Mimpi Produksi Pesawat Lokal N219 versi Seaplane: Urgensi Pengembangan Industri Kedirgantaraan Khas Negara Kepulauan

Tahun 2022 ini saya beberapa kali melakukan perjalanan udara. Dari Lombok Timur hingga Watu Lanur di Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur. Decak kagum selama penerbangan ketika melihat ke bawah jendela. Negara kepulauan bukan hanya kumpulan beragam daratan dengan berbagai karakteristik khasnya. Tapi ada potensi luar biasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan bersama. Sempat saya membayangkan seandainya di setiap pelabuhan ada bandara air tentu lebih mengasyikkan. Mimpi saya saat ini adalah seaplane layak dikembangkan untuk mengurai kemacetan khas kota besar dalam percepatan waktu perjalanan dan pengembangan pariwisata.

Pemaparan Pak Samudera Sukardi (Sumber: YT Bappenas RI)

Pembangunan di tanah air merujuk pada nilai falsafah bangsa untuk membangun aspek material dan spiritual. Berbagai pelaku pembangunan berkumpul dalam Indonesia Development Forum (IDF). Sebuah wahana untuk berkumpul dan bertukar gagasan serta pemikiran. Pasca pandemi IDF diadakan kembali di Bali pada 21-22 November 2022. Acara puncak IDF 2022 saya saksikan secara daring. Diskusi publik luar biasa yang penuh ‘daging’, karena banyak ilmu dan wacana baru yang selama ini belum kita sadari dapat meningkatkan potensi negeri.

Salah satu narasumber yang menarik perhatian saya adalah Bapak Samudera Sukardi (Executive Advisor PTDI & BAPPENAS) yang berpengalaman selama 40 tahun di industri aviasi. Ada keinginan untuk pesawat N219 dijadikan produk unggulan dengan cara diberi prioritas dalam industri penerbangan. Inilah awal dari presentasi yang bertajuk “Memprioritaskan dan Menjadikan Produksi Pesawat N219 sebagai Produk Unggulan Di Dalam Peta Jalan Industri Penerbangan Indonesia”.

Kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Jumlah pulau dari ujung ke ujung mencapai 17.000 pulau, dengan total bandara udara mencapai 600 bandara. Untuk memajukan ekonomi dan kesejahteraan bangsa butuh ‘jembatan’ untuk menghubungkan satu wilayah dengan wilayah yang lain. Transportasi udara dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kita butuh pesawat yang menjadi Feeder Aircraft (N219). Artinya pengumpan antar wilayah kecil menuju wilayah yang lebih besar.

Menurut Pak Samudera, pesawat N219 dapat menjadi salah satu solusi pengembangan perekonomian melalui jembatan udara. Keunggulan dari pesawat ini adalah susah ditiru oleh negara-negara lain (entry barrier), mempercepat pertumbuhan ekonomi, mencegah devisa keluar dan menjadikan lebih banyak devisa yang masuk, memacu kemajuan teknologi dan meningkatkan lapangan kerja.  Saat ini jumlah orang yang terbang di udara 14 juta dari 250 juta dalam setahun. Sementara ada 600 bandara, jika ada seperempat bandara diprioritaskan untuk pesawat N219 dapat disimpulkan dalam setahun membutuhkan 150 pesawat N219. Tentu saja diperlukan koordinasi dan sinergi antar berbagai lini kedirgantaraan nusantara seperti Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Kementerian BUMN, Departemen Perhubungan dan TNI-AU.

Membuat pesawat itu sulit, yang lebih sulit lagi adalah perawatannya. Kalau bikin pesawat harus ada MRO (Maintenance and Repair Organization) yang bisa merawat, jangan kayak N212 jadi jet engine karena tidak ada MRO yang sanggup untuk memperbaiki pesawat dengan suku cadang yang tidak murah. Perlunya penelitian berkelanjutan untuk pengembangan industri kedirgantaraan terutama mengakomodasi negara kepulauan termasuk perlunya start up capital selama lima tahun termasuk untuk desain seaplane. Leasing company menjadi pendukung kelangsungan sistem transportasi udara.

Pak Samudera menjelaskan tentang airline vs pemda, sebagai pengoperasian vs kepemilikan. Sebuah hal yang menarik pada era otonomi daerah. Bayangkan jika setiap kabupaten memiliki pesawat sendiri. Setiap daerah menjadi pemegang saham misalnya PT ANG pemilik pesawat N219 yang dioperasikan di masing-masing daerah.

Tribute to B.J Habibie
(courtesy of Djoko Susilo's Artwork)

Pada kesimpulannya Pak Samudera menjelaskan membangun jembatan udara diperlukan kebijakan lintas sektoral yang terkait menjadi terintegrasikan dan mendukung pengembangan industri penerbangan. Adapun dukungan itu berupa kemudahan akses keuangan, memulihkan kemampuan pendanaan, mendorong potensi dan pangsa pasar, kemudahan dalam pembelian serta keringanan pajak. Tidak lupa menguatkan peta jalan pengembangan industri dirgantara yang terstandar dan terus berkesinambungan.

Luasnya wilayah Indonesia dalam jajaran pulau-pulaunya bukan menjadi penghalang jika jembatan udara terkoneksi secara holistik. Hal ini selaras dengan peta jalan pengembangan ekosistem industri kedirgantaraan untuk industri kedirgantaraan yang tangguh dan berdaya saing. Inilah target kemajuan industri kedirgantaraan pada 2045 menuju transformasi inklusif dan berkelanjutan. Seaplane adalah moda transportasi alternatif untuk daerah kepulauan yang sulit terjangkau secara perjalanan darat. Termasuk Kota dengan waterfront seperti Jakarta, Palembang, Surabaya dan Denpasar. Ketika jalan tol sudah hampir menyatukan wilayah Pulau Jawa ada kawasan lain yang perlu diperhatikan. Urgensi untuk akses dan konektivitas itu tak terbatas pada transportasi darat. Akses perairan dapat menjadi prioritas alternatif untuk mengurai kemacetan di jalur darat. Bukan tidak mungkin pengembangan seaplane untuk distribusi barang dan pengembangan wisata. Industri dirgantara nasional yang berdaya saing serta membawa kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Sebuah nilai lebih jika buatan anak bangsa membuat pesawat khusus yang menghubungkan wilayah pulau terpencil dengan seaplane. Semoga ada inovasi pesawat N219 versi jalur air sebagai supporting system program tol laut yang sudah berjalan. 


Tulisan ini sebagai partisipasi dalam Lomba Blog & Artikel Jurnalistik IDF 2022



 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mimpi Produksi Pesawat Lokal N219 versi Seaplane: Urgensi Pengembangan Industri Kedirgantaraan Khas Negara Kepulauan "

Post a Comment