November tanpa Mojosuro (Efek Pandemi Bagi Atlet Ngaspal Tahunan 55 km)

Pandemi telah mengubah segalanya. Tatanan kehidupan dari bidang ekonomi, sosial dan budaya hingga membatalkan banyak acara rutin yang menjadi agenda tradisional sebuah masyarakat. November menjadi bulan kepahlawanan nasional terlebih bagi warga Jawa Timur. Ada acara napak tilas perjuangan pertempuran Jawa di tahun 45. Antara para pejuang melawan sekutu yang dimotori oleh Inggris. Dari sinilah ada tradisi napak tilas dalam bentuk gerak jalan rakyat. GJP Mojosuro (Gerak Jalan Perjuangan Mojokerto Surabaya). 

Mojosuro 2017

Sebenarnya di daerah lain juga ada gerak jalan sejenis. Seperti di Jember adalah Gerak Jalan Tanggul. Gresik punya Gerak Jalan Balongpanggang - Gresik. Daerah kelahiran saya sendiri, Lamongan juga pernah ada Gerak Jalan Mantup - Lamongan. Itu menandakan masyarakat kita pada dasarnya suka bernapak tilas dan berolahraga bersama. Dari situlah tidak hanya memupuk semangat kebersamaan tapi juga ada kreatifitas dengan menghadirkan tampilan yang beda. Gerak jalan rasa karnaval.  


Pasukan Hantu 

Sejak pandemi Covid-19 terjadi pada awal tahun 2020. Otomatis kegiatan yang dapat mendatangkan massa dan berkerumumun dihentikan. Termasuk Gerak Jalan Perjuangan Mojosuro. Hari ini di bulan November tanggal pertengahan kita sudah tidak menjumpai lagi hiruk piruk ribuan orang dari barat berjalan ke timur. Ratusan bahkan ribuan orang berjalan bersama (ada yang nggandol mobil bak terbuka atau motor). 


Mbak Kunti Squad


Karena pandemi sepanjang jalur Mojosuro setiap November terasa sepi. Tidak terdengar lagi yel-yel penuh semangat dengan bahasa keseharian yang sarat makna. 
"Minggiro-minggiro minggiro Gerak Jalan Mojokerto Suroboyo..Pegele gak sepiro teko omah dipijeti Morotuo" Termasuk mars penyemangat jalan jauh dari Anggota TNI/POLRI yang turut menjadi peserta kategori untuk kalangan militer. 

Kura-Kura (Tuyul) Ninja


Sejak Pandemi menyerang. Sorak sorai warga pada peserta sudah tidak ada. Kostum yang unik dapat mendatangkan perhatian dari warga yang sengaja melihat rapi di kanan kini jalan. Jika kita hanya berpakaian ala orang lari pagi atau olahraga, mata warga hanya menganggap sebagai peserta. Kalau kita pakai kostum berkaitan dengan pejuang atau milisi, anak kecil antusias melihat kita. Kalau menggunakan kostum waria, sepanjang jalan banjir sorakan. Contohnya yang paling legendaris: Pak Sugeng. Setiap tahun kostumnya sama dan cara jalannya juga sama. Pelan tapi ora iso disalip

Pak Sugeng yang Legend 
(Pelan tapi ora iso disalip)


Sejak meruaknya Covid-19 kita kehilangan pemandangan makan bersama di pinggir jalan. Hal itu menjadi pemandangan yang langka. Dulu para peserta utamanya kategori kelompok. Datang ramai dalam tim yang saling bergantian. Ada yang berasal dari karang taruna ada pula sekumpulan kawan sekelas. Mereka bersama merajut kisah dalam lelah dan makan bersama. 

Mabar (Makan Bareng)


Semoga pandemi segera berlalu. Berganti pada kehidupan yang lebih sehat biar ada Gerak Jalan rasa karnaval lagi. Saya rindu para peserta yang serasa reuni tahunan kita ngumpul dan berangkat bersama dari Stasiun Wonokromo. Satu gerbong isinya peserta gerak jalan semua dengan segala keunikannya. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "November tanpa Mojosuro (Efek Pandemi Bagi Atlet Ngaspal Tahunan 55 km) "

Post a Comment