Sudah Baca? (Cerpen Partisipasi Cipta Cerpen Dies Natalis Unair 2018)


Selepas mendarat di Bandara Juanda, secara perlahan Arya berjalan mengikuti penumpang lain menuju pintu keluar. Sembari memerika tas kecilnya. Ada beberapa buku yang harus dia baca sebagai target mingguannya. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal ia mengirim pesan pendek melalui ponsel pintarnya. Siang itu dalam panasnya cuaca yang dirasakan berbeda pada saat Arya awal datang ke Surabaya, ia merasakan suasana yang berbeda dibanding era awal tahun 2000-an. 

“Mau kemana Pak?” tanya sopir taksi bandara dengan ramah

“UNAIR kampus B” Jawab Arya spontan, lalu ia masuk taksi dan menata badan secara leluasa sembari melepas lelah. Taksi melaju keluar bandara. Matahari semakin membumbung di ubun-ubun, beruntung pendingin di dalam taksi bisa menghindarkan dari panas yang menyengat.

“Pak kalau boleh lewat dalam kota saja ya, tidak usah lewat tol” pinta Arya kepada sopir taksi. Ia ingin menelusuri jalanan dalam kota, melihat apa yang berubah dan membandingkan tingkat kemacetannya dengan awal ia datang di Surabaya 18 tahun silam. Kampus dan almamater menjadi sebuah tempat yang selalu dirindukan. Andai waktu bisa diputar,  Ia ingin mengembalikan semua kenangan tentang masa berjuang dan belajar.

Taksi melintas daerah Rungkut, Arya melihat berjajar warung kopi. Warkop giras, sebagai tempat cangkrukannya dulu. Karena di tempat kerjanya sekarang warung kopi telah berubah mengikuti perkembangan jaman. Kurang ada keakraban seperti warung kopi Haji Somad yang setiap pagi selalu ramai dengan cengkrama khas para karyawan yang akan masuk kantor. Ia berpikir kemanakah semua keakraban itu?. Renungan tajam mempertanyakan ada apa dengan perubahan jaman.

Pandangan kosong penjaga warung, televisi dengan pengeras suara yang meraung hanya sebagai pelengkap. Pengunjung sibuk dengan ponsel pintarnya masing-masing. Semua tertunduk, bukan karena kesedihan yang kontemplatif. Fokus yang keliru. Mata tidak lepas dari layar masing-masing. Tidak ada satupun dalam warkop sepanjang Rungkut sampai Ngagel yang Arya amati pengunjungnya membaca buku. Semua sibuk tertunduk.

“Sudah baca?”. Kala itu sebuah pertanyaan pembuka setiap masuk kelas mata kuliah Metode Penelitian.  Kelas ini diajar oleh seorang Guru Besar yang tidak hanya paham teori tapi seorang praktisi. Buku apapun tentang penelitian beliau paham. Pernah sekali Arya telat masuk kelas dan mendapat pertanyaan yang sama “Sudah baca?”. Ia memang telah membaca bahan perkuliahan tapi kurang pendalaman. Argumennya dipatahkan begitu saja oleh Sang Guru Besar dan Ia harus keluar kelas selama beberapa menit untuk membaca bahan diluar kelas. Setelah dirasa paham Ia masuk kelas kembali dan harus menceritakan apa yang telah dibaca. Tentunya melalui diskusi yang menegangkan. Proses ini ditakutkan oleh kebanyakan mahasiswa dan dirindukan oleh sebagian mahasiswa. Dosen killer, dosen sentimen kata khalayak. Killer tapi membangun secara ilmiah bagi seorang Arya.

Arya termasuk mahasiswa yang kurang nyaman meluangkan waktunya hanya duduk tidak jelas selepas kuliah. Ia bergegas mencari kesibukan lain. Ada banyak kotak ambisi yang perlu diisi. Rajin ikut kegiatan luar kelas. Baca buku sambil menikmati segelas kopi menjadi kebiasaannya. Kopi baginya adalah sumber inspirasi dan buku menjadi sumber bermain. Sejak kecil Ia suka membaca apapun yang berhuruf. Saat makan nasi bungkus, Ia mengunyah sambil membaca secuil berita dalam koran yang menjadi pembungkusnya.

