Gerakan Literasi Satu Rumah Satu Rak Buku

"Gak popo dol dolen buku iki, tapi gaween tuku penduso"

(Silahkan jual buku-buku ini, asal duitnya buat beli seperangkat alat pemakaman)

Kalimat di atas adalah satu kata pamungkas terekstrim yang bermakna 'Jual bukuku tapi buat beli peti matiku', sedikit mengancam sebagai ungkapan hati yang geram. Semua terlontar saat mendengar rencana orang tua di kampung yang akan menjual 'harta' literatif saya. Koleksi buku dan majalah yang saya kumpulkan semasa remaja sampai kuliah. Semua tersimpan rapi di kamar yang tidak pernah ditempati kecuali pulang mudik. Ada beberapa koleksi buku yang sengaja saya simpan dalam kardus. Majalah bulanan Intisari terkumpul dari edisi tahun 1983 - 2003 tertata di rak sederhana buatan bapak. 

Kini pekerjaan yang mengharuskan untuk berpindah dari kampung halaman berpengaruh tercerai berai koleksi buku di tiga tempat: Lamongan, Surabaya dan Malang. Secara berkala saya melakukan pemantauan, pemeriksaan dan pendataan ulang koleksi buku. Sudah tidak terhitung berapa buku yang tidak kembali karena dipinjam orang atau mahasiswa. Saya kesal jika ada kawan yang meminjam buku kemudian setelah kembali buku agak rusak, mbulak bahkan ada lipatan kertas di dalamnya, walaupun sudah saya beri pembatas buku. Sebaliknya saya sangat gembira ketika ada yang mengembalikan buku lengkap dengan bonus sampul plastik gratis. Cara memperlakukan buku mencerminkan bagaimana kita menghargai sebuah buku. Menghargai buku menurut saya setara dengan menghormati penulis termasuk menghormati guru (ahli ilmu) dan segala pemanfaatan ilmunya. Bukankah ilmu yang bermanfaat merupakan pahala yang akan terus mengalir sampai hari akhir. 
Kutu Buku disayang Tuhan
Kecintaan saya pada dunia baca mulai tumbuh sejak kecil. Setiap makan nasi dengan pembungkus koran selalu membaca tulisan di dalamnya. Apapun itu, dari berita pembangunan masa Orde Baru sampai berita kriminal dengan foto pelaku yang pada bagian mata ditutup balok hitam. Saya ingat sekitar tahun 1997-1998 saat menunggu jemputan kakak, saya membaca buku di trotoar tepi tambak jalan Panglima Sudirman seberang SMPN4 Lamongan. Kini tambak yang semilir itu berubah menjadi ruko. Bacaan favorit masa kecil saya sebelum mengenal buku 'berat' dan majalah Intisari adalah tabloid Fantasi, majalah Mentari Putra Harapan, majalah Bobo, majalah Ananda, dan majalah Hai. Untuk mendapatkan buku atau majalah harus berangkat ke kota, ada kios majalah dan buku dari bekas sampai baru. Namanya Cak To, kiosnya terletak di sebelah utara SMA N 2 Lamongan. Sudah menjadi pelanggan beliau dari era kejayaan majalah/tabloid sampai sekarang. Ketika minat membaca menurun terjadi fenomena obral retur buku yang berasal dari toko buku besar. Harga buku bekas sangat ramah di kantong, buku baru atau returpun di Cak To sangat bersahabat mungkin karena telah bersahabat dengan beliau puluhan tahun. Pernah  hanya dengan 80 ribu rupiah dapat buku retur yang masih tersegel sekitar 9 buku dalam kantong plastik besar.


Toko Buku Cak To 2019
(model diperankan Tole)
Lulus Sekolah = Buku Tidak Berguna
Tidak banyak orang tua yang paham pentingnya hobi membaca pada anak. Itu terjadi juga pada saya hingga berulang kali mendengar pernyataan akan menjual buku atau majalah bekas yang dianggap tidak berguna karena sudah tidak dipakai untuk sekolah atau kuliah. Pokoknya setelah lulus buku tidak berguna. Itulah pola pikir yang perlu dirubah. Cara yang saya pakai ketika kesabaran sudah mulai habis mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan koleksi buku dengan ungkapan 'Jual bukuku tapi buat beli peti matiku'. Sejak sering melontarkan kalimat tersebut, secara perlahan cara pandang orang tua berubah bahkan kini turut membantu memantau kondisi koleksi buku saya. 

