"Kecil disuka, muda terkenal, tua kaya raya, mati masuk surga" (Tut Wuri Handayani -Slank)
Cita-cita adiluhung manusia beragam. Seperti halnya lirik lagu Slank di atas hasrat serba nyaman ada pada setiap lini kehidupan. Dari kandungan sampai alam akhirat. Menjadi terkenal itu relatif. Ada terkenal karena telah melakukan kejadian yang menjadi pusat perhatian masyarakat, ada terkenal karena hal negatif, tidak sedikit terkenal karena prestasi atau melakukan hal yang dapat menginspirasi orang lain. Semoga kita senantiasa masuk pada kategori terakhir.
5 November 2019 dari kamar 811 hotel Menara Peninsula Slipi secara khusus saya mendapat kesempatan untuk diliput oleh salah satu senior kartunis Mas Ifoed. Kebetulan saya diundang Kemendikbud ke ibukota untuk menghadiri Apresiasi Pendidikan Keluarga 2019. Wawancara sekaligus silaturahmi tipis-tipis dengan kartunis yang gambarnya saya todong untuk menjadi sampul buku perdana dilakukan dengan santuy pada tengah malam di Jakarta yang tak pernah tidur. 11 hari kemudian liputan tersebut tayang di koran Indopos pada rublik yang diasuh oleh Mas Ifoed. Penasaran Inilah ulasannya:
Behind the scene bersama Ifoed Kokkang |
INDOngakak
Indopos, Sabtu 16 November 2019
Bukan Sekadar Menggambar, Roikan Sekaligus Meneliti
Karena Kartun Bahasa Bahasa Universal
Jakarta- Jika ada orang yang meneliti khusus kartun di Indonesia, dia adalah Roikan. Pria yang kini berdomisili di Malang tersebut, bahkan menerbitkan dua jurnal ilmiah khusus kartun.
Kuliah di jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, dia membuat tugas akhir berjudul, ‘Angkutan Umum dan Gaya Hidup Metropolitan (Studi Etnografi Semiotika Kartun Benny Rachmadi dalam Seri Lagak Jakarta Edisi Transportasi)’ pada 2007.
Tak berhenti di situ, Roikan bahkan mengambil gelar Magister Ilmu Antropologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan menerbitkan jurnal Ilmiah tentang Kelompok Kartunis Kaliwungu (KOKKANG), dia menulis sebuah kajian studi berjudul ‘Kartun Cita Rasa Kaliwungu: Studi Modal Sosial dalam Proses Kreatif Kelompok Kartunis Kaliwungu’ pada 2014.
Kecintaan Roikan pada kartun tak datang tiba-tiba. Sama seperti para kartunis di Indonesia, seumurannya, dia mengenal kartun oleh majalah Intisari. Pengenalannya dengan majalah tersebut saat duduk di bangku SMP. Karya Anton Nugroho menjadi inspirasinya untuk menggambar kartun.
Bahkan, ilustrasi Anton Nugroho dibuat ulang, untuk diterbitkannya pada majalah dinding di sekolahnya. Bedanya, karya yang dibuat Roikan berdasarkan isu terkini. Hanya saja, karakteristik milik Anton ditiru olehnya.
Saat duduk di bangku kuliah di kampus Unair, pria kelahiran Lamongan 30 Oktober 1983 ini semakin mantap untuk berkarya membuat kartun. Pada tahun 2005, dia mencoba untuk mengirim karya-karyanya pada media nasional. Salah satunya adalah koran Jawa Pos yang bermarkas di Surabaya.
“Saya setiap pagi (lebih tepatnya setiap hari rabu), menggenjot sepeda ke Jawa Pos, untuk dikirim ke redaksi. Tapi setelah tak kunjung terbit. Salah seorang dari redaksi mengatakan kepada saya untuk terus mengirimkan karya. Minimal 15 karya dulu, sebagai pembanding,” kenang Roikan yang juga berprofesi sebagai dosen luar biasa di Universitas Brawijaya, Malang.
Sempat frustasi (ditambah habis patah hati kronis), Roikan berhajat jika karyanya dimuat, ia akan berhenti merokok. Sampai pada Maret 2006, untuk pertama kalinya, kartun Roikan diterbitkan oleh koran paling besar di Pulau Jawa tersebut. “Saya sedang santai-santai di kampus, terus diberi tahu teman, karya saya dimuat. Wah, senang sekali saat itu,” kenang dia.