Kala itu aktivitas mahasiswa tidak hanya dalam perkuliahan dan kegiatan ekstra kampus belaka. Hampir di setiap lorong kampus ada sepasang atau sekelompok mahasiswa yang cangkruk sembari diskusi. Apapun dibahas dari perkuliahan, gosip kampus, dosen, kebijakan kampus, politik, pergerakan sampai cerita mistis di sekitar kampus. Apapun bahasan cangkrukan berujung pada konsep dan analisis keilmuan yang sedang ditekuni. Kawasan trotoar kampus menjadi ajang diskusi ala warung kopi yang buka sejak sore sampai menjelang subuh. Dari Timur membentang sampai barat dan belok ke selatan menjadi tempat menghabiskan malam dengan cangkruk, ngopi dan diskusi.

Ujung pagar timur menjadi tempat diskusi para sastrawan kampus dan aktivis teater. Diskusi ringan hanya bersandar pada pagar besi dengan lalu lalang orang, angkot dan kendaraan yang seakan tiada habisnya. Ada warung kopi sekaligus nasi yang menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa lapangan yang suka penelitian dan kadang nyambi ikut proyekan. Pembicaraan mereka seputar data, perijinan sampai hal-hal tidak biasa ketika turun lapangan. Dekat halte yang tidak jauh dari Masjid kampus, ada warung kopi yang didominasi oleh mahasiswa yang tergabung dalam ormeg tertentu. Semua warung mempunyai segmentasi pembeli sendiri-sendiri dan saling menghargai apapun perbedaan ideologi peminum kopinya.

Kala itu pula dalam sekelompok mahasiswa itu yang dikenal sebagai kutu buku. Mahasiswa yang menghabiskan hampir sebagian waktunya dengan membaca. Membaca sampai mati. Mungkin itu prinsipnya. Sebagai mahasiswa tingkat awal yang baru diproses dari ospek jurusan, Arya tentunya berupaya bersosialisasi dengan para senior. Tidak hanya secara sosial tapi secara akademik.  Ia menyimak dengan seksama apa yang didiskusikan. Jika menyentil pada konsep yang tidak didapat di kelas dan buku tertentu, artinya perjuangan akan dimulai. Selesai kelas biasanya ia menuju perpustakaan untuk mencari buku yang dibicarakan, kadang sesekali mencatat konsep-konsep yang asing baginya.

Kala itu pula ada kakak tingkat Arya yang setiap kali bertemu tidak pernah bertanya kabar. “Seminggu ini baca buku apa le?” pertanyaan sederhana yang baginya bisa berakhir runyam. Jika ia menjawab buku tertentu secara sigap akan ditanggapi dengan diskusi yang panjang. Ajaibnya kakak tingkatnya seperti buku dan laci katalog perpustakaan berjalan. Paham betul hampir semua buku yang sedang atau telah Ia baca.

Reformasi 1998 membawa angin segar bagi dunia literasi. Kebebasan membaca dan menulis menjadi aliran sungai aksara baru yang lebih terbuka.  Semua berhak berfantasi dalam kata dan bait tanpa harus takut. Tidak ada bayangan dan pedoman santiaji. Penghangusan buku-buku yang tidak sesuai dengan rezim sudah tidak ada. Tapi ada perbedaan besar. Saat kecil Arya melihat sendiri bagaimana orang berjubel di depan kios majalah. Ada yang antre membeli. Ada juga yang hanya sekadar membuka lembar demi lembar sambil membaca gratisan secara cepat. Kios Didik Magazine dan Cak To menjadi muara uang receh tabungan jajan untuk ditukar dengan majalah dan buku bekas. Kini kios majalah nampak lesu dengan tumpukan majalah di dalamnya dengan wajah pasrah penjaga kiosnya. Tidak sedikit yang berubah menjadi kios rokok dan pulsa.

Memasuki gerbang kampus B taksi berlahan memasuki kawasan kampus yang turut andil dalam perjuangan reformasi 98. Dua aktivis dari fakultas orange menjadi korban penghilangan paksa oleh rezim kala itu yang tidak suka dengan mahasiswa dengan literasi yang dianggap sebagai bahasa perlawanan. “Turun depan sana Pak ya” pinta Arya kepada sopir taksi. Ia turun di sebelah timur FISIP. Ia berjalan sejenak dan duduk termangu di atas tandon sastra. Tandon ini dulu menjadi salah satu proses kreatifnya. Panggung bersama untuk berbagai ekspresi. Bazar, lapak jualan mahasiswa mencari tambahan dana, sampai pagelaran kesenian. Bersama kelompok teaternya Arya pernah tampil membaca puisi Wiji Thukul di sini. Berteriak lantang dengan penjiwaan ia membacakan sajak Di Bawah selimut kedamaian palsu.

