Perundungan dan Kekerasan Gender Ada Di Sekitar Kita

Baru-baru ini kita digegerkan oleh sebuah kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual. Seorang pegawai KPI yang diduga mendapat pelecehan seks dan perundungan teman kantor sesama pria di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kejadian itu menimpa korban berulang sejak 2012. Korban sampai ditelanjangi dan difoto. Korban khawatir foto telanjangnya itu akan disebar oleh rekan-rekannya. Selain itu, rekan kerja korban kerap menyuruh-nyuruh korban membelikan makan. Hal ini berlangsung selama 2 tahun berbagai perundungan diterima korban. Dari diceburkan ke kolam renang, tasnya dibuang, hingga dimaki dengan kata-kata bernuansa SARA. Pelecehan seksual tersebut membuat korban jatuh sakit dan stres berkepanjangan (Detik.com 02/09/2021). 
Ancaman dari mana saja (Karya Roikan 2006) 

Kejadian seperti ini dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam. Dari gejala penyangkalan terhadap diri, self-esteem yang buruk, masalah interpersonal, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), gangguan kecemasan, depresi, mimpi buruk dan gangguan tidur. Perubahan kehidupan sosial dan personal kerap menimpa korban perundungan.

Keluarga dan lingkungan sekitar termasuk tempat kerja seharusnya menjadi satu atmosfer yang menyenangkan, penuh kehangatan dan mendukung produktivitas. Namun praktek perundungan masih terjadi. Perundungan sebagai sebuah perilaku agresif yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada korbannya kerena diberikan secara berulang dalam waktu yang lama. Kriteria perundungan menurut KemenPPA meliputi kontas fisik langsung, kontak verbal langsung, perilaku non-verbal langsung, perilaku non verbal tak langsung dan cyber bullying atau perundungan secara daring. 

Masalah Global 
Kasus perundungan dan pelecehan seksual termasuk ke dalam kekerasan gender (gender violence) dan bukan masalah baru. Terjadi di hampir semua masyarakat di seluruh dunia. Namun menjadi perhatian dan terkategori sebagai masalah sosial prioritas sejak 30 tahun terakhir. Secara historis, bentuk kekerasan yang terjadi dalam keluarga diperlakukan sebagai kurang serius daripada yang terjadi di lingkup publik. Patriarkhi, adat ketimuran dan beragam halangan yang bersifat kultural menjadikan masalah kekerasan gender kurang mendapat solusi yang memuaskan. Itulah pentingnya reformulasi dan gagasan budaya hukum dari lingkup pribadi dari keluarga, di bagian untuk mendorong dan intervensi hukum sosial dengan keluarga.

Kekerasan gender sekarang menjadi istilah umum untuk berbagai pelanggaran dari pemerkosaan selama masa perang hingga pelecehan seksual di penjara hingga penghinaan dan pemanggilan nama dalam pernikahan. Praktik budaya yang berlaku pada kawasan tertentu seperti seperti pemotongan alat kelamin perempuan (sunat perempuan), pembatasan perempuan dalam pernikahan, tindakan ilegal seperti perdagangan perempuan sebagai pekerja seks, penggusuran perempuan selama perang saudara, dan kekerasan yang dialami oleh migran dalam konteks globalisasi kontemporer. Gerakan lokal, nasional, dan regional di seluruh dunia menantang legitimasi dari banyak praktik ini bersama dengan gerakan internasional. 

Selama ini masalah kekerasan seksual hanya ditujukan pada perempuan. Dalam perkembangannya berdasar dinamika kasus cakupan kekerasan terhadap berbasis gender juga terjadi pada laki-laki. Seperti yang terjadi pada korban salah satu pegawai KPI. Intinya, pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan. Mengutip Yayasan Pulih (2021) bahwa siapapun berpotensi menjadi korban pelecehan seksual, anak-anak, dewasa, laki-laki dan kelompok rentan lainnya. 