Satu karya terbit, akan berlanjut ke puluhan bahkan ratusan gambar kartun lagi milik Roikan untuk dimuat di berbagai media. Walaupun, dia sempat diejek kerena membuat gambar seperti anak-anak oleh keluarganya.
Namun, semua kritik yang ditunjukan padanya terus dijawab Roikan oleh karya. Bahkan, hasil dari membuat kartun, oleh bapaknya dibelikan pupuk. Dikarenakan dia belum memiliki rekening bank. Nah, uang dari hasil karya itu langsung dikirimkan ke rumah. “Begitu saya tanya, ternyata sudah habis dibelikan pupuk oleh bapak. Tapi tidak apa-apa. Karena dari situ saya bisa menjawab bahwa gambar anak-anak yang saya buat, bisa menghasilkan juga,” tutur dia.
Kemampuan meenggambar Roikan, semakin diasah Roikan karena ajaran dari sang kakak, berkecimpung di dunia seni rupa. Pelajaran tentang anatomi tubuh, menjadi bekal utamanya dalam membuat karakter sendiri.
Karakteristik itu dicurahkan Roikan pada karakter yang dikenal dengan nama “Tiwultoon”. Karakter itu terinspirasi dari biji mente. “Dikasih kacamata, ternyata bisa menjadi karakter. Saya memang identik kartun gag, atau humor,” terang dia.
Dunia kartun dan pendidikan menjadi jalan hidup yang dini dijalani oleh Roikan. Tak tanggung-tanggung dalam membuat skripsinya karya Benny Rachmadi dan Mice, dia juga sampai tidur di Polsek Pasar Senen, Jakarta untuk memerhatikan kondisi sosial masyarakat yang diceritakan dua kartunis tersebut, pada buku komik yang terbit pada 1997 tersebut.
“Karena tak punya kolega dan keluarga, ketika tiba di Stasiun Senen, saya minta izin sama pak Polisi untuk tidur. Jadi setiap pagi, saya berkeliling sekitar Pasar Senen untuk memerhatikan keadaan sosial di Jakarta. Malamnya saya tidur di kantor polisi. Lebih tepatnya di parkiran kantor polisi,” ucap dia menceritakan pengalaman membuat tugas akhir kuliah.
Kesungguhan Roikan berbuah hasil nyata. Tugas akhirnya diterima untuk sidang. Bahkan, karena kerja kerasnya itu, dia pun berkesempatan bertemu dengan Benny Rachmadi. Sebagai sesama kartunis, Benny pun mengucapkan terima kasih kepadanya, lewat kenang-kenangan selembar kaos. “Kaos itu spesial buat saya. Bahkan saat sidang dan nikah saya pakai. Memang hanya saya pakai pada waktu yang spesial juga,” akunya.
Roikan tidak sekadar kartunis. Dia juga meneliti kartun di Indonesia dengan sungguh, bahkan dua buku telah diterbitkan oleh pria yang juga aktif membuat tulisan pada blog. Salah satu karyannya secara spesifik, menceritakan tentang proses kreatif dari Kokkang yang legendaris.
Dia berkeinginan, agar kartun tak sekadar menjadi hiburan. Tapi juga menjadi ilmu pengetahuan yang dapat dipahami oleh masyarakat lewat pemahaman antropologi, sosial, dan budaya, juga filsafat semiotika.
“Karena kartun itu bahasa yang univeral. Humor khususnya yang divisualkan lewat kartun, adalah sebuah hal yang kompleks, dan menarik untuk dibedah lebih dalam,” ujar pria yang tahun ini menjadi pemenang harapan Lomba Blog Pendidikan Keluarga dari Kemendikbud.
Sebagai praktisi dan juga peneliti, dia berharap kartun semakin dikenal oleh masyrakat. Roikan juga membuka pintu selebar-lebarnya untuk siapa saya yang mau meneliti kartun. Ada banyak bahan yang melimpah, untuk bisa dikaji secara ilmiah olehnya. (ifoed/rio)
0 Response to "Momen Masuk Koran "
Post a Comment