Budaya Kerja 4.0 antara Inisiatif Branding dan Hak Bersuara Buruh di Era Digital

 “Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota..Bersatu padu rebut demokrasi..Gegap gempita dalam satu suara..Demi tugas suci yang mulia...Hari-hari esok adalah milik kita...Terbebasnya massa rakyat pekerja..Terciptanya tatanan masyarakat..Demokrasi sepenuhnya”

Itulah sepotong lagu berjudul Lagu Pembebasan karya Safi’i Kemamang yang diajarkan dan dinyanyikan saat OSPEK di FISIP Universitas Airlangga. Pertama kali saya memulai hidup di Kota Surabaya setelah lolos ujian SPMB. Bagi saya  lagu perjuangan tersebut untuk mahasiswa baru agar kenal bagaimana kerasnya kehidupan. Terutama hidup di kota besar. Orde Baru telah tumbang dan tantangan kehidupan makin beragam. Iklim investasi yang semakin cerah dan deras membawa konsekuensi membutuhkan sumber daya manusia yang handal dan profesional.

Pawel K's Artwork


Semua bekerja keras agar tetap hidup. Berangkat pagi pulang malam, ada juga yang berangkat malam pulang pagi. Malah ada yang tidak pulang-pulang sampai tiga kali puasa dan tiga kali lebaran. Lingkungan yang berbeda dengan selama saya menghabiskan masa kecil hingga remaja di desa. Semua berjalan harmonis mengikuti ritme alam, kapan panen dan kapan tanam. Anggapan polos saya bahwa kehidupan subsisten masyarakat desa karena semua digaji oleh alam dengan bendahara yang Maha Kuasa. 

Berbicara tentang kerja dan budaya kerja di tanah air. Ada pandangan kerja berseragam dan abdi negara itu impian. Bekerja di BUMN menjadi sandaran hidup yang sangat menjamin. Ada yang menganggap ikut perusahaan asing itu penting karena bakal banyak duit. Tentu saja semua adalah pilihan dan jalan hidup masing-masing individu. Menjadi buruh/karyawan atau menjadi pengusaha? Tidak sedikit yang mempunyai impian bekerja mandiri. Tanpa ada yang mencampuri tapi sarat akan resiko dan ketidakpastian. Kebanyakan di masyarakat mengganggap kerja adalah seperti dalam iklan di televisi, berkemeja mengenakan dasi berangkat pagi dan pulang sore hari. Itu potret karyawan ideal di negara kita. Ngantor selama 8 jam. Gaji dan tunjangan lain lancar setiap bulan. 

Menjadi buruh atau karyawan dianggap paling aman dan sebagai hasil dari jerih payah meraih selembar ijazah. Globalisasi ekonomi membawa pengaruh pada perubahan teknologi dan memunculkan spesialisasi pekerjaan. Buruh di sebuah perusahaan terbagi dua golongan yaitu pekerja kerah biru (unskliled) dan pekerja kerah putih (skilled). Dapat dikatakan ada dikotomi antara buruh kasar yang mempunyai kemampuan terbatas dengan kelas profesional (buruh terampil) yang  dianggap mempunyai kemampuan lebih. Tentu saja jaminan dan fasilitas yang didapatkan berbeda. Perlakuan istimewa ada pada buruh kelas profesional. Secara prosentase untuk sukses di sebuah perusahan terbagi atas perbandingan 85:15. Penentu keberhasilan terdiri dari softskill dan leadership sebesar 85 persen, sedang hardskill-nya hanya 15 persen. 

Lantas bagaimana dengan buruh non skill? ‘Massa rakyat pekerja’ belum sepenuhnya terbebas dari marginalisasi. Impian untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di sebuah perusahaan kerap terganjal oleh praktik dan kebijakan yang justru menyengsarakan. Ditambah dengan kehadiran sistem outsourching yang menjadikan ketimpangan makin terasa.
Semua adalah konsekuensi dari era industri model baru. Globalisasi membawa perubahan di berbagai sektor kehidupan termasuk cara pandang pada hakekat kemanusiaan. Tidak melulu menggunakan hukum ekonomi untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan usaha sekecil-kecilnya. Tapi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya jika perlu ada yang dikorbankan sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu setiap buruh perlu meningkatkan kemampuan dan kapasitas dalam dirinya. Salah satunya dengan kemampuan dalam penggunaan teknologi mutakhir, sistem informasi dan komunikasi.