‘apa gunanya ilmu

kalau hanya untuk mengibul

apa guna baca buku

kalau mulut kau bungkam melulu’

Itulah sedikit potongan puisi yang kala itu itu dibacakannya berdiri lantang dalam keramaian. Ngamen puisi menjadi jadwal tetap kelompok teaternya setiap hari rabu atau pada momen tertentu.

“Hei Yak...sudah lama?” konsentrasi Arya pada ingatan lebih dari satu dasawarsanya buyar oleh sapaan dari sosok yang menghampirinya. “Sekitar 10 menit Nur..apa kabar?” balasnya sembari mereka bersalaman. Pertemuan dua sahabat nan syahdu. Dialah Nur Cahyo teman seangkatan dan seperjuangan Arya yang menjadi salah satu aktivis literasi. Mereka berdua kerap berdebat dan bertengkar dalam diskusi seputar buku. Nur Cahyo lebih rakus lagi melahap buku dibandingkan dengan dirinya. Cita-cita awalnya ingin menjadi mantri, tapi terganjal ilmu alam yang kurang dikuasai ia lantas berambisi menjadi menteri. Semua buku lintas ilmu dan minat ia baca dengan cermat.

“Acaranya jadi toh?” tanya Arya kepada Nur Cahyo. “Jadi, mari kita makan dulu di kantin tentunya kamu lapar, habis perjalanan jauh”.

“Penerbangan Nur, kalau perjalanan mungkin jam segini masih di jalan”

“Oiya, karepmu lah. Awakmu tidak berubah Yak. Setiap ucapanku pasti kamu sanggah dari diksi, konsep, fakta sampai kajian ilmiah. Kalah sidang skripsi”

Mereka berjalan menelusuri trotoar depan fakultas menuju kantin. Arya terdiam melihat situasi di sekitarnya. Ada yang berubah. Ia melihat sekelompok mahasiswa duduk pada meja dengan kursi dari semen. Masing-masing sibuk pada laptop dan ponsel pintarnya.

“Kenapa Yak bengong?”

“Tidak di warung kopi tidak di kampus ternyata sama Nur, semua tertunduk”

“Wis tekan jamane bro, perubahan cepat dan tidak bisa dihindarkan. Jangan terlalu berharap melihat pemandangan yang sama seperti kita jaman dahulu. Masing-masing sibuk dengan buku. Membaca dan diskusi dengan amunisi literasi yang mumpuni”

Seporsi gado-gado tersaji di meja kantin. Perasaan Arya pun bercampur seperti gado-gado. Terkejut, prihatin dan miris. Ia mempertanyakan kemana sosok-sosok yang selalu membawa buku dalam tas goodie bag kanvas. Potongan lusuh berkacamata tebal terlihat lemas, tapi trengginas saat diajak diskusi.

“Tiap hari seperti ini ya Nur?”

“Yo iyo, awakmu nangdi ae Yak? Mengejar karir perlu, kamu menghabiskan tenaga bagai kuda perang untuk mendulang rupiah di Ibukota silahkan. Tapi ingat, perlu ada kepedulian untuk adik-adik kita di kampus tercinta ini. Itulah aku dan kawan lain yang sepemikiran membuat gerakan literasi agar minat baca dan menulis mahasiswa menjadi lebih meningkat”

“Sudah berhasil?”

Nur Cahyo memasang muka tidak jelas saat mendengar pertanyaan ini. Sambil terdiam menerawang, menghentikan sejenak isapan rokok dan meneguk kopinya dengan cepat.

“Nanti lihat saja sendiri. Yang penting kita telah berjuang. Tahu tidak sejak maraknya penggunaan internet, era digital menjadikan negara kita masuk kategori negara tercerewet dalam lima besar penggunaan media sosial. Benar dirasani, salah dicatat. Opo ae di paido”

Setelah sajian di meja kantin tandas, mereka berdua masuk menuju fakultas. Arya menelisik pandangannya pada setiap sudut kampus. Pintu masuk, lorong sampai taman dengan air mancurnya pada bagian tengah. Ruang masih sama, hanya manusia dan perilakunya yang berbeda. Ia mendengar secara cermat percakapan para mahasiswa.

“Sudah baca?.....statusku tadi?” celetuk seorang mahasiswi bergigi kawat yang pada kawan sebelahnya yang nampak cuek karena sibuk scrol layar ponsel pintarnya. “Sudah, manja kau. Tugas mata kuliah dosen itu gampang, orangnya sudah tua. Tinggal cari di internet, googling. beres. Orangnya tidak bakal membaca. Gugur kewajiban” jawab kawannya dengan tepat asyik masyuk dengan ponsel pintarnya.

