Melayani Sepenuh Hati Harus Hati-hati (BLU Expo 2021)

“Mas lihat pasien saya nggak?” tanya seorang petugas menghampiri dan dua orang temannya langsung berlari menuju pintu gerbang. Beberapa detik sebelumnya seorang pasien perempuan melarikan diri. Melewati saya yang terduduk di ruang tunggu. Memakai baju daster setelan berjalan melintas taman. Saya kira karyawan bagian dapur. Ternyata pasien yang kabur. Setelan daster itu adalah baju seragam para pasien. Tidak lama kemudian pasien perempuan itu 'tercyiduk' dan kembali diantar oleh para perawat. Dengan pendekatan yang humanis, pasien tadi ditenangkan dengan hingga masuk kembali ke ruang inapnya. Sebuah pengalaman penuh drama dari Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat pada bulan Desember 2020. Peristiwa tidak biasa yang menjadi representasi arti pelayanan optimal hari ini. 

Kondisi yang berbeda dibanding ketika kuliah lapangan Antropologi Kesehatan pada tahun 2005 silam. Saat itu saya beserta kawan-kawan satu angkatan harus menginap dan tinggal sementara di dalam Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat. Tujuan kami tidak hanya mencari data, tapi turut merasakan bagaimana rasanya menghabiskan hari-hari dalam rumah sakit yang dibangun sejak masa Belanda itu. Ada interaksi antara sesama nakes, interaksi antar pasien dan interaksi pasien dengan nakes. Inilah uniknya. Apalagi saat tiba waktu makan bersama. Banyak 'hiburan' yang disajikan. Tingkah laku tidak biasa dari pasien yang kadang diimbangi oleh tingkah laku lucu dari perawat dan dokternya juga. Orang awam seperti saya kadang melihat tidak ada perbedaan dari semuanya. Menyenangkan, lucu dan sesekali membuat miris ketika mendengar curhatan dari para pasien tentang masa lalunya. 

Saya ingat saat sesi makan siang untuk pasien Ruang Perkutut. Seorang lelaki menghampiri saya dan berkata: “Saya kemarin bertemu Syeikh Abdul Qodir Jailani” dengan bangga sambil menepuk dada. Perawat hanya tersenyum dan mengajak pasien itu kembali ke meja makannya. Lain ketika di kamar Mawar, seorang pasien berlari keluar kamar sambil berteriak “Mama..mama !” lalu duduk di rerumputan. Tak lama kemudian masuk kamar kembali dan keluar teriak lagi. Itu hal yang dilakukan berulangkali kata perawat yang menjaga kamar. Perasaan saya serasa diaduk-aduk. 

Saat itu dari bagian depan sampai kamar pelayanan masih mengikuti cara lama. Layanan di rumah sakit masih biasa, ala kadarnya sekadar gugur kewajiban. Hal yang lumrah pada institusi berplat merah dalam negeri. Rumah sakit jiwa identik dengan tempat yang mengerikan, ada teriakan di mana-mana, sampai pasien yang dipasung. Media khususnya film dan sinetron turut membangun stigma tempat rehabilitasi orang dengan gangguan jiwa. Hari ini standar telah diubah dan berubah. Ada komitmen memberikan pelayanan sesuai ketentuan yang berlaku. Lebih cepat dan berkualitas kepada masyarakat. Desember 2020 itu menjadi kunjungan saya kedua ke rumah sakit jiwa, tidak untuk kepentingan kuliah tapi mengantar salah satu anggota keluarga terkena Skizofrenia. Dia butuh penanganan lebih karena pelayanan di rumah sakit sebelumnya lamban sampai telat obat karena stok kosong.  