Era Revolusi Industri 4.0 mengubah wajah sistem kerja dan budaya kerja di berbagai penjuru dunia. Profesionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi berbasis sistem informasi mutlak diperlukan. Efektivitas dan efisiensi menjadi hal yang mutlak. Rapat perusahaan bisa dilakukan secara virtual, komunikasi antara buruh dengan perusahaan terjalin melalui grup di media sosial maupun media komunikasi lainnya. Oleh sebab itu perusahaan tidak lagi menerapkan sistem birokrasi yang berbelit. Semua cepat terpantau secara aktual karena peralihan dari paper based ke digital based. 

Hari ini jarang kita temui orang pada usia produktif yang tidak memiliki gawai (smartphone) dan mayoritas menggunakan media sosial. Kehidupan berbasis digital seperti ini selayaknya diberdayakan oleh perusahaan. Buruh dengan media gawainya seharusnya bisa bekerja sama dan memiliki inisiatif untuk memajukan perusahaan. Perusahaan perlu mengembangkan langkah pengembangan modal sosial memanfaatkan digital based dalam relasi antara individu dengan institusi. Modal sosial fokus pada jaringan dan kepercayaan secara menyeluruh. Semuanya membutuhkan kekuatan relasi yang sinergis dan pengelolahan sumberdaya yang ada. 

Jika sebelumnya untuk membangun reputasi di mata konsumen, perusahaan mengeluarkan dana banyak untuk biaya iklan agar produk atau jasa mudah dikenal sebagai proses pelekatan identitas. Hari ini bisa melalui strategi branding berbasis digital. Branding merupakan upaya menciptakan kesan dalam pikiran atau imajinasi masyarakat umum. Upaya ini dilakukan secara konsiten dan berkesinambungan. Itulah perlunya inisiatif branding. Branding harus dijiwai oleh segenap lapisan karyawan. 

Era digital dengan gawai sebagai fasilitas untuk media komunikasi dan berbagi diharapkan buruh memiliki inisiatif sendiri bagaimana bisa memajukan perusahaan. Buruh tidak hanya bisa menggunakan WA, Instagram, atau media sosial lainnya. Tetapi buruh dituntut untuk menggunakan media sosial untuk memajukan perusahaan. Hal dapat menjadi salah satu indikator loyalitas buruh pada perusahaan. 

Hak bersuara dari buruh juga tetap menjadi perhatian dari perusahaan. Penggunaan kotak aspirasi, layanan pengaduan internal karyawan, konsultasi dan pendampingan menjadi prioritas upaya perusahaan memperhatikan suara buruh. Pengoptimalan serikat pekerja yang netral dan aspiratif menjadi agenda yang harus dibenahi. Pentingnya pengadaan forum buruh yang memfasilitasi kepentingan antara buruh dengan perusahaan. Suara buruh harus diperhatikan, bukan dibungkam. 

Hak bersuara bagi buruh melalui penggunaan forum sebagai  ‘ruang publik’ yang menekankan kebebasan setiap buruh untuk bergabung dan berbicara. Hal ini dapat menjadi upaya mengakomodir kepentingan, aspirasi dan peredaman konflik internal perusahaan. Perusahaan tidak hanya membuka layanan kotak suara untuk konsumen tapi perlu membuka diri dengan pengadaan kotak suara untuk kepentingan buruh. Jika hal ini dilakukan dengan etiket baik dan berbasis kemanusiaan akan terjadi ruang dialog yang partisipatif. Produktifitas tetap terjaga, loyalitas tetap terpelihara. []

*Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi Esai Kejar Mimpi Surabaya (@kejarmimpi.id)




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Budaya Kerja 4.0 antara Inisiatif Branding dan Hak Bersuara Buruh di Era Digital"

Post a Comment