Saat masih remaja di desa, tiap libur sekolah saya main ke sawah sambil menyelipkan satu buku atau Majalah Intisari dalam baju. Membaca di atas pohon menjadi alternatif arena membaca yang sejuk. Kini jaman telah berganti. Apapun berubah menjadi digital. Mengurangi konsumsi kertas (paperless) istilah yang kerap muncul dalam era cyberculture. Sejak 6 tahun yang lalu dahaga saya akan wacana teratasi dengan kehadiran kindle ebook reader. Bukan berarti buku kertas ditinggalkan. Keduanya bersinergi dan melihat situasi misalnya saat mancing saya biasa membaca lewat kindle keyboard atau kindle touch. Ketika menulis atau mencari bahan untuk tulisan masih menggunakan buku fisik. Bau kertas dan suara gesekan masih menjadi momen yang selalu dirindukan. Masih kalap membeli buku saat masuk toko buku termasuk saat ada obral buku murah.

Buku tetap dianggap sebagai sebuah karya budaya yang adiluhung dalam kehidupan di era industri 4.0 dan era sosial 5.0 Ada penghargaan khusus untuk buku. Tanggal 23 April diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Hari besar para kutu buku di berbagai penjuru dunia yang ditetapkan oleh UNESCO untuk mempromosikan, peran membaca, penerbitan dan hak cipta. Pada tingkat nasional, setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional bertepatan dengan didirikannya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 17 Mei 1980. Lantas bagaimana budaya membaca dimulai dari rumah?

Langkah awal dimulai dari diri sendiri pentingnya budaya membaca. Terbukti membaca menjadi kebiasaan yang positif dan 'menyehatkan'. Menjadi pribadi yang berwawasan luas, bijaksana dalam berpikir dan literatif adalah harapan kaum milenial. Rumah yang keren tidak hanya berisi benda-benda bercita rasa seni tinggi, lebih lengkap jika ada cita rasa instuisi bernilai tinggi yaitu buku. Itulah perlunya kita menggalakan gerakan membaca dimulai dari rumah sendiri. Jika sudah dirasa koleksi melimpah dan ada ancaman debu atau potensi serangan rayap bisa diganti satu rumah satu lemari kaca berisi buku yang telah ditaburi merica bubuk. 
Dua hasil dan menanti yang lain 
Sebelum melanjutkan membicarakan tentang gagasan budaya literasi dalam keluarga, sedikit cerita tentang dunia perbukuan hari ini. Membaca buku sudah menjadi kebiasaan yang langka untuk era internet seperti sekarang ini. Melihat orang membaca buku di keramaian saja makin langka, apalagi aktivitas menulis buku. Merangkai kata demi kata dipadu dengan data serta daya imaji sampai menjadi sebuah buku perlu perjuangan dan komitmen kuat. Saya telah menulis dua buku dan berbagai karya ilmiah lain semacam jurnal sampai modul. Itu tidak mudah. Apalagi sebuah buku, jangan terlalu berharap menjadi best seller di toko buku setempat. Perlu ketabahan tingkat dewa setelah buku tercetak. Hari ini tingkat membaca dan diperparah konsumsi buku dalam kondisi memprihatikan. Kita bisa mengamati bagaimana kondisi kunjungan di perpustakaan umum? berapa pengunjung warkop yang memegang dan membaca buku?. Coba pula bandingkan seberapa ramai toko buku dengan tempat makan (pujasera) di sebuah pusat perbelanjaan di kota Anda. Cerita toko buku yang tumbang, persewaan komik/novel yang hengkang dan tabloid cetak yang berpamitan menjadi berita yang menyedihkan untuk para penggemar buku. 

Diobralpun kalah sama pernak pernik Gadget
  (Model diperankan Tole)
Satu Rumah Satu Rak Buku
Tak perlu membayangkan terlalu jauh rumah dengan rak buku dengan koleksi penuh ala perpustakaan. Budaya literasi keluarga (BuLiKe) Cukup diawali dengan sesuatu yang kecil, kebiasaan singkat membaca buku tapi rutin. Entah bangun tidur atau sebelum tidur cukup 30 menit. Bukankah sesuatu yang besar berawal dari sesuatu yang kecil. Rutinitas seperti itu telah saya lakukan setiap hari. Setiap bangun tidur setidaknya menyisahkan 30 menit untuk membaca buku (kadang satu chapter dalam kindle ebook reader).