Kini layanan di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat berkembang mengikuti perkembangan zaman. Tugas melayani masyarakat publik tanpa melupakan dinamika. Rumah sakit jiwa terbesar yang dibuka secara resmi pada tanggal 23 Juni 1902 ini mendapat penghargaan dari Komite Akreditasi RS dan SGS ISO 9001:2015. Berupaya memberikan pelayanan baik, ramah dan profesional. Tidak antri karena pasien bisa mendaftar secara online. Ada layanan lengkap dengan fasilitas yang disediakan. Terdiri dari Poliklinik untuk rawat jalan, Ruang perawatan untuk rawat inap, penunjang medis antara lain Laboratorium, Radiologi, Elektromedis, dan Farmasi. Bahkan ketika pandemi Covid-19 melanda, saya melihat ada pasien non gangguan kejiwaan yang dirawat diruang UGD pada Desember 2020. Efek pandemi telah dirasakan bukan hanya kita sendiri. Ada jutaan orang yang terimbas. Perekonomian tumbang yang dikuatirkan berimbas pada kesehatan mental. Dulu setiap bulan ada rupiah yang 'klunting' ke dalam rekening, pandemi mengubah segalanya. Orang jadi lebih banyak berpikir keras untuk bisa bertahan dan karena banyak kepikiran bisa mengganggu kestabilan mental. 

Sebagai bagian dari rumpun kesehatan rumah sakit hari ini dituntut untuk menjadi ruang publik yang memberikan pelayanan optimal. Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat termasuk dalam 213 BLU yang tersebar di seluruh Indonesia. Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi pemerintah yang menyediakan layanan dalam bentuk penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan keuntungan dengan prinsip efisiensi dan produktivitas. 

Pelayanan Duluan Cuan Kemudian 
BLU mempunyai tugas mulia tanpa melupakan mendapatkan laba. Sebab tidak ada yang gratis di dunia ini selain, kasih Ibu dan gragal (bekas reruntuhan puing bangunan kalau di Kota Surabaya diberi label – gragal gratis, silahkan ambil). Jadi BLU itu semacam badan otonom yang tetap menjadi bagian pemerintah dan melaksanakan kaidah-kaidah bisnis yang sehat, namun tidak mengutamakan mencari keuntungan. Berhak dan dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.

Laba bukan segalanya bagi BLU. Prinsip perputaran rupiah dan tata kelola keuangan untuk BLU yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan dalam menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat. BLU dapat langsung menggunakan PNBP yang diperolehnya tanpa harus disetorkan terlebih dahulu ke kas negara.

Sudah tentu perlu peningkatan kualitas pelayanan yang nantinya diiringi oleh peningkatan perekonomian. Pelayanan itu pertaruhan bagi nafas keberlangsungan pada banyak sektor usaha. Terlebih industri fasilitatif, menyediakan jasa yang memuaskan pelanggan adalah yang utama. 

BLU menurut saya ibarat penilik sekolah di jaman dulu. Memperhatikan pelayanan tanpa tidak melupakan penyerapan dan perputaran dana yang terhimpun dari SPP siswa. Upaya total memberikan pelayanan yang optimal pada sektor vital. Puskemas, rumah sakit, instansi pendidikan dan ranah pembiayaan. Sesuai dengan tujuan utama untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Melayani sepenuh hati dengan 'Speed' itu butuh sinergi. BLU pada berbagai rumpun kehidupan berstrategi pulihkan ekonomi. Pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi, efisiensi, efektivitas dan produktivitas. Penerapan praktik bisnis yang sehat dengan mengedepankan kemandirian dan transparansi. Layanan bagus dulu cuan berdatangan kemudian. Apalah arti mengejar cuan tapi melupakan layanan. Komplain akan terus berdatangan dan reputasi bisa tumbang. Artinya kepercayaan masyarakat bisa berkurang. Hal itu fatal. Satu surat pembaca bisa meruntuhkan institusi yang telah dibangun dan dijalankan lama. Itulah hebatnya kekuatan media dan massa. Terlebih di negara +62 dengan netizen media sosialnya yang terindikasi bar-bar. Bisa membuat satu perusahaan bubar karena pelayanan yang ala kadar. Perkuat layanan yang berkesinambungan dengan BLU. Kita Bisa. 

#BLUExpo
#BLUExpo2021
#BLU
#LombaFotoBLUExpo
#LombaVideoBLUExpo
#BLUSpeed
#BLUBerstrategiPulihkanEkonomi

Tulisan ini ikut serta dalam Lomba Menulis Artikel BLU Expo 2021 dan lolos sebagai Finalist 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Melayani Sepenuh Hati Harus Hati-hati (BLU Expo 2021) "

Post a Comment