Pendidikan Merdeka atau Pendidikan Mereka

Sebuah kabar mengejutkan datang dari istri saya. Tole dikerjai teman sepermainan di kampung. Dia ‘dipaksa’ untuk makan silica gell yang dikatakan sebagai permen oleh anak-anak kampung yang lebih tua. Untungnya bubuk putih pengawet sepatu yang menyerupai permen tersebut tidak sampai termakan.
Kejadian ini menjadi bagian dari ‘drama’ masa pandemi COVID-19. Pengaruh pada berbagai bidang kehidupan, pola interaksi dalam keluarga dan proses kegiatan belajar mengajar. Sejak pandemi hingga berlaku masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) otomatis sekolah dan sektor pendidikan lainnya berubah format. Sekolah tatap muka menjadi sekolah daring. Berbeda dengan kegiatan mengaji sebab belum memungkinkan ngaji di langgar kampung menggunakan sistem daring.  Selepas PSBB dicabut, anak-anak diijinkan mengaji kembali. Tole ikut serta, walau sebatas pupuk bawang. Setidaknya bisa mengenal dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Tapi pandemi belum usai, hingga akhirnya mushola didatangi aparat setempat dengan teguran untuk menghentikan sementara kegiatan yang mengumpulkan orang. Pendidikan di masa pandemi tidak hanya menyebabkan perubahan pada kegiatan belajar mengajar.
Jiwa yang Merdeka (Film Raatchasi - DWP 2019)

Serentetan permasalahan menjadi dampak sekaligus resiko penggunaan sistem baru. Anak sekolah banyak memiliki waktu luang dan waktu terbuang. Sejak libur sekolah dan berubah menjadi sekolah daring, waktu luang anak lebih banyak. Himbauan di rumah saja. Memberikan tekanan psikologis pada orang tua karena harus menjalankan peran ganda. Menjadi orang tua sekaligus guru atau instruktur selama kegiatan belajar daring. Tidak sedikit orang tua yang mengerjakan tugas anak. Orang tua menjadi guru di rumah. Tidak semua orang tua sanggup mengatasi urusan akademis anak karena kemampuan dan aktivitas lain yang harus dijalankan. 

Masa pandemi juga memberi pukulan pada para pendidik. Stereotipe guru yang lebih hanya sekadar memberi tugas dan makan gaji buta. Tentunya hal tersebut tidak benar. Guru harus menyiapkan bahan ajar dan menyesuaikan dengan proses belajar jarak jauh. Kesiapan peralatan, niat belajar dan peningkatan kapasitas mutlak diperlukan dalam sekolah daring. Pendidikan tatap muka tetaplah lebih baik, sekolah daring hanya sekadar alternatif sementara. Sebagai strategi adaptasi yang paling efektif dan aman menghadapi pandemi. Seberapa efektifkah penerapan pendidikan merdeka dengan pola belajar sekaligus bermain?. 

Tiga Masalah Utama 
Inovasi program dan kebijakan telah dilakukan sebelum masa pandemi. Pada tingkat perguruan tunggu diterapkan kemerdekaan belajar sebagaimana pernyataan Mas Menteri berupa “Memberi kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokrasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai”. Masalah birokrasi yang berbelit masih menjadi hambatan dalam pengembangan pendidikan. 

Akses teknologi untuk pengguna kegiatan jarak jauh dalam belajar daring masih belum merata pada semua kalangan. Tidak semua orang tua dapat menyediakan gawai lengkap dengan paket data pada anak-anaknya. Ekonomi masa pandemi telah mencapai tahap resesi dalam sektor keluarga. Permasalahan pasca pandemi di sisi lain memberikan ruang lebih dekat interaksi dalam keluarga karena aktivitas lebih banyak di dalam rumah. Pada sisi lain, memberikan pukulan secara ekonomi dan psikis karena keterpurukan finansial serta tugas ganda dari orang tua.  

Mas Menteri, Nadiem M menyatakan saat ini ada tiga dosa pendidikan di Indonesia yaitu intoleransi dalam perbedaan, bullying dan kekerasan seksual. Ketiga permasalahan besar tersebut menjadi satu rangkaian dengan beragam hal yang perlu dibenahi terkait masalah sumber daya manusia dan faktor kelembagaan. Belum lagi masalah penyalahgunaan dana BOS dan ketimpangan antara tenaga pendidik ASN dengan honorer. Guru sebagai tenaga pendidik kurang bisa berkembang akibat tekanan administrasi yang berdampak pada penurunan inovasi. Zaman telah berganti semestinya segala birokrasi yang membebani harus dipermudah, apalagi pada era digital dan bigdata seperti saat ini. 