Arya geleng-geleng kepala mengamatinya. Sadar ada yang berubah jauh pada rumah akademisnya. Ia merenung, bagaimana kelak menghasilkan sumber daya manusia berdaya saing tinggi jika proses belajarnya seperti ini. Serba cepat dan minim berliterasi.

“Mari silahkan masuk, Pak Arya dari Jakarta temannya Pak Nur?” sapa ramah seorang gadis yang menjadi petugas penerima tamu. “Silahkan tanda tangan di sini Pak”. Arya mengikuti prosedur yang berlaku.

“Maaf acaranya agak molor Yak. Mari duduk di depan” kata Nur Cahyo sembari mengantar Arya berjalan menuju meja depan. Semua kursi sudah tersusun rapi. Ada bentangan spanduk bertuliskan ‘Seminar Literasi: Menumbuhkan Minat Baca dan Menulis Mahasiswa Millenial” tertempel dengan proporsional di depan. Arya menempati tempat duduk yang telah disediakan. Suasana di luar ruangan ramai. Pikirnya itu adalah peserta seminar. Setelah menunggu beberapa waktu hanya sekumpulan mahasiswa lewat selepas bubar kelas.

Lima belas menit berlalu. Tidak ada satu orangpun yang memasuki ruangan. Arya dan Nur Cahyo tetap terpaku. Mereka saling terdiam dan duduk melihat ruang depan. Kursi sofa penyaji. Foto presiden sampai bendera negara yang terpasang pada sebuah tiang di pojok kanan. Tiga puluh menit berlalu, Nur Cahyo nampak gusar. Telepon genggam di angkat berupaya menghubungi panitia penyelenggara.

 “Terus gimana?”

“Mohon di tunggu sebentar Pak” suara dari ujung telepon.

Empat puluh menit berlalu, hawa ruangan makin menggigil dalam suasana hati yang mulai memanas. Pendingin ruangan yang seharusnya bisa dinikmati ratusan orang, hanya digunakan oleh dua orang yang menunggu kepastian. Arya menghela napas panjang. “Sedemikian keringnya antusias mahasiswa pada acara seperti ini Nur?” tanyanya. “Entahlah Yak, apa karena terlalu sibuk kuliah mereka? Apa karena kita tidak menyediakan fasilitas makan siang dan sertifikat? Hari ini selembar piagam penghargaan menjadi sangat berharga”. Jawab Nur Cahyo dengan cemberut. Roman muka tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

“Padahal teman-teman pejuang literasi di daerah lain, siap mengirimkan ratusan buku gratis jika acara kali ini sukses” kata Nur Cahyo. Sembari sibuk melihat pesan-pesan dari ponselnya.

Sudah satu jam setelah mereka berdua terduduk menahan dingin. Nur Cahyo bangkit tersenyum dan uluran tangannya mengisyaratkan Arya untuk segera ikut berdiri. Mereka berjalan keluar ruangan yang kosong. Meja penerima tamu sudah tidak ada penjaganya. Nur Cahyo merapikan buku tamu lalu memasukan ke dalam tasnya.

“Kita kembali ngopi lagi saja Yak. Sudahlah ini sudah biasa di mana-mana. Yang penting sudah berjuang. Mari kita berusaha meningkatkan minat baca dari warung kopi saja. Perjuangan literasi harus terus berlanjut. Kalau kurikulum multiple Intelegent tidak berhasil diterapkan, diganti saja dengan multiple mobilegend” canda Nur Cahyo sambil  berjalan meninggalkan meja penerima tamu. Mereka berdua meninggalkan fakultas, melintas lorong yang sarat dengan mahasiswa yang duduk bergerombol.

“Sudah Baca?” tanya Arya pada seorang mahasiswa yang duduk terbengong. “Baca apa ya?” Jawab mahasiswa berjaket gunung tersebut singkat. “Yo wis le” pungkas Arya sambil diikuti tawa Nur Cahyo yang melihat tingkah jahil sahabatnya itu. Selesai.


Surabaya, 10 November 2018



*Didedikasikan khusus untuk Almarhum Prof.  L.  Dyson dan Almarhum Nurcahyo Tri Arianto, M. Hum.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sudah Baca? (Cerpen Partisipasi Cipta Cerpen Dies Natalis Unair 2018)"

Post a Comment