jurang. Setelah itu agak panik apalagi hari sudah mulai gelap. Berusaha tenang hingga akhirnya saya menemukan jalan setapak dan diselamatkan oleh bungkus permen. Oiya..bungkus permen menjadi penanda bahwa daerah itu pernah dilewati oleh pendaki. Akhirnya bisa kembali ke tenda dengan pura-pura tidak ada apa-apa. Padahal panik masih tersisa.
Stiker di warung Mak Ti Tamiajeng |
Pendakian pada tahun 2001 kami pernah tersesat setengah malam di Lali Jiwo. Hutan di lembah menuju puncak Arjuno. Karena pendakian perdana, saya ikut saja dengan pemimpin kelompok yang saya anggap lebih senior dan berpengalaman. Berangkat pukul 00:00 WIB kami berharap bisa sampai di Puncak Arjuno dengan menikmati momen matahari terbit. Ternyata sesampai di Lembah Kidang dan Alas Lali Jiwo kita kehilangan jalan. Muter-muter tidak jelas sampai membuat beberapa pendaki yang ikut serta mentalnya jatuh. Menjelang pagi baru jalur yang seharusnya terlihat. Aneh tapi nyata seingat saya semalaman kita melewati sekitaran jalur itu. Namanya juga lali jiwa, melupakan jiwa dan melenakan arah.
6. Bertemu penampakan di Pet Bocor Gunung Welirang
Tahun 2001 bersama teman-teman SMA yang nekat kami naik gunung triple. Gunung Penanggungan- Welirang dan Arjuno. Dari satu tim tersisa hanya empat orang. Kami berpisah di Pos Kokopan. Tinggal empat orang yang lanjut menuju Welirang dan Arjuno. Aku, Teguh, Eko dan Evi. Setelah muncak di Arjuno kami memutuskan untuk langsung pulang. Pulang trip tiga gunung langsung patas karena menjelang UAS sekolah. Berjalan cepat dari Pondokan sampai Pos Tompul. Menjelang petang saya di daerah antara Kokopan dengan Pet Bocor saya sudah merasakan hal yang tidak wajar. Ada yang mengawasi dan mengikuti dari rimbunnya hutan di kanan kiri jalur. Hingga beberapa meter menjelang basecamp sekitaran pohon besar. Saya bertemu 'sesuatu' di dekat pet bocor. Bentuknya seperti anjing. Tapi berbulu seperti kera. Karena malam itu saya tidak menggunakan lampu senter hanya mengandalkan penglihatan menapak di bawah mengikuti warna putih samar dari makadam. Ada jalur kecil. Makhluk itu bergerak berbelok. Saya kira hewan. Sambil setengah lari saya ikuti hingga dia masuk menuju jalur kompasan anak pendaki anti mainstream. Tiba-tiba makhluk itu berpaling menyeringai dan matanya mulai menyala. Selera humor saya mendadak hilang. Langsung saya jalan cepat menuju Pos Tompul tak peduli kesandung. Sampai mendahului jalan cepatnya penambang belerang dan penjual nasi bungkus yang malam itu turut turun. Sampai di perjalanan pulang sosok itu masih membayang dengan mata menyalanya. Ini bukan Cyclops-X men tapi asli 'penghuni' area atas Pet Bocor.
7. Solo Hiking
Selain fenomena tektok ada juga hal yang sebenarnya tidak baru yaitu naik gunung seorang diri. Solo Hiking. Sebutan untuk pendaki yang berusaha menikmati kesendirian dan sebatang kara dalam rimba. Teringat jaman masih gondrong dan rindu naik gunung pada tahun 2005. Sepulang kuliah lapangan Antrop Industri di daerah Cangkring Malang Beji saya nekat berangkat naik Penanggungan sendiri dengan tas berisi barang-barang yang akademis sekali. Bukan nasting, sleeping bag dan kawanannya. Saya hanya membawa tas berisi buku, laporan kuliah lapangan, almamater dan sepatu. Mendaki tanpa rencana dan spontan setelah sekilas melihat Puncak Pawitra. Bahkan alat penerangan saya tidak bawa. Sepanjang jalan dari Tamiajeng sampai Puncak saya nyeker alias tanpa alas kaki. Napak tilas perjalanan migrasi manusia purba masa lampau. Beruntung di tengah hutan saya bertemu dengan serombongan pendaki yang benar-benar penghayat gembel gunung. Tidak mematuhi atau bahkan tidak mengerti prosedur keselamatan pendaki gunung. Senter kecil mereka bawa tapi di tengah malam baterai habis dan kami menggunakan lilin dengan gelas kemasan air mineral sebagai penghalang angin. Mirip penjual kacang di pasar malam.
Mimpi solo hiking di jalur ngalas Argopuro (2006)
8. Momen kehabisan air
Jangan pernah meremehkan persediaan air dan logistik lainnya. Meskipun anda seorang petualang yang paham ilmu survival. Yang namanya di alam liar segalanya perlu dipersiapkan. Banyak hal yang tidak terduga. Pengalaman kehabisan air terjadi pada pendakian Gunung Argopuro tahun 2006 antara Desa Baderan dengan mata air I. Masa itu belum ada ojek seperti hari ini. Tim kecil kami yang terdiri dari saya, Reza, Doni Mboys dan Doni Pilot setelah berjalan dari Pos Perhutani Baderan masuk hutan sampai beberapa jam sebelum pos mata air I. Panas terik melintasi jalur naik turun hingga terus minum air. Tak terasa di tengah perjalanan kami kehabisan air. Tanpa sisa satu tetes pun. Suasana cukup mencekam dalam dahaga yang kelam. Untung Reza punya inisiatif untuk mencari air. Segera dia berlari tanpa tas menuju atas. Kami menunggu dengan penuh harap. Akhirnya dia datang membawa air yang dia ambil dari pos mata air I.
Nyaris Dehidrasi Sehari (Baderan 2006)
Itulah beberapa pengalaman yang selalu terkenang di balik peristiwa seru saat menembus rimba. Jalan nanjak dan merasakan sensasi kapok lombok. Bagi yang ingin naik gunung..hati-hati dijamin nagih. Persiapkan fisik dan mental dengan baik - dan logistik yang memadai tentunya-. Salam lestari.
0 Response to "8 Pengalaman Seru Saat Mendaki Gunung: Dari Mistik sampai Lucu Menggelitik"
Post a Comment