Tantangan dalam harmonisasi kehidupan bermasyarakat sudah terjadi pada intoleransi melanda ke sektor pendidikan. Dulu media pernah dihebohkan pada satu sekolah yang tidak bersedia menyelenggarakan upacara bendera pada hari senin. Beberapa oknum guru mendapat sanksi karena mengajarkan kebencian pada golongan di luar kelompoknya. Konsumsi media dalam literasi digital dengan informasi yang beragam perlu mendapat perhatian. 

Apa yang dialami Tole ketika dikerjai teman sepermainannya yang secara usia berbeda termasuk perundungan atau bullying. Ketika dalam satu kelompok bermain ada salah satu anak yang dianggap berbeda bakal menjadi sasaran. Usia yang paling muda atau mempunyai keunikan fisik spesifik rawan menjadi sasaran perundungan. Baik secara verbal maupun fisik. Masa pandemi perundungan terjadi pada kesenjangan ekonomi pada kepemilikan gawai dan paket data. Anak yang orang tuanya tidak mampu menyediakan sarana pembelajaran daring dianggap tertinggal oleh yang lain. Terjadi perundungan berbasis media sosial mengingat masa pandemi menjadikan konsumsi media daring mengalami kenaikan yang signifikan. Lantas dimana sisi belajar merdeka yang adaptif jika pendidikan hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mempunyai fasilitas?. 

Komnas Perempuan pada tahun 2019 mencatat telah terjadi 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan di tanah air.  Sebuah jumlah yang patut menjadi perhatian banyak pihak. Kekerasan seksual terutama kekerasan seksual terhadap anak menjadi permasalahan yang turut berkontribusi pada serentetan hambatan dunia pendidikan. Fenomena yang menimbulkan trauma dan mengubah kepribadian ini menjadi semacam fenomena gunung es. Terus terjadi dan ada keengganan untuk melapor karena tekanan, ancaman dan takut mendapat stigma dari masyarakat. 

Mari kita tanamkan pada anak atau peserta didik kita keberanian untuk bersikap. Sinergitas perlindungan dan pengawasan dari keluarga, masyarakat dan negara secara konsisten. Masyarakat seharusnya berpihak pada kelompok rentan terutama anak-anak yang kerap menjadi obyek kekerasan dan pelecehan seksual. Perlunya Penegakan hukum, meminimalisir tindakan pembiaran dan kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas di lingkungan sekolah. 

Permasalahan dalam dunia pendidikan memerlukan solusi yang pragmatis dengan kemampuan nalar yang kritis dan disesuaikan dengan arus zaman. Dunia pendidikan harus senantiasa mengikuti perkembangan zaman, tanpa meninggalkan esensi adiluhung mendidikan anak berkepribadian bangsa.  Krisis keteladanan menjadi salah satu akar permasalahan yang kompleks dalam dunia pendidikan. Itunya pentingnya dilakukan pembenahan dalam standar, kurikulum-pedagogi, sumberdaya, pengawasan, pengembangan dan organisasi sekolah. Proses harus optimal dari hulu ke hilir. Sistem, sumberdaya, kebijakan dan implementasi adalah empat hal yang harus senantiasa bersinergi dalam semangat gotong royong. 

Perubahan sistem pendidikan yang meliputi pola pengajaran pada masa pandemi mutlak dilakukan. Hal ini mencerminkan bagaimana institusi pendidikan dapat secara relevan beradaptasi dengan keadaan baru. Jika tidak dikuatirkan terjadi resesi literasi dalam situasi pandemi. Kelas daring harus diiringi dengan penggunaan gawai secara bijak yang dapat menopang produktivitas. Literasi digital dengan mempelajari bahkan membuat konten multimedia dan bahan ajar interaktif. Bukannya menghabiskan waktu dengan bermain game, bermedia sosial, ghibah daring bahkan menyebarkan hal yang kurang bermanfaat. Perlunya orang tua melakukan pendampingan dan pengawasan selama anak menggunakan gawai. Masa pandemi menyadarkan kita pada perilaku hidup bersih, hemat dan tidak gengsian. Pendidikan merdeka bukan pendidikan hanya untuk mereka tapi pendidikan untuk semua secara inklusif. Agar tercipta sumber daya manusia yang cerdas,sehat, ulet, tekun, inklusif dan inovatif. Semoga kita bisa. []

Tulisan ini dimuat pada rublik Opini Harian Bhirawa pada 31 Agustus 2020

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendidikan Merdeka atau Pendidikan Mereka "

Post a Comment