Laki-laki juga berpotensi menjadi korban kekerasan gender seperti kasus salah satu pegawai KPI Meskipun perempuan secara tidak proporsional menjadi korban kekerasan gender, dalam banyak situasi laki-laki juga menjadi korban. Pemerkosaan pria di penjara, penyiksaan pria di masa perang, pola perpeloncoan dan pelecehan dalam organisasi laki-laki, dan serangan homofobia terhadap laki-laki gay hanyalah beberapa di antaranya jenis kekerasan yang ditujukan kepada laki-laki. Baik pria maupun wanita menjadi sasaran budaya praktek operasi genital, meskipun yang dilakukan pada wanita umumnya lebih parah. Kekerasan antara pasangan intim termasuk serangan wanita terhadap pria dan juga pria perempuan, meskipun perempuan lebih mungkin untuk terluka. Individu dalam hubungan sesama jenis menggunakan kekerasan terhadap pasangan mereka pada tingkat yang hampir sama dengan mereka dalam hubungan lawan jenis. Meskipun kekerasan gender sering kali merupakan penyerangan oleh laki-laki terhadap perempuan, ini hampir tidak universal ciri perilaku laki-laki. Sebagian besar laki-laki tidak melakukan kekerasan gender terhadap perempuan, dan banyak yang berusaha untuk campur tangan untuk melindungi perempuan serta laki-laki lain dari gender kekerasan. Sementara kekerasan gender adalah pola yang tersebar luas, itu jauh dari pola universal

Terpelihara secara struktural 
Mengutip Sally Engle Merry dalam bukunya Gender Violence: A Cultural Perspective (2009) Norma gender tradisional mengkontruksi bahwa laki-laki adalah sosok kuat, pemberani, dan dominan, maka laki-laki menginternalisasi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan struktural biasanya tersembunyi dalam hegemoni biasa, tersembunyi dalam detail duniawi kehidupan sehari-hari. Kekerasan struktural terkait erat dengan lebih banyak bentuk-bentuk kekerasan antarpribadi.

Relasi dan cara pandang tentang gender dibagi menjadi dua paham: esensialisme dan interseksionalitas. Esensialisme berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama karena jenis kelaminnya. Namun, bagi para feminis menunjukkan bahwa orang didefinisikan oleh sejumlah identitas lain berdasarkan ras, kelas, etnis, kebangsaan, disabilitas orientasi seksual, dan banyak karakteristik lainnya serta jenis kelamin. 

Pandangan gender yang bersifat interseksional fokus pada hal-hal non esensial. Tidak lagi melihat aspek feminim dan maskulin Tapi melihat cara berinteraksi dengan identitas lain seperti ras dan kelas. Kedua paham ini dalam pelaksanaannya terkendala oleh halangan kultural bahwa laki-laki kuat dan perempuan itu lemah. Terbudaya karena dianggap kelaziman yang didasarai oleh Tabu Maskulinitas 
Secara antropologis kekerasan gender  telah membudaya di beberapa tempat dengan pemaknaan yang berbeda. Kekerasan pada dasarnya adalah konstruksi budaya. “Sosial dan dimensi budaya kekerasan adalah apa yang memberi kekerasan kekuatan dan maknanya” (Scheper- Hughes dan Bourgois, 2004). Bahwa tidak ada kekuatan "kasar" yang sederhana, tapi itu kekerasan memiliki wajah manusia dan jarang “tidak masuk akal.” Sebaliknya, itu sering memiliki arti yang membuat itu heroik, dibenarkan, masuk akal, atau setidaknya dapat diterima. Dari sudut pandang antropologi, kekerasan sebagai tindakan melukai tidak dapat dipahami di luar sistem sosial dan budaya yang memberikan makna. 

Dilematis takut terstigma ketika berani bersuara. Nalar kelaki-lakian menjadikan korban perundungan dan pelecehan seksual dari laki-laki lebih banyak memilih diam. Tidak ingin dianggap sebagai laki-laki lemah. Anggapan boys dont cry tak selamanya benar. Ada aspek manusiawi yang perlu diperhatikan. Kemanusiaan aspek yang tidak memperhatikan gender tapi perasaan sebagai manusia ciptaan Tuhan. 

Untuk itu kita tidak perlu saling menyalahkan, justru dapat menimbulkan tindak perundungan baru. Yang harus kita lakukan adalah mencari solusi bukan malah memperkeruh suasana. Tidak menyalahkan korban dan sebisa mungkin memberikan dukugan moril dengan mendengarkan cerita atas dasar saling percaya. Jika memungkinkan mendampingi korban mencari tempat aman, mendampingi serta memberi penguatan untuk berani melapor, hingga mendatangkan bantuan dari profesional. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perundungan dan Kekerasan Gender Ada Di Sekitar Kita "

Post a Comment