Gowes dan Pandemi: Serba Serbi Sepeda Pancal

"Apalah arti gowes jika hanya untuk IG Story..bakul somay nggowes tiap hari mereka tetap santuy"  Celetuk salah satu dari sekian banyak netizen yang budiman di negeri ini.  Ada fenomena baru pada pandemi COVID-19 kesadaran orang akan olahraga, pola hidup sehat dan rajin berjemur semakin meningkat. Mendadak bersepeda menjadi kegemaran baru masyrakat ketika masa pandemi. Mungkin selepas bosan diam di rumah ingin lepas bebas agar sehat dan virus tergempas. Sebelum trend bersepeda, saya sejak kecil telah bergowes ria pada segala aktivitas. 

Sepedaku sampai Monas  (2006)


Bersepeda pancal bukan barang baru lagi. Sejak dulu banyak orang yang mengendarainya. Bahkan masa perang, serdadu juga menggunakan sepeda angin untuk mobilitas saat patroli. Sepeda dianggap sebagai moda transportasi paling hemat energi dan ramah lingkungan. Berbahan bakar nasi sebungkus dan es teh segelas sudah bisa keliling kota dengan ceria. Bersepeda dibuat santai. Sesuaikan dengan kapasitas dan kekuatan diri. Jika ingin kebut-kebutan ikut klub sepeda balap saja. 



cerita nggowes mencari data ke ibukota
 
Rabu 6 Oktober 2021 diberitakan seorang goweser meninggal di jalan pada sebuah kawasan Sidoarjo. Bersepeda merah dan ditemukan tidak bernyawa di sebuah jalanan putar balik. Diduga terkena serangan jantung.  Gowes alias bersepada menjadi satu aktivitas baru ketika pandemi Covid-19 melanda tanah air. Bahkan sempat jadi trend gaya hidup tersendiri yang membuat harga sepeda melambung tinggi. Termasuk keberadaan media sosial seperti Instagram turut menyuburkan kebiasaan baru masyarakat. Pajangan sepeda balap atau sepeda lipat merk mahal. Jersey alias baju sepeda balap dengan model kekinian hingga sepatu bersepeda yang tidak biasa. Semua menjadi bagian baru yang sebetulnya tidak baru-baru amat. Hanya kebetulan. 

Hunter bike di Kota Lama Jakarta (2006)

Tahukah anda sebelum trend bersepeda di jalanan sudah ada goweser sejati yang menyusuri jalanan dengan mengayuh pedal untuk mencari nafkah. Tukang somay keliling, tukang rombeng/loak sampai Ibu petani yang melintasi pematang sawah dengan sepedanya. Termasuk mahasiswa rantau yang kesulitan untuk mencari akses paling terjangkau berangkat ke kampus akhirnya memilih bersepeda berangkat kuliah. Saya termasuk salah satu diantaranya. 
Simak juga: Kartun dan Gowes


bersama mamang tambal ban Mangga Dua  (2006)


Belajar bersepeda roda dua saat SD. Perasaan paling gembira adalah saat secara tak sadar kalau sudah melaju bebas tanpa ada yang megangin. Biasanya kalau belajar bersepeda ada 'pelatih' yang memegang sadel belakang. Mengawasi sekaligus mengamankan. 

Oemar Bakri (2014)


Membawa sepeda dari kampung pada beberapa bulan setelah kuliah berlangsung. Dengan naik kereta api sepeda angin dibawa naik kereta. Kereta Api ekonomi dan sepeda masuk di toiletnya. Jarak tempuh dari Kawasan Petemon ke Kampus B Unair menjadi menu dan trayek harian. Terlebih saat lalu lintas ramai. Pesepeda seakan tidak mendapat tempat. Saat itu angkot menjadi kendaraan umum primadona masyarakat. Belum ada ojol atau takjol. Jika ingin naik kendaraan umum dengan kantong terbatas maka angkot adalah pilihannya. Beda trayek beda huruf kode dan warnanya. Tapi sama model berkendaranya. Kadang berhenti mendadak atau berhenti sembarangan. Tentunya itu membahayakan kaum goweser seperti saya yang mengandalkan rem sandal ketika terasa rem kurang pakem. 

Tole Toli Bike Cycle Racing Team (2019)


Setelah lulus sepeda pancal masih saya pakai untuk aktivitas bekerja. Istilahnya B2W - Bike to Work atau Sego Segawe kalau di Jogja. Berangkat bersepada dengan tujuan kemanapun. Tidak pelu gengsi. Merk paling mahal pun toh tetap dikayuh sampai berkeringat. Hikmah dari adanya pandemi adalah kita semakin sadar bahwa kesehatan itu penting dan bersepeda adalah salah satu cara untuk selalu menjaga kebugaran jiwa raga. Salam Kring-kring. 





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Gowes dan Pandemi: Serba Serbi Sepeda Pancal "

Post a Comment