Melalui pendekatan partisipatoris seperti itulah anggota keluarga yang lain diharapkan bisa mengikuti kebiasaan membaca kita. Saya menilai Budaya Literasi Kelurga (BuLiKe) adalah implementasi dari Sahabat Keluarga, orang tua hebat - orang tua terlibat. Hal ini sangat diperlukan karena penggunaan gadget sudah tidak terbendung, ada beragam cara untuk menjadikan kebiasaan membaca menjadi menyenangkan. Saya merekomendasikan beberapa metode berikut ini: 
  • Taruhlah beberapa bacaan menarik pada tempat yang biasa digunakan untuk bersantai di dalam rumah. Misalnya teras, dekat televisi atau ruang keluarga. 
  • Buat komitmen untuk membaca buku sembari menunggu saat mengisi ulang daya Handphone atau gadget anda. "Bukankah ngecharge HP sambil dimatikan atau dimodel pesawat lebih sehat bagi umur HP? Mengapa tidak membaca dulu sembari mengunggu penuh". Kata-kata seperti itu bisa disampaikan dengan catatan kita melakukannya terlebih dahulu secara konsisten. 
  • Reward and Punishment dalam bentuk imbalan dan hukuman bisa diterapkan pada pengembangan budaya membaca dalam rumah. Jangan segan memberi penghargaan atau hadiah ketika salah satu anggota keluarga menyelesaikan satu buku, atau minimal memberi pujian ketika telah menyelesaikan satu bab. Hadiah utama yang paling cocok tentu saja sebuah buku. "Jika nanti buku ini habis dibaca, berhak mendapat satu buku sesuai keinginan" kalimat seperti itu bisa kita sampaikan. Jika ternyata kebiasaan membaca buku semakin berkurang, perlu tindakan tegas demi kelangsungan kehidupan literatif dalam rumah seperti memberlakukan jam belajar keluarga, jam membaca keluarga dan pembatasan penggunaan gadget atau akses WIFI dalam rumah. 
  • Momen berkumpul bersama keluarga entah bersantai di ruang keluarga atau makan malam bersama dapat menjadi acara diskusi santai nan ceria bersama anggota keluarga. Diskusi isi buku yang sedang dibaca apa sisi menariknya bisa menjadi ajang tukar berpikir dalam rumah. Hal ini memicu anggota keluarga yang tidak mau kalah untuk membaca buku lebih. 
  • Memanfaatkan media berkumpul untuk gerakan literasi seperti arisan. Jika arisan keluarga sudah menjadi hal umum, perlu digagas arisan literasi. Arisan dalam keluarga besar atau lintas keluarga yang tidak hanya dengan duit semata, tapi bahan bacaan yang berkualitas. 
  • Membuat blog keluarga, bisa gabungan atau satu anggota keluarga satu blog. Menulis adalah hasil manifestasi dari membaca dan penuangan ide yang ada dalam kepala. Ada anggapan rajin membaca tanpa suka menulis, ibarat doyan makan tapi tanpa pergi (maaf) buang air besar. Membengkak dalam pikiran, hanya jadi bahan perenungan pribadi tanpa berbagi. 

Kenalkan buku sejak dini
(Model diperankan Tole)
Ketika terdengar kabar bahwa minat membaca orang Indonesia berada pada peringkat 60 dunia, kita tidak perlu gusar. Semua kembali ke diri sendiri. Coba renungkan buku apa terakhir yang kita baca? Kapan terakhir membaca buku? Kapan terakhir kita menyobek plastik penutup buku baru dengan perasaan penasaran dan tidak sabar untuk segera tahu isinya?.
Moana, Buku Kain dan Rak Majalah Intisari  
Akhir kata, saya bukan pejuang atau penggiat literasi, hanya berupaya untuk mengajak semuanya mendekati dan mengakrabi sebuah buku. Membaca itu tidak susah ketika ada kata hati untuk berkata keras untuk memulai. Jika hal tersebut dilakukan dengan komitmen untuk mengembangkan kecerdasan keluarga tidak menutup kemungkinan bangsa ini bisa menyusul Finlandia yang berada diperingkat pertama dan Norwegia yang berada pada peringkat kedua dalam hal literasi. Semua berawal dari Satu Rumah Satu Rak Buku. Salam Literasi. 

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga


Subscribe to receive free email updates:

10 Responses to "Gerakan Literasi Satu Rumah Satu Rak Buku"

  1. Mantap artikelnya, Mas. Bukunya juga menarik, sudah selesai bacanya jadi teringat kartun favorit Lagak Jakarta yang bukan sekedar kartun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih bro..salam literasi. riset sarjanaku tentang lagak jakarta bentar lagi tak jadi kan buku ilmiah populer.

      Delete
  2. Salam Literasi, setuju dgn gerakan satu rumah satu rak buku, ketika kehadiran buku menjadi hiburan skligus edukasi bg kluarga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas apresiasinya. Benar sekali semua bisa dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga sendiri. Salam literasi.

      Delete
  3. Iya ya betul.. banyak org yg sering berantem di sosmed, julid, sampe hoax2 an itu karena kurang banget baca buku. Trus juga suka kesel kalo liat warkop yg penuh sm anak muda gak pagi gak malem main hape mulu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan ditiru itu anak muda. Tidak baik untuk kesehatan. Salam literasi.

      Delete
  4. Replies
    1. Terima kasih atas apresiasinya. Salam literasi

      Delete
  5. Mantul mas, jadi inget dulu sd seneng mbaca majalah" kyk bobo sm kuark, sampe ngoleksi wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. jangan sampai hilang atau dijual loak koleksinya..itu harta karun literasi yang sangat berharga.

      Delete